Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mengapa orang cina sukses dalam ...

Pengarang : victor simpao limlingan. manila : vita development corporation, 1986. resensi oleh : leo suryadinata.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE OVERSEAS CHINESE IN ASEAN: BUSINESS STRATEGIES AND MANAGEMENT PRACTICES Oleh: Victor Simpao Limlingan Penerbit: Vita Development Corporation, Manila, 1986, 166 halaman ORANG Tionghoa yang berjumlah kira-kira 20 juta di Asia Tenggara hanya merupakan 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Akan tetapi mereka memainkan peran ekonomi yang sangat mustahak. Buku Dr. Victor Limlingan ini adalah sebuah karya yang mencoba membahas persoalan yang menarik itu. Dr. Limlingan adalah seorang Filipina keturunan Tionghoa. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang sudah membaur dengan masyarakat Filipina. Ia sendiri dilatih dalam administrasi bisnis dan meraih gelar doktor dari Universitas Harvard pada 1986, setelah mengajukan disertasi tentang perantau Tionghoa di ASEAN. Buku ini berasal dari disertasinya. Dalam buku yang tidak tebal ini (166 halaman), Limlingan mencoba membahas masalah yang sangat kompleks, termasuk bermacam-macam teori tentang kejayaan Tionghoa dalam bidang ekonomi. Misalnya, ia menguji teori-teori yang menyatakan bahwa orang Tionghoa di Asia Tenggara sukses karena faktor-faktor berikut: kedudukan mereka sebagai golongan minoritas dan penduduk kota, profesi mereka sebagai pedagang sebelum mereka bermukim di Asia Tenggara, dan adanya tunjangan kapital besar dari luar negeri. Dengan data yang terbatas, Limlingan mengatakan bahwa teori-teori ini semua tidak benar. Ia menunjukkan bahwa orang India, yang juga minoritas di Asia Tenggara, tidak sesukses orang Tionghoa dalam bidang ekonomi. Ia juga menyatakan bahwa pedagang dan pengusaha Tionghoa yang sukses itu bukan berasal dari kelas pedagang, melainkan dari kelas buruh dan tani. Tidaklah benar bahwa mereka mendapat tunjangan kapital besar dari luar. Mereka itu sebetulnya hanya bermodal dengkul. Jadi, sukses orang Tionghoa dalam bidang ekonomi, menurut Limlingan, terletak pada faktor-faktor kebudayaan dan ras. Kebudayaan dan ras Tionghoa itu yang melahirkan strategi bisnis dan praktek manajemen yang unggul, yang akhirnya membawa mereka ke jalan kejayaan. Menggunakan konsep dan istilah Business Administration, Limlingan mencoba menjelaskan kebijaksanaan bisnis (business policy) di antara orang Tionghoa. Tiga faktor yang menjamin sukses bisnis disebutnya: (1) Transformasi ekonomi di rantau ASEAN sejak zaman kolonial sampai sekarang yang berorientasi kepada pembangunan (development). (2) Status orang Tionghoa sebagai etnik Tionghoa dan imigran (pendatang). (3) Organisasi sosial dan nilai-nilai yang dibawa oleh mereka. Pembahasannya dititikberatkan pada faktor kedua dan ketiga. Di sini ia membicarakan bagaimana perusahaan dagang Tionghoa itu beroperasi, dan bagaimana pula nilai dan organisasi ras Tionghoa itu digunakan sebagai tulang punggung ekonomi mereka. Jaringan etnis (ras) dipakai sedemikian rupa sehingga berhasil mengalahkan lawannya. Selain para pedagang besar, muncul pula pengusaha-pengusaha (indstrialists) Tionghoa yang sukses seperti Bangkok Bank, Liem Sioe Liong Group, dan Astra Group. Menurut Limlingan, struktur managerial system perusahaan Tionghoa terdiri atas tiga kelompok. Pertama, kelompok kewirausahaan, yang terdiri atas anggota keluarga dan mengambil keputusan penting. Kemudian kelompok administratif yang terdiri atas professional managers, lalu kelompok pengawas yang terdiri atas anggota keluarga serta orang-orang yang dipercaya. Menurut dia, sistem perusahaan Tionghoa tergolong kepada sistem perusahaan Timur yang berorientasi pada kelompok mengutamakan hubungan interpersonal. Tapi managerial system Tionghoa itu lebih khas lagi karena didasarkan pada keluarga. Umumnya, strategi yang diambil oleh mereka di negara-negara ASEAN berorientasi kepada komoditi, pasaran dalam negeri, dan perolehan tinggi (high turn-over). Buku Limlingan sangat teknikal, penuh dengan jargon-jargon administrasi bisnis dan diagram. Kekuatan Limlingan terletak pada kemampuannya membungkus data yang umum dan tidak lengkap dalam istilah-istilah administrasi bisnis. Ia juga pandai merumuskan pertanyaan dan hipotesa yan cukup menarik, walau pun pertanyaan dan hipotesanya itu tidak baru. Sayang sekali, jawaban dan pembuktiannya kurang berhasil. Ini disebabkan, antara lain, karena datanya yang miskin dan penelitian yang kurang mendalam. Data-data yang dipakainya itu semua dalam bahasa Inggris dan umumnya merupakan bahan sekunder. Bahan-bahan yang tidak baru dan sketchy itu tidak mampu menunjang teori-teori yang hendak dibahasnya. Bantahannya tentang teori pedagang Tionghoa yang sukses berasal dari buruh dan kuli tidak disertai dengan pembuktian yang scientific. Misalnya, ia tidak melakukan survei yang menyeluruh tentang para pedagang/pengusaha Tionghoa di semua negara yang dibicarakannya. Argumentasi-argumentasinya itu tidak selalu jelas. Bukti-bukti yang diajukan terkadang setengah matang atau berlawanan dengan teorinya. Misalnya kalau kebudayaan Tionghoa itu sendiri yang menjamin sukses mereka di bidang ekonomi, mengapa orang Cina di daratan Tiongkok kurang sukses ekonominya? Ternyata, unsur kebudayaan (dan ras) itu tidak bisa diajukan sebagai faktor yang terpenting. Limlingan juga mengatakan bahwa status imigran itu penting bagi sukses bisnis Tionghoa, tetapi dalam contohnya mengenai orang India, status imigran itu tidak menjamin sukses bisnis mereka. Saya kira kelemahan pendekatan Limlingan ini adalah ia terlalu mengutamakan faktor kebudayaan dan ras, padahal kombinasi faktor akan bisa lebih menjelaskan economic performance orang Tionghoa di ASEAN. Faktor-faktor itu sebagian telah disebutkan oleh Limlingan, namun sebagian lagi, misalnya jumlah penduduk Tionghoa dan keadaan suatu negara, juga patut diperhitungkan. Kelemahan yang lain dari pendekatan Limlingan ialah menganggap semua overseas Chinese itu mempunyai kebudayaan dan nilai yang sama. Padahal, para peneliti masyarakat Tionghoa di ASEAN sadar bahwa orang Tionghoa bukan suatu kelompok yang homogen. Mereka juga berbeda dengan Tionghoa di Hong Kong dan Taiwan, yang sering diambil Limlingan sebagai contoh orang Tionghoa perantau -- padahal sebenarnya mereka bukan perantau. Bisnis keluarga yang begitu penting, dalam buku itu, tidak dibahas secara mendalam. Bisnis keluarga di Asia umumnya hanya bertahan dua sampai tiga generasi. Apakah bisnis-bisnis Tionghoa itu akan bertahan? Bagaimana bisnis-bisnis Tionghoa itu menanggapi cabaran nasionalisme ekonomi pribumi? Masih banyak pertanyaan penting yang tidak terjawab setelah membaca buku ini. Leo Suryadinata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus