Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA festival kesenian yang dibuka Gubernur Mantra dengan sambutan. Festival itu memang untuk mendukung perkembangannya, hingga sah pula sebagai komoditi tontonan. Begitu yang terjadi di Wantilan Taman Budaya Denpasar, Bali, 18 sampai 20 Februari pekan lalu -- untuk mengenang jasa Mcndiang Walter Spies. Ia memang musikolog. Tetapi yang penting lainnya, ia juga seorang pelukis yang berjasa dalam perkembangan kesenian Bali. Tetapi apa yang disajikan di sana itu bukanlah tontonan gratis, kendati terbuka untuk siapa saja. Bagi penonton domestik, karcis masuk cuma Rp 500,00. Sedangkan untuk turis asing, yang bisa sembarang memilih tempat duduk, dipungut Rp 5.000,00 dan Rp 10.000,00 (paling laris) menempati posisi lurus dengan panggung. Panitia sendiri, seperti kata A.A.M. Jelantik, yang merangkap Ketua Walter Spies Foundation (berdiri di Bali 1981) dan ketua penyelenggara festival, telah mengeluarkan dana sekitar Rp 9 juta. Sumbernya antara lain dari Yayasan Walter Spies di Negeri Belanda, Hans Rhodius (penulis buku Walter Spies and Balinese Art), serta pihak swasta yang bertindak jadi donatur. Berlangsung dalam suasana kesukaan dan warna khas setempat, acara yang dinamai Walter Spies Festival, an Evolution of Balinese Performing Art itu saban hari menghidangkan tujuh nomor repertoar. Dimulai dengan Selunding (atau Slonding), sebuah musik ritual dari masa lalu yang hanya terdapat di wilayah Karangasem. Kali ini yang ditampilkan Batara Bagus Slonding (Leluhur Bagus Slonding), dari Desa Tenganan Pangringsingan. Segera disusul slonding modern, yang lebih semarak. Niatnya memang untuk membeberkan secuplik perjalanan seni pertunjukan setempat, kemudian ditonton, tentu tak ketinggalan ada karya-karya baru. Misalnya Kebyar Duduk (kreasi Gusti Ngurah Raka) atau Paring Cita, buah tangan Wayan Rai, yang begitu modern dan berbau eksperimentil apalagi ada penggunaan perkakas dapur, seperti mangkuk, kuali, sendok, telenan, untuk menggali efek musikalnya. Walter Spies, lelaki kelahiran Moskow, 1895. Ia meninggal di Lautan Hindia, 1942. Di masa hidupnya ia sangat bersemangat menembus batas-batas ekspresinya sendiri - dan sekarang tampak seperti dicoba dihidupkan kembali. Roh lelaki keturunan keluarga kaya berdarah Jerman ini dipanggil ke Wantilan (balai banjar) Taman Budaya. Tak kurang Ngurah Raka, yang sudah gaek, seperti ketambahan tenaga ketika menggoyang badannya dalam kebyar kendati ia sempat jatuh terduduk dalam sebuah improvisasi dan seusai itu terpaksa dipapah balik. Begitu berwibawanya Walter Spies. Lelaki jangkung yang ketika hidup selama di Ubud (1927-1940) ini lebih populer dipanggil dengan nama Tuan Tepis. Menurut Doktor Made Bandem, tokoh penting dalam kesenian Bali, "Kehebatan dia tampak dari gagasannya yang tersampaikan pada pelukis-pelukis Bali masa itu. Misalnya pada Anak Agung Gde Sobrat dan Anak Agung Gde Meregreg. Setelah itu mereka tidak hanya melukis dalam corak tradisional alam perwayangan, tetapi juga dunia nyata, seperti pemandangan." Sejak itu seni lukis Bali lebih rinci mengenal istilah semacam komposisi. Sobrat dan Meregreg (sepupu yang waktu itu masih belasan tahun) kemudian dikenal melahirkan napas dan gairah baru dalam seni lukis leluhurnya. Diperkuat pula dengan berdirinya Pita Maha, 1935, oleh tiga serangkai Cokorde Gde Agung Sukawati, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet. Yang terakhir ini adalah orang Belanda yang datang ke Bali sesudah dua tahun Walter Spies disana. Pita Maha, perkumpulan pelukis dan pematung Bali, tak sekadar memberikan bimbingan dan penyuluhan dengan cara mengajarkan tanpa harus jadi guru, atau mempengaruhi tanpa harus menguasai. Pita Maha juga menyediakan cat dan peralatan melukis. Di Bali lalu lahirlah lukisan hitam putih, antara lain, berkat diperkenalkan kertas untuk sketsa dan tinta Cina oleh paguyuban tersebut. Lebih jauh, Tuan Tepis juga "membebaskan" tari Kecak dari kungkungannya, yang sebelumnya hanya sekadar untuk upacara keagamaan. "Tari itu,'- kata Bandem, "kemudian seperti yang kita tonton sekarang. Dia mengubah seni ritual menjadi seni yang harus dinikmati dan ditonton, memasukinya dengan blocking dan ritme. Dia pula yang pertama kali mengubah not Bali ke not Barat." Harap maklum, salah satu gubahannya: Bima Kruda. Sebaliknya, Tuan Tepis juga tak sanggup begitu saja mengambil Jarak dari warna dan jiwa kesenian Bali. Sebagai dokumentator lamak (lukisan pinggir yang biasa dipakai untuk upacara-upacara) yang baik, Tuan Tepis telah menyatu dengan Bali. "Ia dan orang Bali saling mengisi," tutur Made Wianta, pelukis yang tampil ke permukaan setelah Orde Baru. Rupanya, penyerapan oleh Tuan Tepis itu sangat bisa dikenali lewat lukisan-lukisannya. Kecenderungan ekspresinya (kata pengamat, ia impresionis mistis yang sudah tampak sejak ia masih di Eropa) memang mudah dilakukan dengan menyerap jiwa setempat. Kaidah-kaidah perspektif ia jumpalikkan, imajinasinya bebas, dalam goresan yang detail dan pola dekoratif. Ada bau serealisme - juga ketika masih belum ke Bali - seperti pada Perpisahan (1921), memanfaatkan cahaya dan sentuhan humor, hingga suasananya tak sedih. Walter Spies mulai menemukan kediriannya dalam kamp interneran, oleh Rusia. Dan itu ia sudahi dalam status interniran Belanda - setelah pasukan Jerman, dalam awal Perang Dunia II, menduduki Belanda. Semua keturunan Jerman di Hindia Belanda harus angkat kaki. Tak terkecuali Walter Spies. Dan sewaktu kapal pengangkut orang-orang Jerman di Hindia Belanda itu menuju India, Januari 1942, sebuah pesawat pengebom Jepang menyerang. Kapal tersebut tenggelam. Sebagian penumpang selamat, hanya Tuan Tepis tidak termasuk di antara mereka. Tapi dalam usianya yang tak panjang itu, ia telah mengisinya dengan intens. Walter Spies dilahirkan untuk menjadi warga di mana saja, di luar tanah leluhurnya. Dimulai ketika ia sebagai keturunan bangsawan Jerman, pada kemelut perang Dunia I, oleh tentara Rusia dicabut dari kehidupan di peristirahatan keluarga berhalaman luas di Nekljudovo, tak jauh dari Moskow. Waktu itu usianya memasuki ke-20. Karena itu pula ia sudah memenuhi syarat usia memasuki tentara. Walter muda sempat mengabdikan diri sebagai tenaga palang merah, di rumahnya, yang dijadikan rumah sakit darurat. Kemudian, tentara Rusia menyingkirkan dia ke Sterlitamak sebuah kota kecil di Pegunungan Ural. Di interniran itu ia tak mempedulikan rekan-rekan senasib sesama bangsawan. Ia bergaul dengan warga Tatar, suku setempat. Bahkan, ketika peraturan sudah membolehkan, Walter malah tinggal bersama mereka. Mulai melukis potret, belajar bahasa lokal, bahkan sering di malam hari, sebuah piano ia mainkan berdampingan dengan penyanyi lokal, menyanyikan balada-balada rakyat Bashkir, Tatar, dan Kirgiz. Ia juga gemar duduk mencangkung bersama orang tua setempat, mendengarkan legenda mereka. Menurut penulis buku Waker Spies and Balinese Art, Hans Rhodius dan John Darling, selama kamp itulah Spies menemukan identitasnya karakter dan kepribadiannya terbentuk - ia terungkap dalam lukisan-lukisannya. Sedang semangat futurisme, kubisme, dan ekspresionisme yang tengah berkecam di Eropa dan sempat merasuki Walter Spies ketika bersekolah di Dreden, justru luntur. Eropa, yang jadi leluhurnya, kemudian membuat dia jengah. Suatu hari ia bertutur dalam suratnya kepada seorang kolega, "Bagi saya setelah menghabiskan masa tiga tahun d interniran, hidup dengan orang-orang Bashkir, belajar memahami, merasakan, dan mengetahui kenyataan hidup, Eropa tak membuat saya menjadi betah. Selayaknya saya menyingkir dari sini dan mencoba mencari sebuah kediaman baru." Dengan menumpang kapal Hamburg yang bertolak menuju dunia Timur, 23 Agustus 1923, Walter Spies tiba di Jawa Kehidupannya ia mulai di Bandung sebaga pianis pada sebuah bioskop milik seorang keturunan Cina. Masa tinggalnya yang tak terlalu lama di kota ini menghasilkan sebuah goresan pensil -- studi tentang tampang Sunda dan dua gambar pemandangan dengar cat minyak. Kemudian lingkungan Keraton Yogya adalah pijakan kedua. Dengan gaji 10 gulden sebulan, ia terima jabatan sebaga pemimpin 30 pemain Orkes Keraton tetapi menolak gaji 1.000 gulden yang ditawarkan pengurus klub malam. Pada 1 Januari 1924 ia pindah ke paviliun milik Pangeran Djojodipuro, yang kelak dikena sebagai seorang eksponen kebudayaan Jawa Sementara itu, Walter tetap melukis. Pad- Mei 1925 ia ikut pameran bersama d Surabaya. Kunjungan pertamanya ke Bali, Aprii 1925. Ia jadi tamu Puri Punggawa (Kepala Distrik) Ubud, Tjokorde Gde Raka Sukawati. Awal pertemuannya dengan dunianya ini kemudian membuat ia mabuk kepayang lalu merasa dirinya sudah jadi bagian dari Bali. Akhirnya, ia minta izin pada Sultan, untuk meninggalkan Keraton. Sultan setuju. Pertengahan 1927, dari Keraton ia hijrah ke Puri Ubud. Kemudian ia menancapkan kaki dan hidupnya di Campuan, tak jauh dari puri itu. Mohamad Cholid (Jakarta) & Joko Daryanto (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo