Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Menuju Dunia dengan Jimat MTV

Oleh: Radhar Panca Dahana

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI berbagai konsesi politik dan ekonomi hasil negosiasi kunjungan Bill Clinton ke Cina beberapa waktu lalu, Presiden Cina Jiang Zemin dengan berat hati meluluskan satu permintaan utama pihak Amerika Serikat yang memang cukup ganjil: pidato yang ditayangkan secara langsung melalui TV nasional Cina. Dan terjadilah peristiwa pertama dalam sejarah penduduk Cina: seorang pemimpin negeri asing berbicara langsung kepada mereka. Beberapa media luar memberi kesan pada peristiwa tersebut sebagai "contoh kebebasan dan demokrasi bagi rakyat Cina," atau "Cina kini terbuka bagi informasi dunia," atau, lebih khususnya, masyarakat Cina didesak dengan keras untuk memperjuangkan kebebasan dan demokrasi, hanya melalui satu pidato.

Tampaknya memang remeh. Namun, hal itu menjadi berbeda jika yang berbicara adalah seorang presiden Amerika Serikat, sebuah negara yang tengah dalam puncak kehebatan pengaruh ekonomi, politik, militer, dan budayanya atas sisa dunia. Sebuah negeri yang paling keras menyosialisasi kedua jargon tersebut: kebebasan dan demokrasi, sebagai esensi peradaban saat ini, pada siapa pun, dengan cara "apa pun", dengan biaya berapa pun. Dan mereka memiliki semua pranata dan prasarananya, termasuk media-media canggih, baik cetak, audio, maupun visual, dari radio, televisi, hingga jaringan informasi terkini, internet.

Penggunaan semua media informasi dan komunikasi yang terus diperbarui setiap hari itu dipercayai oleh sebagian pengamat menjadi salah satu variabel yang menentukan dalam merangsang dan menciptakan perubahan di berbagai kawasan. Anda tentu telah mengikuti analisisnya saat terjadi beberapa perubahan penting di Uni Soviet, juga di negeri-negeri Eropa Timur. Media televisi dan internet telah menjadi agen terbaik bagi penyebarluasan informasi—propaganda dalam istilah politik tahun 1950-an. Dan tak ada nilai yang lebih kuat dalam setiap informasi yang disodorkan, baik dalam bentuk berita, ilmu, maupun hiburan, kecuali, kembali lagi: "kebebasan dan demokrasi". Dua jimat terbaik untuk Anda agar dapat maju, sejahtera, menjadi "modern", atau menjadi "warga dunia" sepantasnya. Jika tidak, silakan Anda duduk sendiri di ujung kelas dan menerima ejekan dari rekan-rekan Anda sendiri.

Jimat itu pula tampaknya yang segera ditangkap warga Indonesia saat mendengar dan menyaksikan program-program produksi Amerika Serikat, baik di radio, televisi, maupun internet. Sebelum 1990, kita hanya dapat menikmatinya dengan sangat terbatas, ditambah sensor yang keras pula, tapi setelah itu, setelah muncul berbagai TV swasta, tawaran jimat itu kian hebat. Rata-rata 40 persen dari program TV swasta kala itu memang berasal dari Amerika Serikat. Arus ini menjadi lebih deras saat CNN, BBC News, dan berbagai program global lainnya secara bebas diterima melalui parabola. Pada 1995, untuk pertama kalinya, saluran global MTV menayangkan programnya secara langsung tanpa perantara dish apa pun, tapi melalui stasiun lokal AN-teve.

Dengan sasaran pemirsa mulai remaja hingga eksekutif muda, beberapa program MTV memang segera menyedot perhatian yang cukup luar biasa. Kantor MTV Asia di Singapura pun cepat bereaksi dengan memprioritaskan Indonesia "sebagai pasar utama", demikian kata Frank Brown, Presiden MTV Asia, kala itu kepada saya. MTV tidak hanya merekrut beberapa tenaga Indonesia, termasuk Nadya Hutagalung sebagai video jockey. Mereka juga bahkan melansir sebuah program besar: selama satu minggu menayangkan acara khusus MTV to Celebrate Indonesia's untuk memeriahkan tahun emas kemerdekaan negeri ini. Puluhan artis lokal muncul, dan berbagai artis global, dari Debbie Gibson hingga Nelson, dari Real McCoy hingga Rick Price, tampil memberi selamat. Sukses!

Demikianlah. Cerita sukses MTV yang kini memiliki stasiun lokalnya di semua negara Asia Tenggara itu terjadi di semua belahan dunia. Saat pertama kali masuk ke Uni Soviet pada awal 1980-an, saluran ini diserbu pemirsa, melalui stasiun lokal TV US dan Gostelradio 1. "MTV adalah salah satu program paling populer di sini," kata Igor Vanof, eksekutif di TV US, suatu saat, "dan kami dibanjiri permintaan untuk penyiaran yang lebih banyak lagi." Barangkali tidak ada korelasi langsung, tapi bersama glasnos dan perestroika, Uni Soviet kemudian mengalami perubahan penting: beberapa negara bagiannya memisahkan diri.

MTV memang sulit dibendung di mana saja. Berbagai kanal TV baru mencoba menjadi pesaing, baik di Asia, Amerika, maupun Eropa, dari MCM, Kanal "V", VH1, RTL, hingga M6. Toh, mereka tak dapat berbuat banyak, termasuk di Asia, yang potensi pasarnya begitu besar. "Kami adalah pasar masa depan, lantaran untuk pemirsa Asia hanya tersedia 2,4 saluran per negeri, dibandingkan dengan 25 di AS," kata Richard Li, Wakil Pimpinan Hutch Vision, divisi dari Star TV milik taipan terkaya Asia, Li Kha Seng. Dan yang bisa diperbuat Star TV tak banyak. Kerja samanya dengan Indovision, misalnya, untuk menghambat penyebaran MTV, dengan menggunakan senjata "sentimen lokal Asia", juga tak berhasil. Bahkan, beberapa waktu lalu mereka mesti memutus kontrak dengan partner lokalnya yang tengah dihajar krisis.

Di Indonesia, dengan 15 pegawai tetap saat ini, dan total waktu tayang 29 jam per minggu—dari jam tayang sekitar 3 jam pada masa awal penayangan—MTV memang menjadi salah satu pilihan utama TV-goers berusia muda di kota-kota besar. Tak kurang dari 16 juta pemirsa setia, yang artinya identik dengan top rating point, dapat menikmati berbagai program bermuatan lokal, dari "dangdut" hingga "nongkrong".

Sukses yang lebih besar tampaknya sudah menanti. Mau tak mau, angka-angka dan fakta di atas akan segera menarik jatah iklan media nasional, yang kini menjadi rebutan enam stasiun TV lokal dan lima stasiun baru yang segera melakukan tayang percobaan. Sebelum ini, hal itu tampaknya tak diperhitungkan. Pada akhirnya, secara bisnis, MTV memang menjadi "ancaman". Secara profesional, ia menjadi "tantangan" yang penuh rangsang. Secara sosial dan kultural, saluran serba-musik ini menciptakan gairah, optimisme, juga kecemasan dan tanda tanya. Bagaimana tidak? Kombinasi musik dan televisi ternyata memang sangat ampuh digunakan sebagai persuasi gaya hidup tertentu. Medianya tepat, content-nya total menghibur. Baik bentuk maupun esensi yang ada di dalamnya segera terinternalisasi dengan segera. Apalagi target pemirsanya adalah mereka yang masuk dalam golongan penduduk paling dinamis, bahkan labil, dalam arti sangat mudah mencerap dan mengubah gaya hidup atau beberapa bagian dari karakter anak muda. Tak mengherankan jika beberapa pihak percaya bahwa MTV telah melahirkan sebuah "budaya" tersendiri, MTV culture. Jika istilah ini memang ada, kebudayaan MTV menunjukkan sebuah kultur yang identik dengan perubahan, kebebasan untuk berubah dan mengekspresikan diri.

Di titik inilah kecemasan sebagian orang juga terbit. Dengan jumlah pemirsa yang berbiak dengan kecepatan bakteri ini, MTV dicemaskan akan segera mengubah generasi muda saat ini dalam cetakan kepribadian yang baru, yaitu yang total oksidental, sementara yang oriental hanya menjadi sekadar aksen, pernik, atau hiasan di kulit rompi kepribadian kita. Generasi penduduk masa datang inilah, yang kebetulan adalah mereka yang berada dalam kalangan elite kota besar, yang akan menjadi penentu dan panutan bagi hidup sisa penduduk lainnya. Tentu dengan satu nilai dan moralitas baru, di mana kebebasan sebagai inti dari "demokrasi" yang dijargonkan menjadi esensi utama kehidupan mereka.

Di sinilah pertanyaan muncul: apakah proses tersebut memang harus terjadi atau bahkan sesuatu yang given atau taken for granted, sebagai risiko peradaban masa kini? Atau tidak lain hal itu adalah bentuk dominasi, lebih kerasnya imperialisme kultural baru, dari peradaban oksidental (tepatnya Amerika Serikat) terhadap sisa dunia? Keluhan dan pertanyaan ini muncul di banyak tempat. Sebagian besar analis yang moderat melihat hal tersebut memang sebagai kelumrahan dari dominasi ilmu, teknologi, dan pada akhirnya budaya dari negara yang tergolong oksidental. Namun, mereka pun tidak menolak jika dominasi tersebut dapat dikategorisasi, bahkan secara teoretis, sebagai satu bentuk imperialisme, di mana pihak "imperialis" menggunakan satu cara baru untuk mendesakkan kepentingan dan menarik keuntungan bisnis darinya.

Di sisi lain, kita juga dapat melihatnya sebagai sebuah proses wajar dari sejarah peradaban dunia yang memang berlangsung melalui penaklukan. Dan jika sebuah peradaban kemudian unggul atas yang lainnya, ukurannya tertinggal pada tingkat kemampuan peradaban itu mencerap dan mengintegrasikan dirinya pada peradaban lokal. Di ukuran itulah konflik biasanya berkembang untuk menjadi perlawanan. Dan kita ketahui benar, peradaban unggul saat ini memang sangat siap untuk itu, dalam semua perangkatnya: politik, ekonomi, seni, bahkan hingga ilmu. Semuanya dikembangkan untuk mampu mengakomodasi segala bentuk lokalitas.

Karena itu, kalaupun perlawanan mesti terjadi, tidak dapat terjadi secara frontal atau eksternal, tapi secara internal dengan mencerap secara optimal semua keunggulan peradaban yang kita anggap dominan. Kecemasan—apalagi berlebihan—justru akan menjadi handicap. Apalagi kecemasan terhadap MTV, yang tak lain hanya satu dari sejumlah besar produk Amerika yang niscaya mengangkut semua khazanah nilai yang berlaku dalam budaya mereka. Budaya dunia. Tepatnya, kebudayaan yang mengajak kita menjadi warga dunia, lengkap dengan aturan-aturan yang telah ditetapkannya. Jadi? Nongkrong saja dengan enak bersama MTV dan siap memiliki KTP dunia. Dari situ kita berhak dan mampu ikut berbicara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus