Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bubarkan MUI !” teriak seorang tamu pada ulang tahun ke-65 mantan presiden Abdurrahman Wahid, Kamis pekan lalu. Sekitar 200 tamu yang malam itu hadir di Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, menyambut teriakan itu dengan tepuk ta-ngan dan derai tawa. Bisa jadi itu sekadar kelakar. Yang pasti, selain merayakan ulang tahun, mereka juga menyatakan kekesalan terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia dua pekan lalu.
Dalam Musyawarah Nasional MUI ke-7 beberapa hari sebelumnya, dari 11 fatwa yang dibahas, satu di antaranya yang menimbulkan kontroversi, yaitu pengharaman paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Selama 30 tahun usianya, MUI telah menghasilkan puluhan fatwa yang sebagian memunculkan perdebatan. Tapi cukup banyak juga yang terlupakan.
Tujuan pembentukan MUI memang bukan sekadar memproduksi fatwa. Pembentukan MUI berawal dari upaya penggalangan para mubalig dalam lokakarya mubalig se-Indonesia pada 1974. Dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto itulah mula-mula dibentuk Majelis Ulama Daerah untuk mengawasi aktivitas keagamaan di setiap daerah. -Ketika itu bukan hal yang aneh jika mendadak seorang pejabat menjadi ulama karena duduk dalam kepengurusan majelis ulama.
Setahun kemudian, muncul keinginan membentuk majelis ulama tingkat nasional. Ketika menghadap Presiden Soeharto, pengurus Dewan Masjid Indonesia mendapat pesan agar mengusahakan terbentuknya Majelis Ulama Indonesia. Tak lama kemudian berkumpullah 26 ulama mewakili tiap provinsi. Diundang pula 10 ulama mewakili organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, dan Al-Washliah. Pemerintah juga menempatkan empat orang dari Dinas Rohani Islam Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Polri, plus 13 ulama perorangan.
Dalam khitahnya, MUI menjalankan fungsi waratsatul anbiya alias ”ahli waris para nabi” sebagaimana disebut dalam sebuah hadis, antara lain pemberi fatwa, pembimbing dan pelayan umat, termasuk sebagai lembaga untuk menegakkan amar makruf nahi munkar, yaitu menganjurkan kebajikan dan mencegah kemungkaran. Hingga munas ketujuh, MUI mengalami beberapa kali pergantian pengurus.
Posisi ketua umum dimulai dari Prof Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), KH Syukri Ghozali, KH Hasan Basri, Prof Ali Yafie, hingga KH Sahal Mahfudz. Ketua umum MUI pertama, kedua, dan ketiga telah meninggal dunia, -sedangkan dua yang terakhir masih aktif.
Menurut KH Ma’ruf Amin, salah seorang Ketua MUI, pada awal kepengurusannya duduk pula wakil pemerintah seperti Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan wakil angkatan bersenjata. Tapi, dalam 10 tahun terakhir wakil pemerintah mulai berkurang. ”Bahkan saat ini Menteri Agama juga sudah tak ada dalam susunan kepengurusan,” kata Rais Syuriah PB NU itu. ”MUI merupakan representasi dari semua ulama daerah dan orga-nisasi Islam. Jadi, sudah tak ada lagi ulama yang aspirasinya tidak terakomodasi,” tambahnya.
Fatwa yang disampaikan oleh MUI meliputi beberapa masalah seperti ibadah, paham keagamaan, sosial kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi tak semua fatwa turun mulus, bahkan ada yang menimbulkan penolakan atau beda pendapat, misalnya soal halal-haramnya mengkonsumsi kepiting. Dalam hal ibadah, MUI pernah memfatwakan sahnya salat di masjid bertingkat dengan satu imam, asal ada tangga, sementara gerak-gerik imam dapat di-ketahui oleh makmum, baik dengan mata maupun pendengaran.
MUI juga pernah menempelkan cap sesat kepada beberapa ajaran yang dianggap melenceng dari Islam, seperti Islam Jamaah, Darul Arqam, dan yang terbaru Ahmadiyah. ”Memang banyak fatwa MUI yang menimbulkan keresahan,” kata Dawam Rahar-djo, mantan Rektor Universitas Islam Bekasi. Misalnya, fatwa yang mengharamkan bunga bank—yang ditentang oleh NU dan Muhammadiyah—dengan alasan masa darurat bunga bank sudah habis. Fatwa ini menimbulkan keresahan umat yang bekerja di bank konvensional. Dengan bekerja di bank yang mendapat keuntungan dari bunga, mereka me-rasa melakukan perbuatan haram. ”Kalau tidak keluar dari bank, mereka merasa sama dengan makan daging babi,” kata Dawam.
Untung, fatwa itu tidak menimbulkan rush yang meng-ambrukkan dunia perbankan. Hal serupa juga terjadi ketika MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan minum-an keras, perzinaan, pornografi dan pornoaksi. Tapi semua yang diharamkan itu tetap saja marak di masyarakat. Memang, MUI tak punya wewenang melaksanakan fatwa. Sebab, seperti kata Ma’ruf Amin, peran fatwa hanyalah memberikan panduan bagi umat tentang suatu masalah, sementara kekuatan hukum untuk memaksakan pelaksana-an-nya bukan lagi wewenangnya.
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo