Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Segumpal Kapas, Sesayat Daging

Sang artis bereksperimen dengan transformasi bentuk aneka materi. Eksperimen yang memancing pertanyaan: ilusionis atau materialiskah dia?

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seutas karet gelang, serpihan kapas, gumpalan rambut, sesobek plastik, selarik benang, atau secarik gombal sudah lama larut ke dalam obsesi perupa Handiwirman, 29 tahun. Dalam pengamatannya, kualitas material benda atau obyek semacam itu mengandung semacam muslihat untuk menimbulkan pengamatan yang rancu, berwajah ganda, mampu mewujudkan diri secara berubah-ubah. Ia menyebut sejumlah sifat material tertentu memiliki bayangan, khayal, atau sifat ilusif yang sukar sekali dijelaskan dan karena itu selalu menantang untuk direpresentasikan.

Pamerannya bertajuk "Apa-Apanya Dong" di Nadi Gallery, Jakarta, 16 September-5 Oktober, menunjukkan berbagai percobaannya mengenai kerancuan ilusionistis maupun materialistis yang ditampilkan melalui berbagai medium. Di mata Handiwirman, suatu obyek-material seakan selalu bergerak perlahan-lahan menjauhi sifat atau "hakikat"-nya sendiri dengan atau tanpa perlakuan khusus.

Ia terkejut tatkala mencelupkan gumpalan kapas ke dalam suatu jenis larutan warna merah tertentu. Proses metamorfosis seakan tengah berlangsung: kapas berubah serupa sayatan daging merah-mentah disertai tetesan darah segar, seraya perlahan-lahan membeku. Percobaan material yang lain menuntunnya dengan mudah ke semacam ilusi daging gosong atau potongan ekor ikan segar. Percobaan semacam itu muncul dalam seri tiga lukisan, Hik, Hmm, dan Nyam-Nyam (2004). Lebih dari sekadar dapat diidentifikasi atau ditafsirkan menurut sifat bawaannya, setiap material seakan niscaya melantunkan suatu narasi. Peristiwa semacam itu tentunya melibatkan pengamatan sugestif atau sensibilitas agresif.

Sifat ilusif material selanjutnya menggoda Handiwirman untuk meraih medium lukisan, yang sebenarnya tak cukup dekat dengan wilayah ekspresinya selama ini. Kita tahu medium lukisan dikenal sanggup mewadahi entitas visual apa saja justru karena sifat ilusifnya. Namun, perupa ini utamanya tidak berhasrat menunjukkan bahwa lukisan bersifat ilusif karena kecenderungan mimetiknya. Handi bersikeras ingin menghadirkan kekuatan ilusif dari suatu material yang dilukiskan atau ditampilkan apa adanya.

Lihatlah Obyek No.4: Mental Series dan Obyek No.5: Mental Series (2004), yang melukiskan segumpal kapas putih dan lempung hitam dalam wujud yang mirip. Apakah kapas tetap mirip kapas atau lempung serupa lempung? Andaikan kemiripan visual kita anggap jamak (sekali lagi bukanlah tujuannya untuk mendemonstrasikan kecakapan mimetik), menjadi apakah onggokan kapas dan lempung yang diwujudkan kembali di dalam lukisan? Kurator pameran ini, Agung Hujatnikajennong, menyebut kualitas ilusif yang tak berhubungan langsung dengan kehadiran dan makna semantik obyek-material itu mirip "hantu" dalam karya Handiwirman.

Dalam ranah teori psikologi visual, suatu bentuk atau wujud yang memiliki massa (shape) dipercaya menginformasikan kepada kita sifat, bahkan hakikat, benda-benda melalui tampilan eksternalnya. Raut (form) adalah wujud dari isi yang dapat kita lihat. Namun, bentuk tak pernah kita tangkap sebagai raut (form) dari hanya satu benda yang khas, melainkan selalu mewujudkan diri ke dalam raut dari macam benda. Selanjutnya, tiap jenis benda juga selalu dapat kita maknai sebagai raut keseluruhan bermacam-macam obyek. Karena itulah bentuk niscaya bersifat semantik atau mengundang makna.

Wittgenstein mencontohkan gambar segi tiga yang dapat kita lihat sebagai segi tiga berlubang atau padat, bentuk geometris, gunung, anak panah, penunjuk, tegak di atas pedestal atau seakan digantung pada ujungnya dan sebagainya. Namun jelas, tak semua obyek memusatkan diri untuk mengatakan hakikat fisiknya berdasarkan wujudnya. Contoh untuk itu justru adalah lukisan, yang kita maknai lebih dari sekadar bidang segi empat dilabur cat. Pada lukisan-lukisan Handiwirman, bentuk-bentuk yang dilukiskan itu hadir untuk memerdekakan diri mengatakan sesuatu yang lain kendati seakan-akan menampilkan kesan penjelajahan materi.

Kita melihat, misalnya, percobaan untuk mencampurkan berbagai susunan material yang rapuh di dalam lukisan. Dalam seri lukisan Obyek: Mental Series (1-3, 2004), ia melukiskan berturut-turut segumpal rambut serupa bayangan pohon cemara, segumpal kapas putih laksana perut penguin yang dililit oleh tali rambut secara acak, serta sebuah komposisi terdiri dari rambut, kapas, benang terhimpun di dalam plastik. Secara keseluruhan komposisi Handi memang terasa ganjil. Namun, setiap karakter obyek tidak sungguh-sungguh larut ke dalam yang lain. Kecenderungan materialisnya masih terasa. Kerapuhan obyek-obyek itu, misalnya, tetap terasa pada pemirsa kendati mewujudkan suatu kuasi-figurasi tertentu.

Khayal bentuk sejatinya memang bukan tujuan Handi. Guncangan mental terhadap sifat mendua obyek-materiallah yang ingin dicapai olehnya. Kecuali keinginan untuk membenturkan sifat ilusif ke dalam medium ilusif (lukisan), apakah Handi ingin menunjukkan bahwa realitas fisikal (materi yang disusun menjadi model lukisan-lukisannya) tak ada bedanya dengan citranya di dalam lukisan? Apakah ia tengah bergerak menuju realisme naif atau sebaliknya secara sugestif ingin melampauinya?

Pada seri lukisan Pose: Sofa (1-3, 2004), Handi menerapkan metode "resepsi" mental semacam itu dengan obyek berbeda. Ia menyusun sebuah konstruksi lunak berupa boneka manusia tanpa kepala di atas sofa yang terkesan empuk namun sekaligus kaku. Bukankah boneka terkesan lebih lunak di atas sofa empuk dan sofa menjadi lebih keras-kaku karena kehadiran boneka-boneka lunak itu? Citra pada lukisan-lukisan Handiwirman memberi corak baru dalam seni lukis kita yang makin menunjukkan kecenderungan "maksimalis" belakangan ini. Yakni, utamanya pada penjelajahan obyek-obyek rapuh yang disusunnya dan perspektif mentalnya yang kritis untuk memahami obyek-obyek sepele yang terus direnungkannya.

Perkembangan menarik lain karya Handiwirman muncul pada karya tiga dimensi, Seri Cahaya/Bidang dan Bayangan (2004). Ia memadukan kualitas mujarad cahaya neon dengan gumpalan rambut buatan yang menciptakan siluet kaya. Cahaya neon itu seakan ingin menegaskan sifat ilusif yang membayangi tiap helai rambut yang diamati oleh Handiwirman. Namun, apakah bayangan itu menegas tatkala neon padam atau benderang? Apakah ilusi itu berada di dalam pikiran kita atau pada obyek yang kita pandang? Pertanyaan-pertanyaan yang sulit sesungguhnya membuat mental kita kejang, kata Wittgenstein. Seperti halnya pertanyaan-pertanyaan Handiwirman mengenai hubungan antara benda-benda dan reaksi mental kita. Ke sanakah sesungguhnya Handiwirman pergi?

Hendro Wiyanto, kurator

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus