Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenapa Anda memilih menulis Debatable Land dalam bentuk fiksi? Sebagai wartawan, saya banyak berkeliling di Asia selama sepuluh tahun terakhir. Apa yang saya lihat, saya temui, dan saya alami ternyata sering tidak bisa masuk dalam tulisan saya di majalah saya karena FEER majalah politik ekonomi. Cerita-cerita tentang orang kecil atau orang yang ada di pinggir jalan atau pinggiran situasi politik atau juga sosial budaya tidak bisa masuk dalam tulisan saya. Padahal, orang atau pengalaman tersebut sangat menarik. Jadilah kumpulan cerpen itu. Saya mau mencoba bermain dengan format baru, setengah nyata dan setengah fiksi. Sebelumnya, saya menulis dua buku yang cukup akademis. Dan saya mau lepas dari format tersebut. Apakah cerpen-cerpen dalam buku Anda merupakan realitas yang Anda lihat atau fiktif? Campuran. Kisah yang paling nyata adalah cerita tentang kejadian di perbatasan Thailand dengan Burma. Pada 1982, sebagai wartawan, saya memang ke sana. Sedangkan cerpen tentang Indonesia adalah fiksi dan semi-fiksi. Apakah cerpen-cerpen dalam buku Debatable Land menggambarkan catatan perjalanan politik Anda? Memang. Cerita A Crazy Era berlatar belakang sekitar tahun 1992, menjelang pemilu. Kisah The Interruption kira-kira berlatar belakang tahun 1994-1995. Cerita Menteng Tragedy adalah kisah zaman reformasi. Dan cerita terakhir, The Making of a Terrorist, adalah kejadian masa kini periode Gus Dur (Presiden Abdurrahman Wahid). Adakah sastrawan atau wartawan yang sangat mempengaruhi Anda dalam karya-karya Anda? Pertama, saya kagum kepada penulis terkenal di Eropa, Gunter Grass. Cerita-ceritanya sangat menarik. Dia menulis politik ataupun sosial budaya dengan gaya yang enak dan melibatkan humor. Penulis lain yang saya kagumi adalah Albert Camus. Itu saya dapat dari ayah saya, guru besar di sebuah universitas dalam bidang politik. Penulis lain yang sangat saya sukai adalah Pramoedya Ananta Toer. Apa yang membuat Anda kagum dengan karya mereka? Di dalamnya ada sejarah dan juga politik. Terutama Pramoedya. Dia banyak menulis gerakan nasionalis di Indonesia. Kalau saya mau belajar sejarah Indonesia dalam bentuk fiksi, siapa penulis sejarah Indonesia yang sangat bagus? Hanya Pram yang terkenal. Bagaimana Anda melihat wartawan Indonesia dalam tradisi menulis tersebut? Sejak zaman Soeharto, wartawan Indonesia terus berjuang untuk menulis berita yang benar. Tapi kebanyakan dari mereka bisa melakukannya. Meski ada sensor atau masalah dengan Departemen Penerangan atau Persatuan Wartawan Indonesia dan juga ada pembredelan, dibandingkan dengan wartawan negara lain seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, wartawan Indonesia lebih baik. Mereka punya tradisi untuk mencari berita layaknya sebuah perjuangan. Apakah Anda berniat menulis buku lagi khusus tentang Indonesia? Ya. Indonesia adalah sebuah kanvas untuk lukisan yang besar sekali. Ada banyak cerita, ada banyak orang dari daerah-daerah. Jadi, kemungkinan saya juga mau menulis cerita-cerita di daerah, tidak hanya di Jakarta. Saya berencana tinggal di sini selama tiga bulan untuk melakukan perjalanan keliling Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo