Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENEDICT Anderson, Indonesianis tersohor, pada satu bagian dalam bukunya, Imagined Communities, menyelisik sejarah melalui empat cerita fiksi dari zaman, budaya, dan negara berbeda. Salah satunya novel Noli Me Tanggere, yang dirilis pada 1887, karya Jose Rizal Mercado, seorang nasionalis dan sastrawan Filipina. Anderson mendapat gambaran bagaimana kolonialisme Spanyol atas Filipina berlangsung. Ia tentu sadar novel bukanlah fakta sejarah. Tapi novel itu memberi lanskap serta perspektif lain: bagaimana sejarah dikonstruksi. Novel tersebut menjadi pelengkap bagaimana sejarah dibangun, sebuah sejarah yang membentuk negara bangsa.
Novel dan film punya persamaan: sama-sama berbicara tentang narasi kemanusiaan dan tentang masyarakatnya. Sama-sama dilahirkan dari pengarang. Novel oleh sastrawan, film oleh sutradara, yang menyerap situasi sosial politik, budaya, bahkan agama masyarakatnya. Perbedaan keduanya terletak pada mediumnya.
Dalam Europalia Arts Festival, salah satu perhelatan seni terbesar di Eropa, yang berlangsung di Brussels, Belgia, hingga akhir Januari ini, Indonesia menjadi tamu dan menampilkan berbagai kesenian, dari seni rupa, musik, tari, sampai film. Khusus untuk acara film, yang berlangsung pada 9-21 Januari 2018, diputar 52 film Indonesia (31 film panjang, 10 film pendek, dan 12 dokumenter). Dari film Tiga Dara (Usmar Ismail, 1957) hingga Turah (Wisnu Legowo, 2017).
Film dipilih melalui kurasi ketat yang mewakili semangat zamannya. Ia merepresentasikan situasi sosial, politik, dan budaya ketika film-film itu dilahirkan. Bahkan representasi terhadap tumbuh-kembangnya bagaimana isu agama hadir. Titian Serambut Dibelah Tujuh (Chaerul Umam, 1982) menyangkut moralitas dalam latar religius, Mencari Hilal (Ismail Basbeth, 2015) tentang keyakinan menjalankan perintah agama, serta 3 Doa 3 Cinta (Nurman Hakim, 2009) bicara soal toleransi dan radikalisme. Isu politik pascareformasi dan bagaimana kekuasaan negara "beroperasi" juga ditampilkan dengan baik pada tiga film yang diputar, Puisi Tak Terkuburkan (Garin Nugroho, 2000), Atambua 39' (Riri Riza, 2012), dan Istirahatlah Kata-kata (Yosep Anggi Noen, 2016).
Dalam film Tiga Dara Usmar Ismail, isu modernisme dan feminisme sudah dibicarakan, melawan sistem sosial dan pandangan laki-laki terhadap perempuan saat itu. Film tersebut mencakup juga diskursus tentang liyan (the other). Liyan adalah keadaan manusia yang merasa terpinggirkan dan terasing karena konstruksi sosial budaya bahkan agama. Simone de Beauvoir, penulis dan intelektual Prancis, melihat dan mengkritik perempuan sebagai liyan. Perempuan dipahami sebagai manusia yang kompleks, tidak rasional, sekadar pelengkap laki-laki, dan seterusnya.
Kesadaran akan adanya liyan itu membuat ia sebagai pengarang harus bersuara dalam tulisan-tulisannya, termasuk novel, untuk "mengubah" konstruksi tentang liyan yang ada di masyarakat. Tentu perlu waktu panjang dan tak mudah. Tapi setidaknya harus ada yang melakukan. Begitu pun film, tentang liyan itu harus disuarakan sebagaimana yang telah dilakukan 60 tahun lalu oleh bapak perfilman Indonesia, Usmar Ismail.
Soal perempuan sebagai liyan juga hadir pada daftar film yang diputar: About a Woman (Teddy Soeriaatmadja, 2014), Perempuan Punya Cerita (Nia Dinata, Lasja Fauzia, Upi, dan Fatimah, 2008), dan Berbagi Suami (Nia Dinata, 2006).
Dalam daftar film Europalia juga ada film Kuldesak (Riri Riza, Nan. T Achnas, Mira Lesmana, dan Rizal Mantovani, 1998). Film ini menandai bangkitnya kembali film Indonesia pascareformasi. Kuldesak berbicara tentang dunia anak muda yang gelisah, terasing, dan seolah-olah menjadi beda dari masyarakatnya. Kuldesak adalah anak-anak muda dalam posisinya sebagai liyan terhadap kemapanan suatu konstruksi sosial-budaya. Ia melawan dan menciptakan budaya sendiri.
Liyan dalam pandangan Karl Marx juga mencakup persoalan bagaimana kapitalisme memunculkan liyan-liyan baru, yang tersisih dan terasing karena faktor ekonomi. Ini terepresentasikan dalam film Jermal (Ravi Bharvani, 2008). Film ini bercerita tentang eksploitasi anak di bawah umur sebagai buruh di tempat penangkapan ikan di tengah laut. Anak-anak itu menjadi liyan, ia terasing dan terempas dari masyarakatnya serta dunia masa kecilnya. Film ini menggugah kesadaran kita akan liyan itu.
Mengenai lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) juga merupakan persoalan manusia menjadi liyan, yang tak bisa dimungkiri ada dalam masyarakat kita. Hal itu juga hadir dalam film yang diputar, yakni The Fox Exploit the Tiger's Might (Lucky Kuswandi, 2015) dan Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja, 2010).
Film-film lain yang diputar, meski tidak berbicara soal liyan, membahas soal representasi masyarakat sekaligus gugatannya terhadap kemanusiaan dalam kerangka sosial, budaya, dan individu. Film mampu menangkap wilayah terdalam dari manusia Indonesia, baik persoalan kemanusiaan yang paling gelap maupun yang paling terang. Sebagaimana tugas seni, ia memberi kontribusi terhadap masyarakatnya untuk kehidupan yang lebih baik. Bagi saya, aforisme L'artpour l'art (seni untuk seni) tak lagi relevan di zaman ini. Ia seperti hidup dalam dunianya sendiri, menutup mata terhadap realitas dan tak ingin berkontribusi terhadap pemajuan kebudayaan.
Daftar 52 film yang diputar itu, dari ribuan film Indonesia yang pernah lahir di negeri ini, menjadi suatu lanskap sinema Indonesia yang terbentang dalam kurun waktu panjang. Kita bisa melihat "arah" perjalanan bangsa ini. Ini juga semacam peta yang memberi penanda apa yang telah kita jalani dan akan ke mana peta ini menuju, dari pola-pola yang terbentuk secara naratif (isu, gagasan, peristiwa, tema, dan seterusnya) yang telah dihadirkan dalam film-film itu. Senada dengan Benedict Anderson, dalam konteks ini kita bisa menyelisik dari perspektif berbeda sejarah bangsa kita dalam pergumulan sosiopolitik, budaya, dan agama pada masyarakat kita melalui film-film itu.
Nurman Hakim, Sutradara Film
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo