PERIODE 1920-1940-AN: TANGO. Pengaruh malaise, yang sempat merontokkan perekonomian dunia, masih terasa. Tapi itu tidak berarti pesta tanpa dansa. Seperti di belahan bumi lainnya sinyo-sinyo dan noni-noni di Batavia tetap asyik melantai. Dan ketika itu muncul dansa tango, yang mulai populer levat film yang diperankan Rudolph Valentino. Berasal dari Argentina, tari berirama lambat menggairahkan ini sempat menggeser popularitas valtz. Hampir di setiap hajatan bisa dipastikan akan ditutup dengan tango, yang dimainkan berpasangan, biasanya disertai suatu demonstrasi oleh pasangan yang pandai menari tango. Sang pria memakai jas putih lengkap dengan arloji saku berantai emas. Kadang, sekuntum bunga tersemat di kerah. Dan wanitanya mengenakan rok model kurungan ayam hingga batas lutut, berwarna cerah, dengan sepatu hak tinggi. Tak lupa, sebuah orkes akan mengiringi langkah satu-dua-tiga. JIVE, SWING, dan CHEEK-TOCHEEK. Popularitas tanga diikuti oleh jive dan swing, yang lebih menghentak-hentak di tempat. Lantas masuk lagi cheek-to-cheek, dansa lembut yang saling menempelkan pip dengan irama romantis. "Kalau sudah cheek-to-cheek, semua pada rebutan tempat di pojok ruangan," ucap Bram Titaley. Kala itu, orang lebih menggemari datang ke hajatan yang diadakan di rumah-rumah, dan di tangsi-tangsi: gratis. Namun, bagi mereka yang do,m petnya sedikit tebal, boleh ke Hotel D Indes, yang kemudian diubah namany menjadi Hotel Duta Indonesia, kini kompleks pertokoan Duta Merlin, di Jalan Gajah Mada, Jakarta. Dengan modal 1,5 gulden mereka boleh melantai, sekaligus mencan pasangan, sampai larut malam. PERIODE 1950-AN: ROCK-'N'ROLL. Maka, datanglah Bill Haley Lelaki berjambul melingkar di jidat itu lah yang membongkar telinga remaja d pertengahan tahun 1950-an untuk meninggalkan musik-musik big band dan beralih ke musik rock-'n'-roll. Haley meramu musik yang berasal dari kaum yang tidak pernah tersentuh opera dan musik kamar dengan blues dan country western. Bermodalkan album Rock Around the Clock, seperti nama filmnya, rock-'n'-roll cepat mendapat tempat di hati remaja saat ltU. Gerak tarinya masih berupa Jive, tap lebih cepat. Ketenaran rock-'n'-roll makin menjadijadi dengan datangnya penyanyi tenar, bekas sopir truk, Elvis Presley. Wabah ini benar-benar menggila. Bisa dipahami karena baik musik maupun gerakan-gerakannya keluar dari pakem-pakem yang sudah ada. Boleh dibilang itu merupakan "sebuah revolusi", kata Bob Tutupoly, yang sempat merasakan masa kejayaan rock-'n'roll di kala mudanya. Beratributkan celana jengki dan rok kurungan yang tidak terlalu lebar, mereka menari sejadi-jadinya. Pasangan diputar-putar seperti gangsing. Belum lagi habis, lantas ditarik dan dijatuhkan melewati selangkangan. Dan ditarik lagi. Sehingga, banyak orangtua menolak kehadiran wabah ini karena, "Perempuan kok dibanting-banting dan dibegitukan segala," kata Bob. Namun, apa pun kata mereka, rock-'n'roll terus menggelinding. Rambut disisir mengkilat dengan pomade Japarco, dengan jambul menggunung di depan, meniru gaya raja rock Elvis Presley. PERIODE 1960-AN: Puncak masa kejayaan rock-'n'-roll ditandai dengan lahirnya kelompok The Beatles dari Liverpool dengan musik yang, oleh Bung Karno saat itu, disebut: ngak-ngik-ngok. Lalu diganyang. Kehadiran mereka, dengan gayanya yang cukup brutal, dianggap perlambang "kebudayaan kontrarevolusi". Akibatnya, kelompok Koes Bersaudara, yan ikut mempopulerkan gaya mereka, terpaksa mendekam tiga bulan di penjara Glodok. Tidak cuma itu, ternyata. Muncullah operasi anticelana ketat, yang diukur dengan memasukkan leher botol ke bawah kaki celana. Para petugas pun tidak lupa membawa gunting untuk mencukur rambut yang melewati kerah baju. "Biasanya sih dilakukan di depan bioskop atau di pasar," kata Tony Koeswoyo, pimpinan Koes Bersaudara. SERAMPANG DUA BELAS: Mulai awal 1960-an, dari Sumatera Utara, tampil Serampang Dua Belas, suatu tarian yang lincah, dengan gerakan-gerakan kaki yang cepat. Konon, "Serampang Dua Belas ini betul-betul merakyat," kata Biduan Elly Kasim, yang pernah meraih kejuaraan Festival Serampang Dua Belas di Pakanbaru. Hampir di setiap tempat diselenggarakan festival tari yang biasanya dimulai dengan Lenggang Patah Sembilan, kemudian dilanjutkan dengan Tanjung Katung, dan berakhir pada Serampang Dua Belas. Tapi sebenarnya tarian serampang yang tak begitu mudah ItU, tak semerakyat joget, yang kini populer dengan sebutan dangdut. Gerakannya cukup sopan, dan diperkenankan saling mengedipkan mata kepada pasangannya. Boleh jadi lantaran itu, tari bangsawanbangsawan Deli ini juga disebut tari pergaulan, pengganti dansa-dansi yang diganyang itu. CHA-CHA-CHA. Wabah tari yang berasal dari Kuba ini ternyata cukup beruntung: tidak termasuk daftar yang diganyang. Di sini ia juga cukup populer - kendati agak terlambat. Apalagi setelah Oslan-Husein dengan orkes Kumbang Cari ikut menyanyikan irama cha-cha-cha. Gerakannya yang mudah ditiru (maju . . . mundur . . . tahan . . . tarik) menyebabkan orang cepat menyukainya. Terutama kalangan menengah ke atas. TWIST DAN AGOGO: Bila bedak mulai ditaburkan di atas lantai bisa dipastikan akan ada dansa twist. Diiringi lago rock, jenis wabah ini membutuhkan otot kaki yang kuat agar bisa menahan gerakan badan yang semakin diturunkan, sambil bertumpu pada ujung telapak. Untuk itulah diperlukan lantai yang cukup licin. Datanglah agogo menggantikan twist, yang ternyata cuma bertahan sekejap. Diambil dari nama album kelompok band cewek Dara Puspita, agogo memang 'asal goyang-goyang', di tengah gemuruhnya musik seperti Deep Purple (rock) dan James Brown (soul), yang memekakkan telinga. Kadang gerakannya seperti orang kesetanan, meliukliuk dan menggapai-gapai seenaknya. Bau ganja dan minuman keras tidak pernah ketinggalan pada acara-acara agogo. Kiprah agogo yang agak panjang mungkin akibat munculnya kelompok-kelompok yang menawarkan jasa diskotik dengan nama-nama seram, seperti Madlod, Merindink, dan Chokrem. Dengan membayar Rp 75-200 ribu, mereka siap menyediakan lagu beserta pengeras suaranya yang bisa mengganggu tetangga. PERIODE 1970-AN: HUSTLE. Musikmusik Heavy Metal Rock mulai ditinggalkan penggemarnya. Generasi Bunga berambut gondrong dengan celana jeans mulai digantikan dengan generasi muda berpotongan kerempeng yang lebih necis dengan setelan pantolan licin. Mirip dengan agogo, hustle lebih scderhana gerakannya. Cukup dengan menggoyang-goyangkan tangan, ditambah sedikit gerakan kaki. Lagu-lagu yang menggiringnya pun lebih berbau jazz-rock. Kemudian muncullah John Travolta, yang berkangkang sambil mengacungkan telunjuk kanan, dengan filmnya Saturday Night Fever. Hustle makin digemari orang. Hanya saja, untuk bisa menikmati hustle diperlukan: ongkos masuk klub-klub disko, karena memang sudah tidak lagi lazim di mainkan di rumah-rumah lagi. Itulah yang membedakannya dengan masa-masa dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini