Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Metafora Limbah Kaleng

Arya Sudrajat memunguti limbah-limbah kaleng biskuit dan cat sebagai materi karyanya.

10 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karya instalasi dari potongan kaleng bekas berjudul Serabut #1 dalam pameran tunggal Arya Sudrajat, seniman asal Kampung Jelekong di Selasar Sunaryo Arts Space, Bandung, Jawa Barat, Minggu (2/2). Dalam pameran tunggal perdananya ini Arya makin mencermati karakter-karakter khas kaleng bekas, sekaligus melepaskan gaya berkesenian khas Kampung Jelekong, kampung lukis di Kabupaten Bandung yang terkenal sebagai sentra industri lukisan bergaya Mooij Indie. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Potongan kaleng bekas biskuit dan semacamnya itu disambung-sambung paku gepeng. Panjangnya sekitar 12 meter. Ada puluhan helai jumlahnya. Helai-helai pipih itu terurai dari tembok, kemudian dipilin menyatu. Mereka lantas membelit pilar balok putih, lalu melesat ke langit-langit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berjudul Serabut, karya instalasi itu tergolong besar dan berat. Arya Sudrajat membuat karya itu selama sekitar 1,5 bulan dibantu istrinya. "Bahannya dari kaleng bekas seberat total 80 kilogram," ujar Arya saat ditemui Tempo, Ahad, 2 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, dia tengah menggelar pameran tunggal perdananya bertajuk "Ngindeuw". Pameran itu berlangsung sejak 31 Januari hingga 1 Maret mendatang. Ngindeuw-diambil dari bahasa Sunda yang artinya memungut-punya nilai khusus bagi Arya.

Dia tidak sekadar memunguti limbah-limbah kaleng cat di habitatnya, yakni di sentra produksi lukisan di Kampung Jelekong, Kabupaten Bandung. Kaleng-kaleng itu menjadi karya yang memuat gagasan dan sikap sang seniman. "Sebenarnya sekarang sudah enggak membahas soal kaleng."

Ngindeuw, menurut Arya, ikut mengangkat persoalan lingkungan hidup. Ngindeuw juga merupakan metafora dari proses berkeseniannya yang non-formal, kemudian bersentuhan dengan teori, akademikus, dan seniman formal di Bandung. "Dari mereka, saya memungut ilmu dan pengalaman," ujar seniman autodidaktik berusia 36 tahun itu.

Mungkin karena hal itu jugalah obyek karya lainnya yang berupa lukisan dengan pendekatan realisme menjadi terkesan abstrak. Kaleng-kaleng remuk, besi-besi bengkok, dan sebagian saling melilit atau mengait, terkesan samar. Apalagi dengan warna-warni cat yang cerah pada seri Ngepok.

Dikuratori dosen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, Danuh Tyas Pradipta, Arya mengusung sebelas karya dalam pameran itu. Proses kreasinya, menurut Danuh, adalah seniman mengamati, lalu menangkap bentuk-bentuk yang dianggap menarik dari obyek berupa kaleng-kaleng atau kursi logam bekas yang telah diproses.

Di atas kanvas, Arya menghadirkan kembali bentuk-bentuk yang ditangkap. Lebih dari sekadar menghadirkan kembali dan meniru, "Ada pula interpretasi yang terlibat di dalamnya dan berperan di balik apa yang tampak dalam kanvas," begitu Danuh menuliskan dalam catatan kuratorial.

Apa yang tampak dalam bidang kanvas merupakan gabungan dan susunan dari beberapa obyek yang sebelumnya tercerai. Arya memilih dan menyusun dengan interpretasinya di kanvas. "Di kanvas, obyek terlepas dari narasi yang melingkupinya," ujar Danuh.

Proses pembuatan karya pameran tunggalnya ini dimulai sejak Mei 2019. Pengerjaannya pun sempat berhenti selama dua bulan. "Jari tangan saya terkena bor."

Tiap judul karyanya mengadaptasi istilah yang biasa digunakan pengumpul barang bekas dalam bahasa Sunda. Lukisan berjudul Timbris, misalnya, diambil dari istilah proses pemadatan barang bekas yang berserakan. Timplat adalah potongan logam pipih tajam yang bisa dimanfaatkan untuk menjadi produk, seperti ikat pinggang atau kancing.

Adapun karya berjudul Ngepok merupakan proses penyatuan material. Sedangkan Serabut merupakan istilah dari potongan kaleng bekas yang memanjang. Lalu Kilo Gebrus merujuk pada kegiatan penimbangan barang bekas ke dalam wadah besar.

Arya merasa puas akan kekaryaan barunya ini. Selain menyuguhkan nilai estetis dari barang bekas seperti kaleng, ada tambahan nilai kebaruan. "Setelah mereka kehilangan nilai utamanya dalam keseharian, yaitu nilai fungsionalnya," tutur Danuh. ANWAR SISWADI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus