TAK dududuktak. Duk. Tak dududuktak. Duk. Suatu sore di pelataran parkir Gelanggang Remaja, Bandung. "Mal, bagi rokoknya, dong," seru Si Item, yang telinganya diganduli dua biji anting-anting bintang. "Ala. Latihan, Lu! Sebentar lagi 'kan kita mesti kasi unjuk penemuan kepada mereka," jawab Male, sambil menggerak-gerakkan kakinya seperti orang pincang. "Gua, sih, tinggal begini aja, mereka pasti cek . . .cek . . . cek, semua," sahut Si Item, sambil menjatuhkan badannya ke lantai, kemudian merayap bagaikan cacing. "Eh, ngomong-ngomong besok jadi nggak ulangan Biologi?" tanya yang berjaket kulit. "Sekarang bukan waktunya ngurusin begituan, tahu nggak? Ntar, kalau sudah kenyang begini, baru mikiran ulangan," ujar yang dipanggil dengan nama Toang, sembari menggerak-gerakkan tangannya bak seekor ular. Dan kemudian, di pelataran parkir Gelanggang Remaja itu, empat anak muda berpakaian kumal, yang mengaku dari grup breakdance Gang Remaja Setan, mulai beraksi. Si Toang pasang kaset musik hip-hop, jenis rock dengan latar belakang beat yang kuat. Dan, eh, entah dari mana munculnya, tiba-tiba saja pelataran itu sudah penuh dengan anak-anak muda. Mereka duduk melingkar. Lalu seorang, ya, Si Item itu, masuk gelanggang, merayap dengan gaya cacingnya. Kickworm, ya, gerak cacing berjalan. Si Item menjatuhkan badannya, telungkup. Lalu, bertumpu pada kedua tangan, kaki dan tubuh sebelah bawah ia angkat. Ketika kaki turun, tangan dan tubuh bagian atas ganti diangkat. Kembali menjatuhkan badan pada kedua tangan, dengan sedikit membuat loncatan dan dengan punggung agak dilengkungkan. Berulang-ulang. Mirip cacing, memang. "Head spin, Mack, head spin!" teriak kerumunan itu. Itu sebuah aba-aba. Si Item pun, dari gerak cacing lantas nungging. Dan, hup! - ia memutar tubuh hanya bertumpu pada kepala, kedua tangan dikembangkan menjaga keseimbangan. Sungguh gawat. Matahari makin melorot di sebelah barat. Tapi rnusik terus berjingkrak. Dua anak muda masuk gelanggang, menemani Si Item. Mereka bersepatu kets Nike, ber-T-shirt, berikat kepala, lengkap dengan sarung tangan ferari penuh kenop keperakan. Langsung keduanya menjatuhkan diri, dan suiing! - satu putaran tubuh dengan poros satu tangan, sebagai kejutan pertama. Yang seorang gagal. Ia ulangi gerakan yang disebut handglide ini. Yak, kini keseimbangannya sempurna. Lutut agak ditekuk, tangan kiri agak merentang mengatur putaran tubuh. Tepuk tangan untuk si handglider. Ketika azan magrib memecah senja, baru anak-anak itu bubaran. Bukan apa-apa - tapi karena tempat parkir mulai dirundung gelap. Breakdance, akhirnya, memang bukan cuma di kaki lima. Jenis tari yang memerlukan kekuatan otot ini malah juga naik festival - di Jakarta (Rabu pekan lalu), di Bandung (22 Desember), dan rencananya di Yogyakarta, 5 Januari ini. Bahkan di Surabaya, sebelum ada surat edaran Muspida (diketahui oleh Wali Kota), yang melarang breakdance, festival telah dicoba Oktober lalu. Lebih dari itu Sardono W. Kusumo, penari dan koreografer Samgita Pancasona, Dongeng dari Dirah, dan Hutan Plastik itu, merencanakan suatu festival besar breakdance seluruh Indonesia. "Dilihat dari seni tari breakdance bukan cuma kekuatan otot. Tapi dibutuhkan pula keluwesan tubuh, stamina yang kuat, dan penghayatan ritme," katanya. *** "Sampai sekarang saya belum pernah mengeluarkan larangan breakdance. Tari anak muda ini tak perlu dilarang. Karena saya anggap suatu rangsangan pada anak muda yang sifatnya sementara," kata gubernur Jawa Tengah, Ismail, kepada TEMPO. "Memang, rencana pentas breakdance di Semarang 30 September lalu saya setop. Bukan karena acaranya - tapi waktunya, yang pas malam tirakatan memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Breakdance itu positif. Memerlukan tenaga prima. Jadi, mencegah ganja, narkotik, minuman keras. Tapi jangan mengganggu lalu lintas, lho". *** Balai Sidang, Senayan, Jakarta, Rabu malam pekan lalu. Tak seperti biasanya hanya mobil tertentu boleh masuk halaman yang luas itu. Yang lain, para penonton festival breakdance yang diselenggarakan Radio El-Shinta dan pabrik kaset BASF dipersilakan menyimpan kendaraan di Parkir Timur Senayan. Tapi di dalam, ternyata penonton tak penuh hanya sekitar 3/4 dari 6.000 tempat duduk. Toh, di panggung, 31 peserta tunggal dan sembilan grup peserta kelompok tampaknya tak peduli. Mereka satu per satu beraksi. Musik terus berteriak. Seorang peserta tunggal muncul, dengan gerak kaki dan tangan bak melangkah pada ban berjalan. Ia seperti mundur, tapi kok maju. Seperti melangkah maju, tapi kok mundur. "Moonwalk! Ya, inilah moonwalk!" teriak disco jockey festival ini di sela-sela hentakan musik. Tiba-tiba peserta ini seperti terperangkap dalam rumah kaca. Tangannya meraba-raba kaca imajiner, ke kanan, ke kiri. Nah, jegrek, ketemu kuncinya: ia meloncat keluar, langsung menjatuhkan diri telentang sambil melemparkan kaki ke atas dan, kemudian, berputar dengan punggung sebagai penumpu. Dan untuk mendapat putaran yang kencang, lututnya dia tekuk, kedua tangan memegangi tulang kering. Dua, tiga, empat, lima putaran, dan tepuk tangan membahana. "Yak, para hadirin! Sesudah melakukan moonwalk, peserta ini menyuguhkan mirror, kamar kaca. Dan terakhir back spin, putaran pada punggung!" komentar si jockey. Suatu malam, beberapa minggu yang lewat. Sebuah keluarga di Jalan Bukit Dago, Bandung, nonton film video Thriller. Michael Jackson, sang bintang, menyanyi sambil ber-breakdance. "Gerakannya kok aneh ya, Pap," kata sang nyonya. "Itu mengambil dari gerak streetdance, tari jalanan yang lagi populer di Amerika," jawab sang suami, yang tak lain adalah John Nimpuno, psikolog Bandung yang beken. "Itu, Mam, namanya breakdance," timbrung si Unay, 13, salah seorang dari tujuh putra. Dan beberapa bulan sesudah nonton Michael Jackson itu, suatu malam dua pekan lalu, di rumah itu pula, sang ibu menegur. "Tadi sore Unay nge-breakdance, ya. Itu kakakmu yang bilang," katanya. "Tadi ia ngintip Unay lagi berliak-liuk di depan cermin di kamar." "Idih, Kakak, sukanya ngintip!" jawab sang anak. "Memangnya kenapa, Mam?" "Coba sekarang breakdance di depan Mami, kalau memang sudah pintar." Unay pun melakukan bulan berjalan. Lalu memperagakan gerak-gerak kaku: tangan, kaki, leher. Seperti persendian si Unay terbuat dari roda bergerigi. Inilah gerak robot. Ibunya bertepuk tangan. Dalam keluarga ini breakdance mendapat tempat. "Asal tak melupakan belajar, dan jangan melakukan gerakan berbahaya seperti berpusing dengan kepala itu," kata mami - bukan kepada si Unay, tapi kepada Ida Farida, wartawan kita di Bandung. *** Silang Monas, Jakarta, malam Minggu sekitar pukul sepuluh, dua pekan lalu. Sebuah Toyota Kijang, yang pintunya terbuka, tampak parkir. Seorang anak - seusia murid SMP - turun dari mobil, menggelar kardus di bawah salah satu lampu jalan. Dari dalam mobil musik panas sudah menderu. Beberapa orang yang malam itu menghabiskan waktu di Monas mulai merubung. Tapi, sebelum teman anak itu - yang mengotak-atik tape recorder mobil - ikut turun, terdengar suara mobil lain mendekat sebuah sedan Toyota abu-abu, dengan sederet lampu merah pada kapnya. Polisi turun, mendekat. Si anak berdiri di samping kardus - diam. Musik dari dalam mobil pun tiba-tiba pet. Sunyi. "Mau menggeliat-geliat, ya?" tanya polisi berpangkat mayor itu. "Habis saya nggak tahan, nih, Pak, bila dengerin musik itu. Rasanya emosi, pengin gerak," jawabnya polos. "Tapi jangan di pinggir jalan. Ini 'kan rame. Lagi pula, kasihan orangtua kamu, malam-malam begini mencari anaknya. Apa kamu mau ikut saya ke kantor polisi?" Yang ditanya menggelengkan kepala. "Atau begini. Kamu ikut saya keliling kota, mutar-mutar. Mau? Biar tahu bagaimana capeknya mengurus anak-anak seperti kamu ini." Si Anak tetap diam, cuma menggeleng lagi. Para pejalan malam yang tadi mendekat satu per satu pergi. "Jadi, kamu kapok? Tak akan bertemu lagi dengan saya malam-malam seperti ini?" tanya polisi lebih lanjut. Kini si anak mengangguk lalu melipat kembali kardusnya. Sebelum pergi, aparat keamanan Polda Metro Jaya itu menengok ke Toyota Kijang. "Sudah, sana pulang." "Breakdance adalah hal baru. Masyarakat Jakarta ingin melihatnya. Dari tarian itu sendiri tak perlu ada yang dikhawatirkan. Malah sehat. Tari ini menggerakkan seluruh tubuh. Memang agak bising. Tapi mana ada orang menari tanpa lagu? Apakah itu tari Gatutkaca atau Cakil, ada gamelannya, ada lagunya. "Tapi, itulah, penontonnya lalu memenuhi jalan, mengganggu lalu lintas. Jadi, bukan anak-anak itu yang mengganggu, tapi penontonnya. Tadi, tertiblah. Jangan seperti peristiwa di Pasar Seni Ancol, festival breakdance jadi ribut. Jadi, saya sediakan tempat khusus di Parkir Timur Senayan. Jangan di sembarang tempat," kata gubernur DKI Jakarta, Suprapto, dalam wawancaranya dengan Radio El-Shinta. Parkir Timur Senayan, Jakarta, suatu malam sekitar pukul 23.00, pekan lalu. Dua puluhan mobil aneka merk parkir agak menggerombol. Satu mobil, VW Combi yang kap belakangnya terbuka, jadi pusat perhatian. Sejumlah anak muda, duduk mengelilingi arena di depan mobil. Sejumlah pedagang bergerobak, dari teh botol, bakso hingga siomay, nimbrung. Pakaian anak-anak itu - berusia siswa SMP dan SMA - macam-macam. Ikat kepala kain hitam, ekornya bcrjumbai di belakang kepala. Kaus T-shirt yang dikutung kedua lengannya - meski malam itu lumayan dingin. Celana yang ujung-ujung dijepit kaus kaki berbagai merk: Fila, Adidas, Nike. Sepatu olah raga jenis kets. Anting-anting. Gelang kulit yang penuh "paku" putih mengkilap. Kaus tangan kulit ferari yang juga berkenop. Jaket kulit, atau Jaket satin. Atau lainnya. Sebuah compo (tape recorder lengkap dengan pengeras suara stereo) menjeritkan lagu Up Rock dari grup Rock Steady Crew. "Bisakah kaulakukan seperti yang kulakukan/Cobalah seperti aku/Dan jangan lupa bahwa/Aku bergerak dengan mulus . . . tak dududuk tak. Duk. Dua anak muda, satu berjaket, satu berkaus merah, ber-breakdance pada hamparan kardus bungkus televisi yang ditulisi Electric Loyola Breaker -nama kelompok mereka. Seorang melakukan "bulan berjalan". Temannya meliuk-liukkan tangan, kaki, dan leher, dengan gerak kaku. Bila gerakan bertambah cepat, tampak ia seperti orang kena strum. Ini memang gerak electric boogie. Kadang pundak kanannya dinaikkan, diikuti lengan dan tangan