Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia, 2020.
Kita penuh harap dan optimisme mengharap Indonesia lebih baik daripada 2010 yang penuh curiga dan keserakahan. Seorang anak muncul, mengingatkan penonton bahwa Indonesia 2020 seperti ”habis gelap, terbitlah gelap”.
Ketika panggung dibuka, kita melihat terminal busway, rakyat Jakarta berseragam, lalu-lalang, menari, dan menyanyi bahwa ”semua patung berbaju dan bercelana/coba lihat di dekat Ratu Plaza/Patung berotot itu sudah berbusana”. Maka kita tahu: Indonesia tahun 2020 sama sekali belum berubah. Bahkan situasi sosial politik semakin parah dan luar biasa diktatorial. Undang-Undang Onrop-grafi dan Onrop-aksi begitu menekan dan menindas sehingga apa saja yang berbau atau terdengar porno akan menyebabkan pelanggarnya dibuang ke sebuah pulau nun di sana, bernama Onrop. Sebuah pulau yang digambarkan sebagai tempat pembuangan para ”homoseks, lesbian, dan seniman” dan ”neraka di bumi yang tak beriman”.
Bram (Giandra Hartajaya), seorang novelis religi, hidup dengan lurus sesuai dengan peta dan garis yang dia percaya. Dia merasa tak boleh bersentuhan atau bahkan mengaku-aku punya kekasih di depan publik. Sang kekasih, Sari (Ary Kirana), harus maklum jika di depan wartawan atau para polisi moral, Bram selalu memperkenalkan dia sebagai ”kawan” atau ”adik” atau status lain yang lebih netral.
Suatu malam yang nahas, didampingi asistennya, Amir (Ario Bayu), dan Sari, Bram meluncurkan novel religinya yang terbaru di sebuah galeri. Salah satu wartawan memintanya membacakan novelnya. ”Aku ingat kata-kata yang pernah aku dengar dulu: kita mesti telanjang dan benar-benar bersih…,” Bram membacakan.
Hening. Semua yang hadir terpana dan bola mata mereka nyaris menggelinding. Kata ”telanjang” adalah sebuah kata bak musuh yang tak boleh diucapkan sama sekali. Meski itu hanya kiasan, hadirin dan polisi moral tak peduli. Bram diseret ke tahanan. Dia diadili dan divonis dibuang ke Pulau Onrop.
Drama musikal berdurasi dua jam ini adalah karya pertunjukan panggung Joko Anwar yang pertama. Sebelumnya, kita sudah mengenalnya melalui film Janji Joni, Kala, dan Pintu Terlarang. Tapi, dengan medium film atau panggung, kita tetap mendengar suara Joko yang lantang melalui tokoh-tokohnya, misalnya Amir, asisten Bram, seorang gay feminin yang harus menutupi orientasi seksualnya karena sangat jeri dibuang ke Pulau Onrop. Suara Joko juga terdengar dari tokoh Sari, yang sangat kritis dengan segala peraturan yang mengikat kehidupan mereka; juga melalui tokoh Pak Toto (Manahan Hutauruk)—sesepuh di Pulau Onrop yang menjelaskan situasi Onrop yang sesungguhnya kepada Bram yang gemetar.
Seluruh protes dan gugatan disampaikan dengan ringan melalui lirik yang bergaya bicara anak urban Jakarta diiringi musik pop-jazz. Menurut trio music director Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Ramondo Gascaro, musik mereka terinspirasi oleh produksi musikal Broadway. ”Referensi kami adalah drama musikal The Producer,” kata Aghi kepada Tempo.
Sepanjang dua jam itu, Joko menyajikan tujuh buah set yang luar biasa, antara lain yang mengesankan sebuah panorama Jakarta kota tua, sebuah penjara, dan Pulau Onrop. Joko mengaku tidak menggunakan penata artistik profesional karena ”dana kami sangat terbatas”. Joko mengungkapkan ide pada desainer artistik Mayumi Haryoto; kemudian berdasarkan sketsa itu, Hardiman dan timnya membangun di bawah pengawasan Joko. Hasil dari penghematan itu malah salah satu pencapaian yang terbaik dari pertunjukan ini. Dengan ongkos Rp 3 miliar (ongkos drama musikal lain bisa tiga kali lipat dari ongkos produksi Onrop!), tata artistik Onrop! bukan cuma sekadar ”pendukung” pertunjukan ini, tapi—bersama musiknya yang sangat mudah dicerna—elemen itu menjadi pilar pertunjukan.
Dari sisi tema kritik sosial—dengan skala yang ringan—Onrop! mengingatkan kita pada aroma Teater Koma di periode kejayaannya pada 1980-an, ketika N. Riantiarno menampilkan Bom Waktu dan Opera Kecoa. Perbedaan utamanya, sementara Teater Koma cenderung menyorot kisah ”mereka yang di gorong-gorong”, Joko memilih tokoh-tokoh kelas menengah atas dengan segala hipokrisi yang mereka pilih (yang diwakilkan tokoh Bram). Kelas bawah dalam Onrop! diwakili para gelandangan—kelompok yang tampil paling segar.
Tentu saja ada permasalahan dalam pertunjukan ini yang juga dihadapi kelompok musikal di Indonesia secara umum. Para penari tak bisa selalu sinkron dan tak memiliki presisi seperti, katakanlah, pertunjukan Broadway (jika memang itu kiblatnya). Ini disadari oleh Joko Anwar karena, ”Kelompok musikal di Indonesia memang terbentuk karena sebuah pertunjukan yang direncanakan sesekali, bukan pertunjukan rutin yang sudah berbentuk industri seperti Broadway,” jawab Joko.
”Bukan ingin membela diri, tapi penari, penyanyi, dan pemain sebagian besar adalah orang kantoran dan mahasiswa yang betul-betul memulai dari nol dan kami betul-betul membentuknya,” kata Joko.
Dengan kesadaran seperti itu, tampaknya koreografer Eko Supriyanto menciptakan gerakan yang tak selalu harus dalam bentuk barisan dan membutuhkan sinkronisasi. Penyiasatan seperti ini mungkin memang harus digunakan untuk pertunjukan musikal kita, bukan hanya Onrop!. ”Sebagian memang ada yang biasa menari sebagai penari latar, tapi sebagian besar sama sekali tak pernah menyentuh panggung, dan sangat bersemangat belajar dari awal,” kata Eko, yang tahun ini juga terlibat dalam pertunjukan Diana (Garin Nugroho) dan Tusuk Konde (Garin Nugroho).
Tata suara Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, yang masih baru itu juga menjadi problem. Kadang-kadang suara penyanyi tak terdengar hanya karena mikrofon tidak nyala, dan terkadang ada yang bergaung. Untuk sebuah teater yang konon diharapkan sebagai gedung pertunjukan yang terbaik yang kita miliki, gangguan teknis seperti ini menjengkelkan.
Bagaimanapun, seluruh problem ini tertutup dengan 18 lagu ciptaan trio Aghi, Bemby, dan Ramondo dengan iringan Nusantara Symphony Orchestra yang secara langsung dipimpin oleh konduktor Indra Perkasa. Asyik, ringan, mudah melekat di telinga, dan terbawa-bawa hingga penonton pulang ke rumah.
Selain itu, tentu saja pesona pertunjukan terpancar dari seni peran Ario Bayu, yang menjadi matahari di atas panggung. Penampilan Ario Bayu akhirnya mencuri perhatian penonton sepanjang pertunjukan. Dia berhasil masuk menjadi sebuah sosok yang kemayu, cerdas, sesekali rewel, dan pada akhir pertunjukan mampu membuka identitas dirinya. Tokoh Amir memang sebuah comic relief untuk mengimbangi sosok Bram yang serba serius dan mudah gugup.
Kita bisa paham mengapa Joko Anwar dan timnya menginginkan nama dan wajah baru seperti Giandra Hartajaya sebagai Bram. Tapi, harus diakui, Ario Bayu dan Ary Kirana dan Ferouz Afero (sebagai polisi moral) adalah mereka yang sudah memiliki seusap pengalaman dan nyaman dalam sosok yang mereka perankan. Merekalah yang berhasil membuat panggung sebagai rumah sendiri.
Namun tentu saja para pendukung lain juga berhasil meniupkan oksigen ke atas panggung (dan sukses membuat penonton terbahak-bahak hingga sakit perut): kelompok gelandangan, para penduduk Pulau Onrop, kelompok Ultra Vixen yang seksi sekali, dan geng mafia pengadilan.
Nah, adegan pengadilan justru menjadi salah satu adegan yang segar. Sang Hakim (Verdi Solaiman) dan Jaksa yang ribut betul (Rangga Hilman) tidak hanya sekadar menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia adalah sebuah proses sia-sia, tapi juga sebuah dagelan abadi.
Ini memang sebuah langkah awal dari Joko Anwar di atas panggung yang masih memiliki catatan. Tapi, melihat antre penonton yang membeli tiket dengan antusias—padahal sistem pembeliannya ribet betul—tampaknya kita harus bersetuju dengan ucapan penyair dan kurator Salihara, Nirwan Dewanto, bahwa tahun ini adalah tahun pertunjukan panggung. Joko Anwar mengakui, jika ada dana, dia akan membuat sekuel dari pertunjukan ini berjudul Polaris (Polisi Moralis). Pasti para penonton yang tak kebagian tiket akan menanti ”Janji Joko”.
Leila S. Chudori, Ismi Wahid, Pramono, Kurniawan
Onrop! Musikal
Sutradara: Joko Anwar
Penulis skenario/lirik : Joko Anwar
Music director: Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Ramondo Gascaro
Koreografer: Eko Supriyanto
Pemain: Giandra Hartajaya, Ario Bayu, Ary Kirana, Sita Nursanti, Verdi Solaiman, Ferouz Afero
Produser: Afi Shamara
Produksi: Sixstories Production
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo