Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sepekan terakhir ini Abdul Muhaimin, 48 tahun, sering uring-uringan. Apalagi jika peng-asuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat di Kotagede, Yogyakarta, itu dimintai pendapatnya tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Kiai Nahdlatul Ulama ini juga tidak berbahagia diingatkan soal aksi penyerbuan ke kampus Al-Mubarok di Parung, Bogor, pertengahan Juli lalu. ”Saya sa-ngat kecewa,” katanya. ”Islam kok melakukan kekerasan.”
Bagi Muhaimin, Jemaat Ahmadiyah itu seperti keluarganya sendiri. Mereka sering berkunjung ke pondoknya, terkadang ikut makan, tidur, dan salat berjemaah dengan warga pondok lainnya.
Sebaliknya, Muhaimin juga sering mampir ke kantor mereka di Kotabaru, Yogyakarta. ”Mereka itu bukan orang lain bagi saya, keluarga dan penghuni pondok,” katanya.
Tamu Muhaimin itu umumnya mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Mereka membantu Muhaimin mencetak majalah Suluh, terbitan Forum Persaudaraan Umat Beriman.
Para mahasiswa itu juga ikut me-nyiapkan kemah bersama umat ber-agama yang digelar di Desa Turgo, Kecamatan Pakem, Sleman, akhir Juli lalu. Acara yang digelar di lereng Gunung Merapi itu dihadiri seluruh komunitas keagamaan, NU, Muhammadiyah, Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, dan aliran kepercayaan.
Di Madiun, Jawa Timur, Masjid Biturrohman di kawasan Ngrowo, Taman, selalu penuh setiap Sabtu malam. Sebenar-nya pengajian rutin selepas salat isya i-tu merupakan agenda JAI, tapi berubah menjadi acara rutin lingkungan.
Pesertanya juga bukan sebatas peng-ikut Ahmadiyah. ”Sejak didirikan pada 1973, masjid ini memang untuk masjid umum, bukan untuk orang Ahmadiyah saja,” kata Ahmad Sumani, pendiri JAI di Madiun.
Selain untuk pengajian, sehari-hari masjid itu juga ramai dengan anak-anak dan remaja yang ikut kursus baca Al-Quran. Pesertanya umum. Juga para warga yang berobat alternatif homoe pahly. Selain bayar seikhlasnya, peng-obatan ini dilakukan dengan ramuan tumbuhan yang disertai doa. Peminatnya banyak.
Di lereng Gunung Lawu, begitu azan dikumandangkan dari pengeras suara Masjid Mubarak, warga Desa Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, berduyun-duyun datang untuk salat. Salat Jumat juga digelar berjemaah dengan warga sekitar. Padahal bangunan masjid dua lantai yang didirikan pada 1987 itu juga digunakan sebagai kantor JAI.
Sehari-hari masjid itu tak pernah sepi. Seminggu tiga kali digelar pengajian dan arisan ibu-ibu. Setiap hari, selepas zuhur, anak-anak desa ramai belajar membaca Al-Quran. Tiga bulan sekali digelar acara donor darah dan peng-obatan massal—pesertanya dari ber-bagai kalangan.
Tak ada masalah dengan komunitas agama lain. Azis Suyatno, Ketua JAI Tawangmangu, adalah ketua RT setempat. Nasir Sumardi, eks Ketua Cabang JAI Tawangmangu, juga ketua seksi kerohanian desa.
Sebagai pamong desa, mereka tak jarang harus tampil memimpin doa dalam berbagai acara, termasuk acara keagamaan. ”Tak ada yang ribut, fatwa MUI tak berpengaruh sampai di sini,” kata Sulisyani, Ketua Fatayat NU -Karanganyar.
MUI Kabupaten Karanganyar sendiri memilih bersikap adem-ayem ketimbang meneruskan fatwa dari Jakarta. ”Lebih baik kami dekati daripada dibubarkan,” ujar Badaruddin, Ketua MUI Karanganyar. Selain karena pengikut JAI ha-nya 209 orang, mereka menganggap le-bih baik memelihara silaturahmi agar tak terjadi konflik antarumat beragama.
Harmoni seperti itu pula yang kini sebenarnya diharapkan warga JAI di Surabaya. Apalagi, sebelum fatwa MUI keluar, warga JAI Surabaya cukup akrab dengan MUI Jawa Timur dan ormas Islam lainnya.
Para mubalig JAI Wilayah Jawa Timur, seperti Basuki Ahmad, rajin sowan ke pondok besar di Jawa Timur seperti Pondok Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Pondok Lirboyo Kediri, Pondok Gontor Ponorogo, dan Anugayah, Gulukguluk, Sumenep. Sayang, keinginan itu cuma mimpi. Begitu papan nama kantor itu diturunkan polisi pekan lalu, harmoni itu kini tinggal kenangan.
Widiarsi Agustina, Syaiful Amin (Yogyakarta), Imron Rosyid (Solo), Rochman Taufiq (Madiun), Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo