Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Memoar Novelis Pelari

Jika pertaruhan sebuah cerita dimulai sejak kalimat pembuka, saya berkeyakinan novel Kaze no Uta o Kike, atau dalam bahasa Indonesia berarti Dengarlah Nyanyian Angin, karya Haruki Murakami, memiliki pembukaan yang menggoda. Saya sebut pertaruhan karena di kalimat pembuka itulah, mula-mula sekali, hal yang menentukan apakah pembaca bakal masuk ke alam cerita atau sebaliknya: menutup buku dan tak melanjutkan membaca.

4 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Memoar Novelis Pelari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Judul : What I Talk About When I Talk About Running
Penulis : Haruki Murakami
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Cetakan: Pertama, April 2016
Tebal : vi + 198 halaman
ISBN: 978-602-291-086-2

Jika pertaruhan sebuah cerita dimulai sejak kalimat pembuka, saya berkeyakinan novel Kaze no Uta o Kike, atau dalam bahasa Indonesia berarti Dengarlah Nyanyian Angin, karya Haruki Murakami, memiliki pembukaan yang menggoda. Saya sebut pertaruhan karena di kalimat pembuka itulah, mula-mula sekali, hal yang menentukan apakah pembaca bakal masuk ke alam cerita atau sebaliknya: menutup buku dan tak melanjutkan membaca.

Begini pembukaan novel tersebut: Tidak ada kalimat sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna. Pembukaan yang sederhana, membekas, dan gampang diingat.

Namun siapa kira bila novel dengan pembuka semenggoda itu justru ditulis saat Murakami dalam kondisi pikiran yang tidak terlalu fokus. Novel ini lahir di sela kesibukan mengurus kelab malam, berbekal tubuh lungkrah karena lelah, disertai kepulan asap rokok sebagai teman menulis.

Novel itu selesai ditulis tapi tak membuahkan kepuasan. Ketidakfokusan itu merangsang kegelisahan. Murakami sadar bahwa novel tak boleh ditulis dengan fokus setengah-setengah. Menulis novel memang perlu keseriusan. Keseriusan pun dibuktikan dengan menutup usaha kelab. Murakami berkeputusan menjadi penulis profesional.

Menjadi penulis profesional berarti menggantungkan perut dan nasib keluarga kepada kata-kata. Segala hal yang menurut Murakami bakal menghambat kerja kepenulisannya, satu per satu, ia benahi. Perubahan pola hidup dan kesehatan menjadi prioritas.

Urusan menulis memang tak sesederhana petuah klise dari penulis-penulis lawas: menulis ya menulis saja! Nasihat ini tak boleh berumur panjang. Menulis memerlukan pelbagai hal tak sepele. Tubuh mesti "kuat" dan pikiran mesti segar. Di dalam tubuh yang sehat ada harapan untuk menghasilkan tulisan lebih banyak sekaligus berkualitas.

Pertimbangan itulah yang membulatkan tekad Murakami untuk menekuni olahraga lari. Meski sekadar berlari, Murakami tak pernah memandang sepele. Terbukti, di memoar terbarunya, What I Talk About When I Talk About Running (2016), frasa "berlari" menjadi tak sesederhana definisi dalam kamus ataupun buku ensiklopedia kesehatan.

Pada mulanya, alasan berlari memang sebatas demi kesehatan. "Menulis novel adalah pekerjaan tidak sehat. Dan untuk menghadapi sesuatu yang tidak sehat, orang harus sesehat mungkin," akunya (hal.110). Ritus berlari pun menjadi agenda keseharian, berbarengan dengan hari-hari menulis dan berkata-kata.

Hari demi hari berlalu, berlari tak lagi sebatas olahraga. Berlari tak hanya ambisi dan pertarungan diri. Berlari bermakna filosofis. Murakami tergoda mengasah ketahanan tubuh sekaligus jiwanya lewat kompetisi lari. Dari lari maraton, ultramaraton, hingga triatlon. Ratusan kilometer ia tempuh. Jarak-jarak itu tak membuatnya kapok. Berlari justru memberinya keleluasaan memikirkan pelbagai hal.

Lantas apa yang Murakami pikirkan saat berlari?

Tak usah menebak terlalu jauh: Murakami, tentu saja, berpikir tentang lari dan novel. Murakami itu novelis yang pelari. Kaki boleh berlari sejauh apa pun, tapi di dalam pikiran hal-hal perihal novel tetaplah menjadi perhatiannya.

"Sebagian besar pengetahuanku tentang menulis kupelajari melalui berlari setiap hari," tulis Murakami (hal. 92). Kita mungkin heran: orang belajar menulis biasanya dengan mengikuti workshop, diskusi, kursus, seminar, atau kuliah di jurusan sastra. Murakami justru belajar menulis lewat berlari.

Murakami berolahrasa saat berlari. Ia mengevaluasi diri. Tak henti-hentinya ia meyakinkan diri bahwa berlari adalah cara yang tepat untuk menjaga tubuh sekaligus kesehatan pikirannya. Kesehatan itu penyokong utama profesinya sebagai novelis.

Bagi dia, pilar utama seorang novelis, selain bakat dan fokus, adalah daya tahan. Murakami menegaskan, "Seorang penulis fiksi, atau setidaknya berharap bisa menulis sebuah novel, membutuhkan tenaga untuk berkonsentrasi setiap hari selama setengah tahun, satu tahun, atau dua tahun." (hal. 88)

Nasihat mencerminkan watak khas orang Jepang: disiplin dan menjunjung tinggi rasionalitas. Kita pun membayangkan Murakami sedang berfirman di atas mimbar sembari menunjuk dan bersuara lantang: Barangsiapa di antara kamu tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat, urungkan saja niatmu jadi novelis!

Murakami memang penulis yang kecanduan berlari. Berlari jadi sama berartinya dengan menulis novel. "Aku berlari maka aku ada." Saking berambisinya, di halaman 191, Murakami pun berwasiat: "Suatu hari nanti, jika aku punya batu nisan dan bisa memilih kata-kata untuk diukir di atasnya, aku ingin di situ tertulis:WIDYANUARI EKO PUTRA, (Pegiat Kelab Buku Semarang).

Optimis sekali, bukan?
Haruki Murakami 1949-20**
Penulis (dan Pelari)
Setidaknya Dia Tak Pernah Berjalan Hingga Akhir

Memoar ini tentu saja penting, bukan hanya bagi peminat olahraga lari, tapi juga penulis yang malas berolahraga. Bagi pelari, kisahan pengalaman mengikuti pelbagai kompetisi lari tingkat internasional tentu saja merangsang pembaca ikut merasai sensasi berlari ratusan kilometer. Sensasi berlari di atas rute maraton hingga Athena, misalnya.

Pembahasan Murakami perihal etos, laku, dan pola pikir yang mesti dimiliki seseorang untuk menjadi novelis tangguh menjadikan memoar ini semacam buku motivasi tapi tidak klise. *

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus