MATAHARI musim panas masih bersinar ketika pukul delapan malam Teater Rendra mulai main di Brooklyn, New York, pada minggu ketiga bulan Juni 1988, selama enam malam berturut-turut. Cahaya masuk miring dan tipis menembus kaca jendela warna-warni sekitar dua puluh meter di atas penonton digereja Saint Ann, yang jadi tempat pementasan Ritual Anak-Anak Sulaiman itu. Sebuah pentas besar dipasang dengan kemiringan tertentu di depan altar, yang memungkinkan gerak aktor-aktor leluasa dan para penonton di belakang dapat menyaksikan pertunjukan dengan baik. Tiang-tiang raksasa di kiri-kanan, penuh ornamen yang mungkin akan mengganggu perhatian, dibalut lurik. Sebidang layar terkembang melapisi dinding depan, putih warnanya, yang pada saat mula pertunjukan disorot lemah dari dalam dan garis-garis gotik ornamen katedral nampak, memberi sugesti aneh ketika kepala suku (Adi Kurdi) membacakan doa awalnya. Inilah doa kelahiran. Kelahiran Teater Sulaiman Rendra, yang bakal keluar dari rahim Mama, dan melalui deretan peristiwa tidak linear dengan daya puitik yang mewarnainya, tiga jam berbicara, lebih banyak secara visual dan auditif, kepada penontonnya. Sebuah doa bercampur mantra dengan warna lokal Pekalongan, dengan hu nang ning nang ning namun didahului dengan dua kalimat syahadat berulang kali, yang sangat mungkin baru kali itu diserukan dalam gereja tersebut. Menyusul konflik awal antara Badut dan tokoh-tokoh. Kemudian perkelahian tiga ekor reptil, dua jantan satu betina, di sela-sela gumpalan awan. Inilah suguhan imaji yang memberi kesan bercabang-cabang, mengentakkan kebinatangan manusia, dan mempersiapkan penonton untuk menyaksikan (kelak) bagaimana tokoh Suto (Rendra) yang ingin menyatakan dirinya, digilas oleh kolektivitas yang monoton dan garang. Bunyi dan gerak Bib-Bob (Otig Pakis) melawan ZZZ (Amien Kamil) beserta koornya, kemudian adegan Suto dan Fatima (Ken Zuraida) yang dijalin dalam rangkaian Rambate-Rate-Rata, sebenarnyalah hadiah Rendra kepada Kota New York, almamaternya. Pendaman obsesinya sekitar seperempat abad yang lalu, dan dinyatakannya 20 tahun lalu untuk pertama kali di Balai Budaya, April 1968, sepulangnya dari studi di American Academy of Dramatic Arts. Kini, pementasannya dulu itulah yang "dilaporkannya" kepada kota di pulau karang, tempat lagu-lagu blues dinyanyikan untuk Bonnie. Semua aktornya muncul dengan kuat, seimbang dan rapi. Teater Rendra, dalam persembahannya di Festival Seni Antar Bangsa New York ini, tidak nyinyir dengan kata-kata, dia hemat kata-kata. Visualisasi, pencahayaan (Tom Andrews), bunyi, dan musik ditata dengan indah (Tonny Prabowo), namun bukankah jauh lebih nikmat bila orang-orang paham nyanyian puitik Suto (waktu di puncak tangga), ketika dia berdendang: Alang-alang dan rumputan/ bau rambutnya/ Awan putih berubah rupa/ Membayangkan rupa/ Yang datang derita. Dan bernyanyilah Fatima. Nyanyiannya surealistik, puisi Ronggowarsito: Semut hitam melahirkan sapi/ Kerbau tunggang-langgang menyeberang kali/ . ../ Surabaya kacau-balau/ Kacau-balau orang mengejar harimau/ Yang tertangkap, dan dikurung dalam ruas bambu/ Gajah mengamuk di alun-alun Kartosuro/ Diikat di semak-semak/ Mati dipatuki ayam. Fatima dan Suro digilas oleh kolektivitas yang monoton dan garang. Adegan perkosaan bersama terhadap Fatima oleh gang Rambate-Rate-Rata terlalu diulang dan terasa melampau, kesedihan berlimpahan, dan dia mati "berangkat dalam sunyi", ketika koor bertanya kepada sang bayi, "di mana Mama?". Puisi Suto untuk Fatima, populer kita ketahui, menggambarkan duka yang terbakar oleh "dua puluh tiga matahari". Menjelang akhir pementasan burung-burung bernyanyi, ayam berkokok, daun-demaun berkresekan, air gemericik pada suatu subuh hari di Indonesia. Tata suara yang diselenggarakan dengan apik ini ditutup dengan suara lalu lintas gemuruh, ketika Suto, sehabis mendengar hewan-hewan terluka dan menjerit, mengukuhkan ketetapan hatinya bahwa "kesaksian harus diberikan". Dua puluh empat tahun lalu, kepada New York ia menyebut namanya W.S. Rendra. Kini, dari atas panggung Arts at St. Ann's, Brooklyn, dia mengatakan, "Namaku Suto." Taufiq Ismail
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini