Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehari menjelang penandatanganan perjanjian dengan Freeport-McMoRan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih menyempatkan diri bertemu dengan bos perusahaan tambang yang bermarkas di Amerika Serikat tersebut. Tak sampai sejam, menjelang azan magrib, Rabu pekan lalu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menerima Chief Executive Officer Freeport-McMoRan Inc Richard Adkerson di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta.
“Hingga kemarin sore saya masih bertemu dengan Adkerson untuk menyelesaikan detail dan bahasa yang akan diletakkan dalam IUPK,” ujarnya, Kamis pekan lalu. Menurut pejabat yang mengetahui pertemuan itu, Freeport ingin memastikan bagian redaksional beberapa poin penting sesuai dengan kesepakatan. Salah satunya soal perpajakan.
Menurut Sri Mulyani, proses perundingan dengan Freeport tidak mudah. Banyak detail yang dinegosiasikan. Pemerintah, kata dia, ingin memperjuangkan yang terbaik dari sisi penerimaan, pembangunan smelter, dan pengelolaan dengan tetap menghormati hak investor.
Materi pembahasan itu merupakan bagian dari upaya pemerintah Indonesia merealisasi divestasi saham PT Freeport Indonesia. Kamis sore pekan lalu, induk perusahaan pertambangan milik negara, PT Inalum (Persero), akhirnya menandatangani sejumlah perjanjian. Ada tiga hal yang diteken, yakni perjanjian divestasi PT Freeport Indonesia, jual-beli saham PT Rio Tinto Indonesia, dan pemegang saham PT Freeport Indonesia. Penandatanganan dilakukan Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin dan Richard Adkerson di Ruang Sarulla, kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta Pusat.
Penandatanganan itu menindaklanjuti- pokok-pokok perjanjian (heads of agreement/HoA) tentang penjualan saham Freeport-McMoRan dan hak partisipasi Rio Tinto di Freeport Indonesia kepada Inalum, yang diteken pada Juli lalu. Nilai divestasi disepakati US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp 52 triliun.
Adkerson menyatakan tidak ada perubahan harga. Freeport telah menyetujui nilai dan dasar-dasar kesepakatan. “Beberapa bulan lalu kami memiliki HoA yang tidak mengikat, sementara sekarang negosiasi telah selesai.”
Ia menambahkan, pengalihan 45,6 persen saham Freeport Indonesia kepada Inalum merupakan win-win solution yang bisa dicapai bersama pemerintah Indonesia. Menurut dia, pengalihan ini menandai berakhirnya negosiasi selama beberapa tahun terakhir.
Nantinya, bila transaksi beres, Inalum resmi memegang 51,23 persen saham Freeport Indonesia, meningkat dari sebelumnya 5,62 persen. Termasuk di dalamnya alokasi untuk Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika sebesar 10 persen. Perusahaan memiliki tenggat enam bulan untuk menyelesaikan seluruh proses. Namun Budi menargetkan transaksi rampung paling lambat November mendatang. Ihwal pembiayaan, Inalum mengandalkan pinjaman dari sindikasi 11 bank asing yang dipimpin Bank of -Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd.
Selanjutnya, Inalum segera menerbitkan global bond untuk melunasi pinjaman perbankan yang mahal. “Diganti dengan obligasi yang murah dan jatuh temponya panjang,” kata Budi. Penerbitan surat utang akan segera dilakukan mengingat target penyelesaian transaksi sekitar dua bulan ke depan.
Tahap berikutnya, Kementerian Energi menunggu surat permohonan pengesahan dari Freeport Indonesia terkait dengan perubahan pemegang saham. Setelah itu, kata Menteri Energi Ignasius Jonan, pemerintah akan menerbitkan perubahan izin kontrak karya yang sebelumnya menjadi landasan operasi Freeport Indonesia menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Selama proses negosiasi, pemerintah memberikan IUPK sementara agar perusahaan bisa mengekspor hasil tambangnya dengan membayar bea keluar. IUPK sementara terakhir kedaluwarsa pada Jumat pekan lalu. Kementerian Energi kembali mengulurnya selama satu bulan.
PERTEMUAN singkat Menteri Sri Mul-yani dengan Richard Adkerson tak cuma membahas bagian redaksional dan tata bahasa materi perjanjian. Lebih dari itu, menurut seorang pejabat yang mengetahui masalah ini, Freeport ingin memastikan kembali bahwa pemerintah Indonesia memberikan jaminan keamanan investasi. Persoalan itu telah mengemuka sejak awal perundingan.
Saat itu, Freeport meminta penerbitan peraturan pemerintah yang menjamin penanaman modal. Pemerintah sempat menolak dengan menawarkan hal itu akan disertakan sebagai lampiran IUPK.
Tapi Presiden Joko Widodo akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2018 tertanggal 1 Agustus 2018. Isinya tentang perlakuan perpajakan dan/atau penerimaan negara bukan pajak di bidang usaha pertambangan mineral. Aturan itu mengatur, antara lain, pajak penghasilan badan bagi pemegang IUPK operasi produksi yang merupakan perubahan bentuk usaha pertambangan dari kontrak karya yang belum berakhir, termasuk Freeport Indonesia. Aturan ini memberi keringanan kewajiban pajak badan sebagai kepastian stabilitas investasi perusahaan setelah 2021.
Seorang pejabat pemerintah bercerita, Freeport menginginkan kewajiban yang sifatnya nail down, yakni pajak dan royalti yang besarannya tetap hingga kontrak berakhir. Perusahaan meminta semacam perjanjian bilateral dengan pemerintah.
Menteri Sri Mulyani memastikan hal tersebut akan tecermin dalam IUPK. Ia menegaskan, langkah pemerintah harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan menggunakan IUPK sebagai platform.
Persoalan yang sebelumnya juga sempat mengganjal menyangkut komite operasi. Pejabat yang mengikuti proses negosiasi ini menuturkan, tim yang berada di bawah direksi tersebut antara lain bertugas membahas kebijakan. Jumlah anggota tim, yang sebelumnya menjadi perdebatan, akhirnya disepakati seimbang, yakni masing-masing tiga perwakilan dari Inalum dan Freeport. Juru bicara Inalum, Rendi Witular, tak menampik hal itu.
Masalah lain adalah kerusakan lingkungan akibat limbah penambangan Freeport. Juli lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat ada 48 poin kelemahan Freeport dalam pengolahan lingkungan. Tapi, menurut Menteri Lingkungan Siti Nurbaya saat itu, perusahaan telah melakukan perbaikan sehingga 35 poin di antaranya sudah selesai. Dari 13 poin yang belum selesai itu, yang paling berat persoalan tailing.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan merilis potensi kerugian negara akibat kerusakan ekosistem akibat limbah Freeport sekitar Rp 185 triliun. Inspektur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup Ilyas Assad menjelaskan, BPK merekomendasikan pencabutan beberapa keputusan Menteri Lingkungan Hidup.
Menurut Ilyas, Kementerian Lingkungan Hidup berupaya memperbaikinya. Menteri Siti telah menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 172 dan 175 yang memuat langkah-langkah penanganan masalah lingkungan di tambang Freeport Indonesia. “Ada yang harus dikerjakan pemerintah, ada pula bagian yang wajib dikerjakan Freeport.”
Sejauh ini, kata Ilyas, hampir semua masalah sudah diselesaikan. Soal tailing, yang belum tuntas, diupayakan diatasi dengan peta jalan penanganan yang digarap perusahaan dengan supervisi Kementerian Lingkungan Hidup. Ilyas menyebutkan penyusunan peta jalan telah rampung sekitar 80 persen. Di dalamnya tercakup dua hal, yakni peta jalan dan kegiatan atau aksi. Dalam hal ini, Kementerian lebih menekankan pada pemanfaatan limbah tailing bagi masyarakat, misalnya untuk membuat batu bata beton.
Pemerintah berharap peta jalan bisa selesai pada Oktober ini. Dokumen itu akan menjadi acuan penerbitan IUPK. Tapi, menurut Ilyas, tak perlu menunggu peta jalan rampung untuk menerbitkan IUPK. Kementerian Lingkungan Hidup akan menerbitkan semacam rekomendasi, yang mengacu pada prinsip peta jalan, sebagai dasar bagi Menteri Energi untuk mengeluarkan IUPK. “Tidak perlu (menunggu) selesai. Yang penting prinsip-prinsip dasarnya sudah selesai.”
Dengan begitu, ia memastikan, Inalum sebagai pemegang saham baru tidak akan terbebani tanggung jawab lingkungan pada masa lalu.
RETNO SULISTYOWATI, KHAIRUL ANAM, PUTRI ADITYOWATI, FAJAR PEBRIANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo