Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

MocoSik, Perhelatan Musik Berpadu dengan Buku

Menurut dia, MocoSik adalah festival pertama di Indonesia yang mempertemukan buku dan musik dalam satu panggung besar.

23 Agustus 2019 | 08.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar
MocoSik adalah sebuah konser yang menggunakan buku sebagai tiket menonton. Penonton akan dimanjakan dengan pameran buku. | Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta -MocoSik, sebuah perhelatan pentas musik dipadukan dengan unjuk buku digelar di Jogja Expo Center, Jumat - Ahad, 23-25 Agustus 2019. Festival buku dan musik MocoSik mengusung tema “Buku, Musik, Kamu”. “MocoSik tetap bernapaskan spirit mendekatkan buku dan musik,” kata founder MocoSik Festival, Anas Syahrul Alimi, Jumat, 23 Agustus 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menegaskan festival ini tidak mengarusutamakan buku melebihi musik, atau sebaliknya. Keduanya sama rendah, sama tinggi. Baik buku maupun musik berbagi dalam panggung dan waktu yang sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, MocoSik adalah festival pertama di Indonesia yang mempertemukan buku dan musik dalam satu panggung besar. Perhelatan ini mendekatkan para penikmat konser musik kepada buku, begitu pula sebaliknya, mengakrabkan insan literasi dan pencinta buku kepada musik.

“Itulah misi literasi budaya yang diusung MocoSik,” kata Anas.

Festival MocoSik tidak hanya menampilkan musisi ataupun penulis yang tengah naik daun. Musisi atau penulis yang sudah berkarya lebih dulu di waktu lampau, namun tetap eksis, juga diberikan panggung yang sama. Festival MocoSik ini merupakan perhelatan ketiga. “Penghikmat buku dan penikmat musik diringkas menjadi satu: Kamu,” kata Anas.

Menurut Irwan Bajang, Direktur Program MocoSik #3 dalam tiga hari penyelenggaraan MocoSik terdapat lebih kurang 68 penampil. Jumlah itu, lanjut Bajang, lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.

“Pencinta buku dan penikmat musik mendapat suguhan yang beragam dari panggung literasi maupun musik,” ia menjelaskan.

Bukan hanya penampil yang bertambah, MocoSik #3 kali ini juga tak hanya bicara kelindan buku dengan kultur musik. Tetapi juga kaitan buku dengan film, serta buku dengan seni rupa.

Misalnya, pada hari pertama, Jumat, 23 Agustus 2019, Ody Mulya Hidayat (produser film Dilan) berbicara kelindan buku dan film. Dilanjutkan obrolan dunia buku dan seni rupa. Lima perupa diboyong ke MocoSik #3 untuk membincang ilustrasi perbukuan. Mereka adakah Ugo Untoro, Jumaldi Ali, Dipo Andy, Ong Hari Wahyu dan Samuel Indratma.

Irwan Bajang yang juga pegiat dunia penerbitan buku indie di Indonesia ini merinci sejumlah nama yang mengisi sepuluh sesi obrolan maupun lokakarya musik, film, dan seni rupa yang memiliki korelasi dengan dunia perbukuan dan literasi. Yaitu Zen RS, Joko Pinurbo, Eko Prasetyo, Edi Mulyono, Aguk Irawan M.N., Windy Ariestanty, Iqbal Aji Daryono, Mas Aik, Anton Kurnia, Pepeng, Kalis Mardiasih, Hengki Herwanto, Erie Setiawan, Nuran Wibisono, David Tarigan, Deskripsi John H. McGlynn, dan Okky Madasari.

Di panggung musik, ada penampilan Tulus, Yura Yunita, Pusakata. Selain mereka juga ada musisi gaek dan legendaris seperti Ebiet G. Ade. Ada pula Gallaby, Langit Sore, Nostress, Dialog Dini Hari, Tashoora, Sujiwo Tejo Band, Guyon Waton, hingga konser puisi cinta yang melow yang dikonduktori sastrawan dan sutradara teater Agus Noor.

Di lokasi festival juga digelar pameran Seni Lini Masa Sastra. Ruang pameran seni dihadirkan di antara panggung musik dan bangku obrolan literasi. Yogyakarta yang menjadi salah satu kota seni rupa terpenting di Indonesia memungkinkan ruang MocoSik juga mendapatkan sentuhan seni. “Tema ruang pameran seni MocoSik tahun ini adalah Lini Masa Sastra Indonesia: Lama-Kini,” ucap Bakkar Wibowo.
Co-founder MocoSik.

Indonesia, kata dia, tidak hanya dibangun lewat adu kuat bedil, tetapi juga ide. Dengan sastra, dengan teks, Indonesia ini pun lahir.

Karena bersifat kilas balik, pameran seni mengingat tonggak-tonggak penting Ide Indonesia ini juga didukung sejumlah diskusi, antara lain soal pendokumentasian dan bagaimana para akademikus dari luar negeri jatuh hati pada ide Indonesia.

“Kita menggelar selama tiga hari buku-buku lawasan sastra/humaniora dan artefak-artefak dunia musik masa lalu. Kita menggandeng komunitas yang selama ini bermain di buku-buku klasik dan juga Record Store yang berbasis di Yogyakarta,” kata Bakkar.

MUH SYAIFULLAH

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus