Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Durasi yang panjang untuk sebuah lagu pada pelbagai judul lagu-lagu MONO menjadi pengalaman tersendiri saat mendengarkannya, apalagi secara langsung menyaksikan mereka di atas panggung. Band instrumental asal Tokyo, Jepang ini terbentuk pada 1999.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini MONO diiisi oleh empat personel yakni Takaakira Goto (Gitar), Tamaki Kunishi (Bass, Piano), Yoda (Gitar), dan Dahm Majuri Cipolla (Drum). Sepanjang karier seperempat abad itu, MONO telah menghasilkan 12 album penuh, yang terakhir rilis tahun ini bertajuk OATH.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hal mudah bagi MONO tumbuh di kota kosmopolitan seperti Tokyo 25 tahun silam. Mereka memainkan musik instrumental yang tak dilirik para penikmat musik, sehingga MONO harus terbang ke Amerika dan Eropa untuk beraksi dari panggung ke panggung.
Sebelum tiba di Jakarta untuk bermain di hari ketiga Joyland Festival Jakarta 2024, MONO sedang menjalani rangkaian tur album OATH sejak Oktober 2024. Mereka memulai perjalanan tur dari Eropa ke Asia dengan set band dan orkestra, meski di Jakarta hanya bermain dengan set band.
“Ini kali kelima kami ke Indonesia. Sejak 2007 mungkin. Saya sangat bersyukur bisa kembali ke sini karena selalu ramai jadi sangat menyenangkan. Indah sekali rasanya bisa berbagi musik di sini saya sangat bersemangat, ya,” kata Gitaris MONO, Takaakira Goto kepada Tempo di Jakarta pada Ahad, 24 November 2024.
Sore itu, dua jam sebelum MONO naik panggung, wartawan Tempo, Bagus Pribadi,mengobrol dengan Takaakira Goto dan Dahm Majuri Cipolla. Usai menunggu sekitar sepuluh menit, mereka berdua tiba dan menyapa dengan pakaian serba hitam a la musisi black metal.
Dalam perbincangan 12 menit itu, Goto dan Cipolla menceritakan proses kreatif penggarapan OATH yang diproduseri Steve Albini yang juga menggarap album-album milik PJ Harvey (Rid of Me, 1993) dan Nirvana (In Utero, 1993). Albini meninggal pada Mei 2024 dengan usia 61 tahun serta meninggalkan jejak karya penggarapan album salah satunya OATH milik MONO.
Goto juga mengisahkan bagaimana MONO harus berjibaku di awal-awal terbentuknya band untuk bisa main di panggung-panggung di Jepang, hingga memutuskan mengawalinya dengan pentas di benua Amerika hingga Eropa.
Penampilan Band Instrumental asal Jepang Mono menghibur penonton Joyland Festival Jakarta 2024 di Lapangan Baseball Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 24 November 2024. TEMPO/Ilham Balindra
Selama rangkaian tour album OATH, dari berbagai kota itu mana yang paling mengesankan?
Takaakira Goto: Ketika saya masih kecil, saya suka sekali saat pindah ke London. Sebab itu sekarang saya punya banyak kenalan di sana. Jadi London sangat menyenangkan selama kami tur karena penontonnya banyak sekali. London selalu jadi kota impian saya.
Dahm Majuri Cipolla: Saya suka sewaktu tampil di Helsinki. Karena istri saya orang Prancis dan punya banyak kenalan dan kerabat. Jadi setelah manggung saya bisa bermain-main di sana. Tapi saya suka semua tempat yang kami kunjungi, sangat suka.
Kenapa manggung dengan set band saja di Jakarta, sementara di kota lainnya dalam rangkaian tur album ini kalian menggunakan orkestra?
Takaakira Goto: Kami inginnya juga bisa main dengan orkestra, sayangnya tak bisa. Jadi, mungkin tahun depan, ya, hahaha.
Dahm Majuri Cipolla: Tapi itu juga menyenangkan bermain hanya dengan band saja tanpa orkestra.
Bagaimana proses kreatif album terakhir kalian…
Takaakira Goto: Ya, kami mulai merancang komposisi selama masa COVID dan situasi itu membuat saya merasakan dunia yang sama sekali berbeda. Karena saya tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi. Saat itu saya memikirkan bahwa kita hidup ada batasnya. Situasi COVID membuat saya merasa lebih seperti, menyadari apa yang kita lakukan, apa yang kita butuhkan sebagai manusia, terutama saya berkarya di musik.
Jadi setelah COVID, kami segera memulai tur lagi, dan rasanya sangat segar. Lagi, COVID membuat saya merasa sangat bersyukur. Bahkan, dunia sedang gila sekarang, tetapi kami masih bisa bertahan hidup dan kami punya teman dan keluarga. Jadi kami bisa lebih banyak memfokuskan pada hal-hal positif. Jadi saat penggarapan album itu penuh energi positif sebenarnya.
Bagaimana bekerjasama dengan mendiang Steve Albini, yang memproduseri album OATH?
Album ini menjadi salah satu album terakhir yang bekerja sama dengan Steve Albini, dan itu membuat kami merasa terhubung selamanya dengan dia. OATH bakal jadi album album yang tak terlupakan bagi kami. Itu sangat penting bagi kami.
Bisa ceritakan intensitas hubungan kalian dengannya sebelum dia meninggal, terutama dalam penggarapan album ini?
Dahm Majuri Cipolla: Kami bekerja sama dengan baik sepanjang waktu dengannya. Itu adalah proses yang sangat mulus dan sempurna bersamanya untuk menjadi salah satu yang terakhir. Itu sangat mudah sebagai teman dan kolaborator juga.
Takaakira Goto: Kami sudah bekerja dengannya selama 20 tahun, dan sekarang rasanya seperti luar biasa.
Apa saja hal menyenangkan selama penggarapan album OATH?
Jadi dia (Cipolla) tinggal di Amerika Serikat, sementara personel lainnya tinggal di Jepang. Jadi kami berdiskusi mengenai album ini secara daring. Kemudian kami memutuskan bekerja sama dengan Steve sebagai produser kami. Akhirnya, kami bisa bertemu satu sama lain di Jepang. Saat itu kami memiliki begitu banyak energi, dan sangat menyenangkan untuk bermain bersama sebagai sebuah band. Saya pikir kami bisa meninggalkan kegembiraan itu di album.
Hambatan terbesarnya ada tidak?
Tidak, tidak, tidak. Sama sekali tidak ada masalah. Semuanya berjalan lancar.
Dahm Majuri Cipolla: Kami sudah tahu harus apa saat penggarapan album, jadi sama sekali tak ada hambatan.
Di tahun MONO terbentuk 25 tahun lalu, tak banyak band yang memainkan musik sejenis Post-Rock dengan ciri khas gazing guitar (delay pedals & tremolo) di Jepang. Apa yang mendasari kalian memainkan musik semacam ini?
Takaakira Goto: Ketika kami memulai band ini, belum ada istilah Post-Rock. Kami hanya berpikir kami adalah band instrumental. Kemudian dua atau tiga tahun setelahnya tiba-tiba istilah Post-Rock menyebar di penjuru dunia, tapi tetap saja kami tak peduli. Kami selalu berusaha menjadi sangat unik dan semacam eksperimental.
Dahm Majuri Cipolla: Kami tidak memetakkan MONO di genre apa pun.
Belakangan banyak band Jepang memainkan musik seperti itu dengan warna yang berbeda. Misalnya tahun lalu Joyland mengundang Luby Sparks (Tokyo) dan tadi ada penampilan dari DYGL (Tokyo) yang memadukan suara shoegaze dengan indie rock.
Takaakira Goto: Iya itu semakin populer. Sangat bagus untuk skena.
Lalu bagaimana kamu memandang industri musik di Jepang?
Sejak kami memulai band ini, di awal, suliot sekali rasanya bisa bermain di Jepang karena kami tidak punya vokalis melainkan cuma instrumental. Orang-orang yang menyelenggarakan acara tidak tertarik karena kami tidak punya vokalis.
Sebab itu kami berkelana ke tempat lain. Kami main di new York, Jepang seolah-olah jadi tempat yang nihil bagi kami karena kami memulainya di Amerika Serikat, di Eropa, di Australia, Asia, lalu di Jepang. Sekarang, semuanya sudah tampak baik. Ya, Jepang perlahan berubah. Saya pikir sekarang kami punya penggemar yang baik di Jepang.
Apa langkah selanjutnya setelah bermusik di band ini selama 25 tahun?
Kita lihat saja nanti. Kami punya beberapa rencana seperti merilis soundtrack baru untuk film yang akan datang. Selain itu, kami terus merilis yang nantinya kami beri judul “Heaven” tepat saat Hari Natal. Mungkin, kami akan memiliki album baru pada tahun 2026. Kami akan terus melakukannya sampai saya berusia 80 tahun, hahaha.
Bagaimana dengan rencana kalian mengenai prinsip atau capaian, dan lainnya di band?
Dahm Majuri Cipolla: Hanya terus melakukan apa yang sedang kami lakukan saat ini.