kanan membentuk huruf "L", lalu tangan kiri menumpang di tangan kanan. Tiba-tiba remaja itu membusungkan dada, menekuk lutut. Lalu tegak kembali, tangan kembali ke samping. Semua dilakukan dengan kaku. Tiba-tiba ia menjatuhkan diri pada kedua tangan, kaki menendang ke belakang. Beberapa kali ia lakukan gerak keledai menendang ini, hingga sempat sedikit menyenggol temannya yang lagi asyik berobot. "Wah, donkey-nya hebat, Mek," komentar penonton. Yang tersenggol tak peduli. Ia lalu jongkok, kedua tangan menelusup di bawah lutut - dari dalam ke luar - lalu berjalan dengan kaki dan tangan. Bolak-balik. Kemudian kedua kaki diangkat, dan kini berjalan hanya dengan dua tangan. "Asyiiik . . . ! Suit-suitsuit-suiiiit!" Sementara itu, para pedagang bergerobak pada bengong, berdiri di samping dagangan. Lalu kedua remaja itu bergandengan. Yang seorang bergerak lebih dahulu. Tangan yang bebas setengah bertolak pinggang lalu diluruskan ke bawah, sembari mengangkat lengan tangan yang berpegangan. Dan setelah lengan yang diangkat diturunkan, giliran temannya membuat gerakan yang mirip. Inilah chain wave, gerak gelombang. Mereka melakukan gerakan itu makin cepat. "Wah, awas salah urat, lu!" teriak seseorang. Masuk seorang remaja lain, berkaus kutung, bercelana hijau tentara, bersarung tangan ferari, berkaus kaki dan sepatu Nike. Ia melakukan gerak-gerak kaku mirip pada gambar-gambar Mesir kuno. Ini memang disebut gerak egyptian. Tiba-tiba ia berjongkok, bertumpu pada kedua tangan dan memutar kedua kaki berkeliling. Bila kaki harus melewati tangan, tangan diangkat. Ini gerak baling-baling helikopter. *** "Saya kira saya akan dihukum," tutur Maci, siswa SMPP Kemanggisan, Jakarta Barat. "Saya memang suka melakukan breakdance di sekolah sewaktu istirahat. Habis, sesekali lepas kontrol juga gue. Eh, tahunya Pak Guru Kesenian tertarik sama saya. Saya disuruh mengajarkan breakdance kepada teman-teman. Padahal, banyak teman yang sudah bisa. 'Kan tak sulit -semuanya, ya, belajar lewat video, nonton film Flashdance dan Breakdance The Movie. Gitu." "Yah, mungkin Pak Guru merencanakan pementasan drama yang ada breakdance-nya," kata Maci lagi. Dan, menurut seorang temannya, kini di sekolah itu kadang-kadang seorang siswa yang diminta menghapus papan tulis melakukannya dengan gerak-gerak breakdance. Pak guru? "Cuma tersenyum," katanya. *** Di pinggir Jalan Sriwijaya, Jakarta, suatu sore, Jumat dua pekan lalu. Serombongan anak - lagi-lagi usia SMP - menggelar tikar, lalu memasang sepeda-sepeda mini sebagai batas. Sebuah compo disambungkan dengan kabel panjang ke listrik rumah. "Ayo, tunjukkan kemampuan kalian sampai abis," kata seorang cewek yang, ternyata, bernama Ria, mahasiswi Institut Kesenian Jakarta. Cewek ini menjadi - katakanlah - semacam instruktur kelompok BBA, Blade Runner Breakdance (Bicycle) Association, yang sekaligus grup sepeda mini yang suka kelayapan di Jalan-Jalan Jakarta. "Yak, Carlo, moonwalk-nya lebih bagus dari kemarin. Wah, awas, nggak usah head spin. Cari kardus dulu!" teriak Ria, cewek berkaca mata ini. "Boleh, boleh, spider-nya boleh. Tangannya jangan kayak kayu, dong kalau chain wave, lemesan dikit. Sudah, istirahat dulu, minum!" BBA agaknya rajin berlatih untuk menyiapkan sebuah pertandingan dengan BEM, Break Electric Machine. Dan terjadilah di suatu sore, di pojok Jalan Mataram, Kebayoran Baru, Sabtu pekan lalu. Sekitar 20 mobil parkir di dekat gedung SMEA XV. Sekitar 50 anak berkerumun, asyik memperhatikan jago masing-masing. "Ala, lu, main breakdance pakai sarung," teriakan dari sebuah sisi. Yang diteriaki sedang melakukan back spin, celana merahnya memang kedodoran. Dan gerakannya kurang sempurna. Si "sarung merah" mundur. Muncul gantinya, langsung melakukan electric boogie dengan sempurna. Pihak lawan bungkam, menarik jagonya, dan menggantinya dengan yang lain, yang langsung melakukan gerak robot berputarputar. Tepuk tangan dari kedua pihak. Anak-anak ini memang sportif. Tapi, sebentar. Kira-kira satu jam kemudian muncul keributan di tengah penonton. "Eh, jangan sok ngatur, lu!" teriak seseorang. "Udah, pukul aja," teriak yang lain. "Wah, berhenti, jangan berkelahi," suara yang lain lagi. Dan kerumunan bubar. Seorang anak berlari dikejar beberapa yang lain. "Tak tahu. Disuruh agak mundur nontonnya kok malah menendang." Anak yang dikejar tertangkap. Kena pukul sekali. Sebuah Jimny putih, polisi, berhenti. Perkelahian massal pun urung. *** "Jam-jam begini kaset breakdance lagi istirahat. 'Kan anak-anak pada sekolah," kata Andi, 25, pemilik toko kaset di Parahyangan Plaza, Bandung. "Nanti sore mereka bermunculan. Saya memang tambah untung. Tiga bulan terakhir ini rata-rata sehari terjual sedikitnya 25 kaset. Harganya antara Rp 1.500 dan Rp 2.500." Di sebuah sudut kaki lima di Pasar Blok M, Jakarta Selatan. Seorang penjual perlengkapan breakdance dikerumuni banyak pembeli. Harga dagangannya, buatan Indonesia asli, dari gelang tangan, sarung ferari, ikat pinggang, sampai kalung, antara Rp 2.000 dan Rp 7.000. "Yang buatan luar negeri tiga sampai lima kali lebih mahal daripada buatan saya," kata orang yang mengaku Lubis ini. Tapi ia tak mengaku berapa pendapatannya sehari. Maka breakdance bukan mainan murah. Di Jakarta sulit menemukan breakdance di lorong-lorong. Lisa, breakdancer dari Medan, mengaku telah membelanjakan Rp 150.000. "Itu belum termasuk karet buat lutut, siku, dan kaus kakinya," katanya. Bukan mainan murah. Tapi, bagaimana mencegah imbauan dari musik breakdance, yang menurut seorang breakdancer dari Surabaya, "Susah, kalau kuping sudah mendengar duk-duk-jreng. Tubuh otomatis kayak kena setrum, dan bergerak sendiri?" Itu kata Mario, 17, siswa SMA PGRI di sana. Tak heran bila Sute, tukang parkir di depan Toko Serba Ada Gardena, Yogyakarta, bila toko kaset yang tak jauh dari tempat parkir memutar musik rock, memamerkan kepandaian breakdance-nya. Tangannya berkelebat bagai ular kobra, tubuhnya meliuk-liuk bak kena strum. Pejalan kaki mengerumuninya, dan ia tak peduli. Baru setelah dua cewek memanggil-manggil hendak mengambil sepeda motor mereka, Sute, 21, lulusan sebuah STM swasta, berhenti. Ia mendekati dua cewek itu, tapi, nah, dengan langkah-langkah "bulan berjalan". Ketika hendak menerima ongkos parkir pun, tangannya bergerak-gerak kayak kepala ular mencari mangsa. "Kamu ini sinting, ya!" bentak si cewek. "Terima kasih," balasnya. Anak-anak dan remaja memang cepat menyukai yang baru. Mereka pun tampaknya tak pilih-pilih. Kali ini pilihan itu cukup sehat - setidak-tidaknya menggantikan perkelahian, ganja, narkotik, dan minuman keras. Menguatkan badan. Seperti kata Beben, yang mengaku sebagai pelopor breakdance di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, kira-kira setahun lalu, "Siapa bisa breakdance sambil mabuk, gua bayar!" Siapa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini