Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
URUSAN sampah ini juga berkaitan dengan bahasa, Kang! Bangsa kita sudah punya paradigma kuat bahwa sampah harus dibuang. Itu akibat penggunaan bahasa! ujar Mas Item (Irwanto Iskandar, anggota senior Wanadri) suatu sore di Pustaka Tropis Wanadri, perpustakaan kecil yang dikelola Media & Data Center Wanadri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai "orang bahasa", saya kaget mendengar pernyataan Mas Item itu. Apa hubungan sampah dengan bahasa? "Lha itu…, sejak dulu kita disuruh membuang sampah pada tempatnya, dilarang membuang sampah sembarangan, dan sebagainya. Mengapa yang muncul hanya kata buang? Mengapa tidak menggunakan kata simpan atau taruh?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan dan pertanyaan Mas Item sungguh membuat saya kaget dan penasaran. Betulkah sudah terbentuk paradigma pada masyarakat bahwa sampah harus dibuang? Sedikit iseng, saya memasang "status" Facebook: "Tolong isi titik-titik di depan kata ini dengan satu kata yang paling tepat menurut Anda: ...SAMPAH."
Hasilnya cukup menjadi bukti pernyataan Mas Item itu. Dari 70 teman yang secara sukarela menjadi responden, 42 kata muncul sebagai sandingan kata sampah. Kata yang paling banyak muncul adalah buang (6) dan tong (6) atau masing-masing 14 persen suara. Selain kata tong, masih terdapat kata yang merujuk pada kata buang, yaitu tukang, tempat, gerobak, roda, mobil, dan truk. Satu-satunya kata yang merujuk pada kata simpan adalah bank.
Kata tukang, tempat, gerobak, roda, mobil, dan truk saya sebut merujuk pada kata buang karena saat ini "benda-benda" itu merupakan sarana pembuangan sampah. Tukang sampah biasa mengangkut sampah dari tong atau tempat sampah ke gerobak (roda) sampah. Kemudian tukang itu memindahkannya ke tempat pembuangan sampah sementara. Sampah lalu diangkut oleh mobil atau truk sampah ke tempat pembuangan sampah akhir.
Kata-kata benda itu secara leksikal bermakna biasa saja, netral. Semuanya akan berkonotasi positif ketika bersanding dengan kata-kata yang punya konotasi positif, seperti tukang jahit, tempat menabung, gerobak sapi, roda pembangunan, mobil sedan, dan truk tangguh. Kata sampah pun seharusnya netral. Sampah adalah suatu keniscayaan sebagai residu kehidupan. Berbagai jenis sampah muncul dalam kehidupan dan belum tentu tidak bermanfaat.
Sesuatu yang membuat kata sampah berkonotasi negatif adalah kata kerja buang. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V mencantumkan lema buang yang bersinonim dengan lempar, lepaskan, keluarkan. Artinya, setiap kata yang bersanding dengan buang dapat berarti sesuatu yang harus dikeluarkan, dilepaskan, atau dilemparkan. Ketika kata sampah disandingkan dengan buang, jadilah sampah sebagai sesuatu yang harus dikeluarkan. Lalu berkembanglah makna kata sampah sebagai sesuatu yang tidak terpakai lagi.
Menurut KBBI V, sampah adalah "1. n barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi dan sebagainya; kotoran seperti daun, kertas: jangan membuang-sembarangan" dan "2. n ki hina: hidup sebagai gelandangan dianggap-masyarakat".
Akibat persandingannya dengan buang, sampah dianggap sebagai benda yang sudah tidak berharga atau tidak diperlukan lagi. Ketika frasa itu berulang-ulang terindra oleh masyarakat, lalu terekam dalam benak mereka, terbentuklah paradigma masyarakat--dan pemerintah--bahwa sampah harus dibuang! Itulah sebabnya di Indonesia dikenal nama "tempat pembuangan sampah akhir" dan "tempat pembuangan sampah sementara".
Karena itu, frasa "buang sampah" yang berkonotasi negatif harus diganti dengan frasa baru yang mengarahkan masyarakat ke paradigma positif. Dalam dunia kata-kata, hal itu dilakukan dengan cara menggunakan lawan kata (antonim). Tentu saja, lawan kata buang adalah simpan atau taruh. Dengan demikian, frasa "buang sampah" dapat diganti dengan "simpan sampah" atau "taruh sampah".
Frasa "simpan sampah" ini harus dikenalkan kepada masyarakat secara terus-menerus agar paradigma baru segera tertanam. Misalnya, pemerintah segera mengganti nama "tempat pembuangan sampah" menjadi "tempat pengelolaan sampah" atau "tempat penyimpanan sampah sementara". Kemudian buatlah slogan baru seperti "Simpanlah sampah pada tempatnya" atau "Simpan sampah di sini". Tempelkan slogan itu di tempat-tempat umum di dekat tong atau tempat sampah.
Slogan tersebut harus berlanjut pada penyediaan sarana penyimpanan yang sesuai dengan jenis-jenis sampah, seperti sampah plastik, sampah kaca, sampah medis, dan sampah organik. Dengan demikian, dari paradigma "menyimpan sampah", perilaku masyarakat pun diarahkan dalam pemilahan sampah. l
Tendy K. Somantri
Ketua Umum Forum Bahasa Media Massa, Manajer Media & Data Center Wanadri, Pengajar Di Fakultas Ilmu Seni Dan Sastra Universitas Pasundan, Bandung
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo