Rabu, 10 Juni. Bunga dan kawat berdukacita dilayangkan Presiden. Hari itu Teungku Daud Beureueh wafat dalam usia 91 tahun, setelah 15 tahun menderita diabetes dan paru-paru basah. Tokoh ini -- sesuai dengan pesannya - dimakamkan di bawah pohon mangga, di pelataran masjid Baitul A'la lil-Mujahidin, yang dibangunnya sendiri, 12 km di timur Sigli, Aceh. Pada masa Perang Kemerdekaan, Daud bersama Teungku Hasan Krueng, Teungku Jafar Siddik, dan Teungku Ahmad Hasballah mengerahkan rakyat berperang sabil membela Republik. Rakyat disuruhnya mendukung Presiden Soekarno sebagai "maha pemimpin kita," karena "telah berdiri Repoeblik Indonesia". Daud lalu menjadi gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Ketika Dr. Teungku Mansur, Wali Negara Bagian Indonesia Timur bentukan Belanda, di Medan, mengajaknya memisahkan diri dari Republik, Daud menolak. Pada 1950, Daud dipilih menjadi gubernur Aceh pertama. Bila dua orang yang mula-mula saling menghormati lalu ada yang berubah, bukan hal yang aneh bila lalu bermusuhan. Ketika kemudian terjadi perbedaan pendapat dengan Jakarta, Daud memberontak. Ia dan pengikutnya mengangkat senjata di bawah bendera DI/TII. Baru pada 1962, ia mau turun gunung dan berhenti perang. Daud, lepasan Dayah Tinggi le Leube, Piedie, buta huruf latin. Menurut seorang putranya, Daud banyak terpengaruh oleh gerakan fundamentalis Ikhwanul Muslimin di Mesir. Hingga uzur ia tetap dikenal sebagai orang yang sibuk: tempat masyarakat Aceh bersandar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini