Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERALATAN pentas milik maestro lengger lanang, Dariah, menggantung pada kayu berlatar anyaman janur di perbukitan Kendalisada, Banyumas, Jawa Tengah. Sanggul berkonde, sampur, kemben, dan jarit milik Dariah dipajang di tengah-tengah panggung. Selain perlengkapan pentas, foto Dariah dengan busana lengger berukuran jumbo terpajang pada spanduk festival.
Harta karun peninggalan Dariah itu mengingatkan semua orang pada keteguhan dan totalitasnya menarikan lengger hingga ajal menjemputnya. Dariah meninggal pada usia 97 tahun, Senin dinihari, 12 Februari 2018. Untuk mengenang dan menghormati Dariah, Pemerintah Desa Kaliori, Banyumas, bersama komunitas seni desa tersebut menggelar Festival Kendalisada, yang menampilkan setidaknya 10 kelompok penari lengger, pada 14-16 September lalu.
Gending Banyumasan beriring permainan calung, alat musik berbahan bambu wulung khas Banyumas, menyertai penampilan para penari lengger. Kendalisada diambil dari nama Bukit Kendalisada, yang dipercaya menjadi petilasan tokoh wayang Hanoman. ”Tahun ini kami berfokus pada lengger untuk menghormati Mbok Dariah,” kata perwakilan panitia acara, Hendro Yulianto.
Festival lengger berlangsung di perbukitan yang dikelilingi pepohonan, di antaranya pohon jati dan kelapa. Dari panggung, orang bisa melihat kerlap-kerlip lampu Kota Banyumas seperti bintang. Panggungnya dibuat sederhana, yakni menggunakan anyaman janur yang membentuk pola sampur. ”Lengger khas dengan sampur atau selendang,” ujar Hendro.
Semua penampil berpentas pada malam hari. Ribuan penonton duduk lesehan dan menyatu bersama desir angin hingga tengah malam selama tiga hari berturut-turut. Sebagian yang datang merupakan penduduk Desa Kaliori. Mereka ada yang mengenakan sarung, kopiah, dan jarit.
Malam pertama festival dibuka dengan uyon-uyon calung Banyumasan dan penari lengger Miray Kawashima dari Jepang Dewandaru Dance Company. Tiga penari lengger perempuan juga turut tampil membawakan tari lengger klasik. Panitia secara khusus mengundang keluarga dan kerabat Dariah. Nur Kholifah, keluarga Dariah, datang ke acara itu. Panitia membuat sesi khusus bincang-bincang tentang maestro lengger Dariah.
Pentas tari lengger pada malam kedua lebih atraktif. Penari lengger lanang muda membawakan lengger kontemporer. Mereka tampil menghibur penonton yang sebagian datang dari sejumlah negara, di antaranya Jepang, Amerika Serikat, dan Italia.
Dariah dalam pertunjukkan “Maestro Maestro IV” di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Desember 2011. -Dok.TEMPO/Jacky Rachmansyah
DI sela Festival Kendalisada, Tempo menyambangi keluarga Dariah di rumahnya di Desa Plana, Kecamatan Somagede, untuk mengenal lebih dekat sosok sang maestro. Tempo berziarah ke makam Dariah bersama Misti dan Nur Kholifah, dua anggota keluarganya.
Makam Dariah berada di pinggir Sungai Serayu, berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya. Sepekan sebelum wafat, penari lengger lanang yang lahir pada 1921 itu berwasiat agar keluarganya menjaga semua perkakas tari lengger yang biasa ia kenakan. ”Mbah Dariah minta keluarga merawat semua peralatan pentas. Jangan sampai hilang,” kata Nur Kholifah, 15 September lalu.
Nur Kholifah adalah anak dari keponakan Dariah yang bernama Misti. Nur menjadi asisten Dariah di usianya yang sepuh, menggantikan ibundanya yang terkena stroke. Nur ke mana-mana menemani Dariah tua yang masih menari memenuhi sejumlah undangan.
Enam bulan sebelum meninggal, Dariah tampil di Desa Pandak, Baturaden, Banyumas. Dia menari selama 20 menit untuk satu babak tari lengger beriring permainan calung, alat musik khas Banyumas. Gendingnya adalah gending Pangkur.
Di rumah Dariah, foto-fotonya bersama Didik Nini Thowok terpajang di ruang tamu. Ada tiga foto Dariah bersama Didik. Menurut Nur, Dariah senang bisa tampil bersama Didik.
Di usia senja, Dariah masih menari lengger. Tahun lalu, ia menari lengger di Festival Kendalisada. Maestro tari lintas gender (cross gender), Didik Nini Thowok, waktu itu juga diundang panitia untuk tampil. Kepada Dariah, Didik saat itu memberikan hadiah perlengkapan tari, seperti gelungan, mentul, dan kalung. ”Mbok Dariah memakainya saat pentas di Festival Kendalisada. Dia bilang kok kemelop (gemerlapan),” ujar Didik.
Bagi Didik, Dariah memberi kesan mendalam. Sepanjang hidupnya, Dariah mengabdikan dirinya untuk menari lengger. Didik melihat Dariah sebagai penari lengger lanang yang konsisten menari lengger hingga akhir hayat.
Dariah, kata Didik, spesial karena punya daya magis ketika tampil di pentas. Gerakan tari lengger yang Dariah pentaskan sederhana. Tapi Dariah mampu memunculkan aura dan energi yang menghipnotis orang yang menontonnya. Kelebihan pada Dariah ini belum ia temukan pada penari lenger lain di Banyumas. ”Mbok Dariah rajin menjalankan ritual khusus. Beliau tirakat, puasa, dan terbiasa hidup prihatin,” ujar Didik.
Dalam tradisi Jawa, orang mengenal kemampuan yang dimiliki Dariah sebagai wahyu pemberian Tuhan. Dariah mahir menari tanpa belajar kepada siapa pun. Di Banyumas, orang mengenalnya sebagai indang atau kewahyon. Di Bali, orang mengenal apa yang terjadi pada Dariah sebagai taksu.
Pertemuan Dariah dengan Didik berlangsung beberapa kali. Selain berjumpa di Festival Kendalisada, Didik bertemu dengan Dariah dalam pergelaran Festival Payung Indonesia di Pura Mangkunegaran, Surakarta, pada 2017. Sebelumnya, Didik secara khusus menemui Dariah untuk mendokumentasikan perjalanan Dariah sebagai penari lengger pada 2012. Gagasan itu muncul setelah Didik menarikan lengger di Yale University di New Haven, Amerika Serikat.
Pada pertengahan November 2012, Didik kemudian menari bersama Dariah di Padepokan Payung Agung, Desa Banjarsari, Kecamatan Nusawungu, Cilacap. Sepanjang mengenal Dariah, Didik merasa punya kemiripan dengan garis hidup Dariah. Menurut Didik, butuh puluhan tahun orang seperti Dariah dan dia mendapatkan pengakuan masyarakat. Apalagi di tengah konservatisme agama yang resistan terhadap tari lintas gender, semacam lengger.
Didik telah menulis tentang sejarah seni cross gender yang ada di banyak daerah di Indonesia. Selain di Banyumas, tradisi lintas gender ada di Jawa Barat, Yogyakarta, Solo, Jawa Timur, dan Bali. Didik mencontohkan keberadaan penari laki-laki pada masa Sultan Hamengku Buwono VII berkuasa. Tari wayang orang dengan tokoh perempuan dimainkan penari laki-laki. Cross gender, kata Didik, juga ditemukan di Serat Centhini. Tokoh utama Serat Centhini, Mas Cebolang, pernah menari berdandan perempuan.
Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah penari lengger lanang di Banyumas, menurut Didik, makin sedikit. Penyebabnya adalah belum semua masyarakat menerima keberadaan penari lintas gender. Sebagian dari mereka tidak diterima oleh keluarga, dikucilkan, dan mendapat diskriminasi dari masyarakat. Tidak gampang bertahan sebagai penari lengger lanang. ”Buat yang tidak kuat dan takut akan sulit bertahan,” ujar Didik.
Dariah saat menerima penghargaan sebagai pelestari budaya dari KGPAA Mangkunegara IX di Pendapa Pura Mangkunegaran, Surakarta, Jawa Tengah, September 2017. -TEMPO/Ahmad Rafiq
Lain halnya dengan Dariah di Banyumas. Dia diterima dengan sangat baik oleh lingkungan tempat ia tinggal. Menurut Nur Kholifah, Dariah lahir sebagai laki-laki dengan nama Sadam di Desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Banyumas. Sadam lahir dari pasangan Samini dan Kartameja, yang bekerja sebagai petani gurem.
Dariah menari sejak umur 9 tahun. Setiap ada tontonan lengger, ia selalu datang dan ikut menari. Kegemaran menari itu merasuk dalam tubuh Dariah hingga sepuh. Bila di desanya ada pentas kesenian tradisional Banyumas, seperti ebeg, kuda lumping, dan lengger, ”Mbok Dariah spontan ikut menari,” ucap Nur.
Dariah tak pernah belajar menari melalui sekolah atau sanggar tari. Dia membawakan gerakan klasik lengger secara bebas. Tidak ada aturan khusus seperti tari yang memiliki pakem gerakan tertentu. ”Mbok Dariah menari mengikuti suasana hati,” kata Nur.
Dariah senang menari dan menyanyikan tembang Jawa sejak bocah. Sebelum menjadi penari lengger, dia merasa seperti kerasukan indang lengger. Suatu hari pada masa penjajahan Jepang, Dariah pergi tanpa pamit dan hanya berbekal uang seadanya. Di pekuburan tua di Bukateja, Purbalingga, dia melihat banyak batu lonjong dalam posisi berdiri dan arca perempuan dari batu.
Ia merasakan kedamaian dan bertapa di situ berhari-hari. Dia juga menuju Panembahan Ronggeng Desa Gandatapa, Sumbang, Banyumas, tempat semadi buat orang yang menginginkan jadi penari lengger.
Dariah lalu menuju Purwokerto dan membeli perlengkapan penari lengger, di antaranya konde, kemben (kain penutup dada), sampur, dan kain. Di desa tempat dia tinggal, Dariah bercerita kepada keluarganya tentang peristiwa yang ia alami. Dariah minta diiringi gamelan. Beberapa orang berkumpul dan memainkan gamelan- untuk mengiringi Dariah.
Lengger Dariah khas dengan lengger klasik dengan gerakan yang sederhana. Ia menyanyikan lagu Banyumasan yang biasa digunakan untuk mengiringi lengger, yakni Pangkur, Ricik-ricik Banyumas, dan Sapa Nyana. Tembang-tembang itu sering Dariah nyanyikan sembari menyeruput teh di rumahnya.
Dariah berjaya pada 1930-1960-an. Ia menjadi primadona Banyumas. Dariah yang berkelamin laki-laki menjadi magnet di setiap pentas. Dia menjadi idola seantero Banyumas. ”Kalau sudah berdandan lengger, banyak orang yang kepincut,” ujar Nur Kholifah.
Dariah muda berjalan dari satu kampung ke kampung lain untuk mengamen. Di Banyumas, ngamen dikenal dengan istilah mbarang. Pengamennya disebut ba-rangan. Dariah berkeliling bersama kelompok musik yang mengiringinya. Anggota kelompok musik membawa alat musik sederhana, di antaranya calung, kendang, gong kecil, dan gambang.
Peristiwa 1965 membuat Dariah dan lengger tersingkir. Semua yang berhubungan dengan kesenian rakyat dituding sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia. Penguasa Orde Baru, Soeharto, melarang semua kesenian rakyat, termasuk lengger. Pada 1970-an, Dariah beralih menjadi perias pengantin karena eksistensi lengger mulai redup. Tak banyak lagi yang orang mengundangnya untuk pentas lengger.
Dariah hidup sangat sederhana. Sejak 1970-an, ia tinggal bersama keponakannya, Misti, di rumah sederhana. ”Hidup Mbah Dariah selalu prihatin. Mbah Dariah sering puasa dan menjalani laku spiritual,” kata Nur.
Pada 2011, Presiden Susilo Bambang Yudho-yono memberi Dariah anugerah kategori Maestro Seniman Tradisional. Dariah setia menjadi penari lengger hingga hidupnya berakhir.
Suasana rumah keluarga Dariah di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Banyumas, Jawa Tengah. -TEMPO/Shinta Maharani
DARIAH membawa spirit kepada banyak orang untuk menjaga kesenian lengger. Tubuhnya mengalami transformasi yang sempurna. Tubuh Dariah melebur sehingga ia tidak bisa lagi disebut perempuan atau laki-laki. ”Dalam kesenian lengger, Dariah levelnya berada di tingkat yang tinggi,” ucap koreografer asal Banyumas, Rianto.
Budayawan Banyumas, Yusmanto, menyebut Dariah sebagai satu-satunya penari lengger generasi sebelum 1965 yang tersisa hingga tahun 2018. Dariah menjadi bintang panggung ketika menari lengger. Setiap orang terpukau pada penampilan Dariah ketika dia berdandan sebagai perempuan dan menari.
Hampir semua pelaku seni tradisi lengger melakukan ritual kuno, yakni mencari indang. Indang merupakan roh leluhur yang dipercaya mampu memberikan kekuatan daya magis penari di panggung. ”Seseorang yang biasa diyakini tampil menghipnotis ketika di panggung,” ujar Yusmanto. Dariah punya keunggulan pada kekuatan batin.
Menurut Yusmanto, terdapat 76 kesenian tradisi Banyumas, di antaranya lengger dan ebeg. Yusmanto menulis ragam kesenian rakyat Banyumas dalam tesisnya yang berjudul ”Calung Kajian Identitas Kebudayaan Banyumas”. Ia menyelesaikan tesisnya pada 2006 di Institut Seni Indonesia Surakarta.
Menurut Yusmanto, lengger merupakan tari rakyat Banyumas yang berkembang secara turun-temurun. Tari rakyat diperkirakan ada sejak masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Wilayah jajahan Majapahit punya kesenian rakyat, seperti tayub, ledek, ronggeng, dan lengger. Lengger merupakan kesenian tari yang dilakukan laki-laki yang berdandan perempuan. Lengger berasal dari dua kata bahasa Banyumas, yakni leng atau lubang, yang menyimbolkan kelamin perempuan, dan ger, berasal dari jengger (mahkota ayam jantan), yang menggambarkan laki-laki.
Lengger bagian dari ritus kesuburan yang berkembang di Banyumas. Masyarakat menganggap ada hubungan seksual yang suci soal keyakinan dewi bumi sebagai dewi kesuburan. Seiring dengan waktu, ritus-ritus kuno yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap kesuburan mulai terkikis. Setelah perang Diponegoro terjadi pada 1830, fungsi lengger yang sakral beralih menjadi pemuas nafsu seks. Belanda masuk ke Banyumas dan menggunakan kesenian lengger sebagai pemuas nafsu seks.
Dulu ada istilah marungan, yakni para juragan trah ningrat dan Belanda kumpul di satu tempat untuk makan bersama, berjudi, dan mengkonsumsi minuman keras. Hiburan mereka adalah lengger, tayub, dan ronggeng. Sewaktu berkumpul di tengah malam, mereka akan memilih salah satu penari untuk kesenangan mereka.
Didik Nini Thowok (kanan) bersama Dariah, November 2012. -Dok.TEMPO/Aris Andrianto
Setelah peristiwa 1965, semua harta Dariah ludes. Ia sempat menjadi pekerja rumah tangga di Jakarta untuk menyambung hidup. Selama beberapa bulan di Ibu Kota, Dariah tak betah. Ia kemudian pulang dan tinggal bersama adiknya, Wasilah, di Desa Plana.
Pada 1973, muncul Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang di dalamnya memuat kebudayaan nasional sebagai puncak kebudayaan daerah. Sejak itulah pemerintah daerah tingkat II atau sekarang disebut kabupaten/kota wajib menggali ragam kesenian rakyat. ”Lengger Banyumas kemudian muncul kembali. Tapi sifatnya lebih pada entertainment, bukan sesuatu yang sakral. Lengger banyak menggunakan penari perempuan yang muda dan berparas cantik,” kata Yusmanto.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo