Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mengenang Dua Maestro

Institut Kesenian Jakarta menyuguhkan pameran tentang sastrawan Sapardi Djoko Damono dan maestro grafis Wagiono Sunarto di Galeri Seni Taman Ismail Marzuki. Arti kesederhanaan nan dalam menjadi nilai penting karya Sapardi dan Wagiono.

28 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana pameran "Tribute to Urban Masters Sapardi Djoko Damono & Wagiono Sunarto" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 20 Agustus 2022. TEMPO/ Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lukisan mural berukuran sekitar 3 x 8 meter tersaji di salah satu sudut ruangan di lantai 2 Galeri Seni Taman Ismail Marzuki sejak Sabtu pekan lalu. Lukisan karya seniman mural Muna Diannur itu cukup jenaka. Betapa tidak, ia menggambar sastrawan Sapardi Djoko Damono dan seniman grafis Wagiono Sunarto dengan gaya anak muda kekinian. Kedua maestro itu sedang berangkulan sembari jari tangan mereka membentuk simbol hati atau cinta. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam lukisan tersebut, Sapardi dan Wagiono memakai pakaian anak muda, seperti bucket hat dan aksesori kalung berkilau. Sekilas keduanya mirip personel boy band kondang Korea Selatan. Butuh waktu empat hari bagi Muna dan sejumlah asistennya merampungkan lukisan mural berjudul True Story of Two Legends itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah pengunjung tampak tersenyum saat melihat karya tersebut. Uniknya, Muna memperbolehkan pengunjung membubuhkan kata, coretan, atau gambar pada mural itu. Mereka bebas mengekspresikan goresan spidol, asalkan tidak di atas obyek gambar Sapardi dan Wagiono. Walhasil, lukisan mural pria berambut gondrong itu menjadi salah satu yang paling ramai dikerumuni pengunjung. 

Kepada Tempo, Muna mengaku ingin melukis sosok Sapardi dan Wagiono dalam wujud yang jauh dari kehidupan asli keduanya. “Saya ingin menampilkan Pak Sapardi dan Pak Gion—sapaan Wagiono—sebagai sosok hypebeast yang tren saat ini,” kata Muna. 

Salah satu karya dalam pameran "Tribute to Urban Masters Sapardi Djoko Damono & Wagiono Sunarto" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 20 Agustus 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Menurut Muna, muralnya ini merupakan bentuk tanggapan atas karya-karya Sapardi dan Wagiono, yang dipamerkan di lokasi yang sama dalam “Artesis (1) Tribute to Urban Masters Sapardi Djoko Damono dan Wagiono Sunarto” pada 22 Juli-17 Agustus lalu. Di mata Muna, keduanya punya satu garis merah dalam berkarya, yakni kesederhanaan. Namun, di balik itu, karya sastra Sapardi dan karya grafis Wagiono justru punya bobot kualitas sangat dalam. 

Lukisan mural Muna merupakan bagian dari pameran “Artesis 2: Response to Sapardi Djoko Damono-Wagiono Sunarto” pada 17-30 Agustus 2022. Pameran Artesis diselenggarakan dalam rangka menyambut ulang tahun ke-52 Institut Kesenian Jakarta dan ulang tahun ke-13 Sekolah Pascasarjana IKJ. Sapardi dan Wagiono adalah perintis Sekolah Pascasarjana IKJ.

Sapardi, yang wafat pada 19 Juli 2020, adalah dosen di Sekolah Pascasarjana IKJ sejak 2009. Sebelumnya, akademikus bergelar profesor doktor itu mengajar di Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia dan pernah menjadi dekan pada 1995-1999. Tokoh kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940, itu pensiun dari UI pada 2005. Di luar dunia akademis, Sapardi dikenal luas sebagai sastrawan, yang karya-karyanya digemari berbagai kalangan.

Adapun Wagiono, lahir di Bandung, 20 Mei 1949, mengajar di IKJ sejak 1977 dan pernah menjadi rektor pada 2009-2016. Wagiono, yang berpulang pada 13 Januari 2022, merupakan salah satu peletak dasar desain grafis di Indonesia dan perintis konsep pendidikan desain komunikasi visual di Indonesia. Karya-karyanya dipamerkan di dalam dan di luar negeri sejak 1974. Wagiono belajar seni grafis di Institut Teknologi Bandung, lalu master desain komunikasi di Pratt Institute, New York, dan doktor bidang ilmu sejarah di UI.

Muna menyimpan memori tentang kedua maestro tersebut. Lantaran pernah mengenyam pendidikan sarjana dan pascasarjana di IKJ, ia sempat merasakan curahan ilmu dari Sapardi dan Wagiono. Di mata Muna, Sapardi dan Wagiono merupakan sosok rendah hati, tapi punya wawasan amat luas. Meski begitu, keduanya masih terbuka bertukar pikiran dengan anak muda. “Keduanya tak pernah menghakimi sebuah fenomena dan ide anak muda.”

Muna masih ingat betul pada petuah dari Wagiono kala memulai sebuah karya. Menurut dia, Wagino kerap berpesan untuk memulai sesuatu karya dari hal yang paling dekat dan sederhana. “Sebab, biasanya ada godaan untuk memulai dengan sebuah rencana besar dan spektakuler, tapi malah enggak jalan-jalan karena terlalu berat memikirkannya,” kata Muna. 

Kombinasi foto karya-karya dalam pameran "Tribute to Urban Masters Sapardi Djoko Damono & Wagiono Sunarto" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 20 Agustus 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Adapun pameran Artesis (1), yang digelar di lantai 1 Galeri Seni Taman Ismail Marzuki, menyuguhkan beragam karya Sapardi dan Wagiono. Bahkan terdapat karya yang teramat unik, seperti kumpulan sajak yang ditulis tangan Sapardi pada 1960. Ada pula arsip karya Wagiono berupa gambar dengan teknik arsir dan sketsa yang dibikin pada 1970-1990. 

Salah satu sudut yang ramai dikunjungi adalah sebuah papan garis waktu perjalanan karier keduanya dari remaja hingga keduanya mangkat. Hal lain yang menarik adalah terdapat kombinasi karya Sapardi dan Wagiono yang terpampang dalam tujuh papan. Misalnya, terdapat dua potong puisi Sapardi berjudul Dalang dari buku Namaku Sita (2012). Puisi tersebut menyinggung cerita epik Ramayana. Di bawah potongan puisi tersebut ditempelkan dua lukisan pulpen di atas kertas karya Wagiono. Kedua lukisan tersebut juga bertema cerita Ramayana. 

Ada pula penggalan paragraf Sapardi dalam novel Hujan Bulan Juni (2015) yang mengangkat kisah tentang kondisi Jakarta. Kondisi macet kendaraan bermotor, pedagang kaki lima, dan deretan rumah kumuh menjadi suasana Jakarta yang ditonjolkan. Melengkapi potongan novel Sapardi, ditempelkan karya screen printing Wagiono berjudul Mimpi Orang Kota 1 yang menampilkan gedung tinggi dan mimpi yang sama tingginya dari warga kota. 

Namun, meski ada kesamaan tema dalam sejumlah karya keduanya yang ditampilkan dalam pameran itu, mereka tidak “janjian” untuk membuat karya bersama. Baik Sapardi maupun Wagiono berkarya dengan proses kreatif masing-masing, tidak terhubung satu sama lain.  

Rizaldo, pengunjung pameran, mengaku takjub pada koleksi karya Sapardi dan Wagiono. Pria berusia 28 tahun itu pengagum berat Sapardi. “Sungguh pujangga yang luar biasa,” katanya, Sabtu pekan lalu. Ia sangat tertarik pada karya Sapardi yang masih ditulis tangan di atas kertas buku lusuh. Menurut dia, melihat tulisan Sapardi tersebut seperti diajak ke masa lalu. “Seperti berada di samping Pak Sapardi saat beliau menulis puluhan tahun lalu.”

INDRA WIJAYA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Indra Wijaya

Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus