Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Monolog Ismail Marzuki, Lukman Sardi: Menghargai Sosok Pahlawan Tanpa Memegang Senjata

Lukman Sardi bercerita, ayahnya, pebiola legendaris, Idris Sardi dan sang kakek yang juga pemusik, sangat dekat dengan Ismail Marzuki.

1 Juli 2022 | 16.33 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pertunjukan Monolog Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi digelar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki pada Rabu, 29 Juni 2022. Momen ini merupakan monolog panjang pertama yang dimainkan oleh aktor kawakan Lukman Sardi. Pementasan ini didukung juga oleh penampilan anak Lukman Sardi yaitu Akiva Sardi yang berperan sebagai Ismail Marzuki kecil.

"Ini adalah kesempatan pertama Akiva untuk bermain dan berlatih biola, mungkin kalau kakeknya ada, beliau pasti tepuk tangan. Ini challenge juga karena sudah lama tidak bermain biola dan dilatih oleh Mbak Mitra jadi balik untuk main biola. Luar biasa. Terimakasih untuk semuanya," kata Lukman Sardi setelah pementasan.

Putra pemain biola legendaris, Idris Sardi itu menuturkan, sosok Ismail Marzuki adalah pahlawan yang banyak menciptakan lagu-lagu tentang semangat perjuangan. Lukman bercerita, ayahnya dan sang kakek yang juga pemusik, sangat dekat dengan Ismail Marzuki. "Suka dengerin dari Papa itu, 'Om Maing Om Maing' (panggilan Ismail Marzuki). Secara musik, meskipun tidak bertemu, saya merasa dekat dengan sosok beliau," kata Lukman.

Agus Noor selaku penulis naskah dan sutradara pada pementasan ini bercerita, banyak yang bisa diceritakan ketika menulis tentang Ismail Marzuki. Apalagi sosok Ismail Marzuki memiliki 200 lagu yang bisa jadi cerita.

"Tapi kalau untuk cerita ada dua premis dasar yang membuat fokus ke sana. Yang pertama pahlawan. Pahlawan kalau kita cek, pasti memegang senjata. Ismail Marzuki memperjuangkan dengan cara berbeda tidak dengan menenteng senjata, menembak peluru, tapi dengan lagu," kata Agus Noor.

Aktor Lukman Sardi dalam monolog Ismail Marzuki. Foto: Paramita | Titimangsa.

 "Yang kedua sebagai seniman. Ismail Marzuki merupakan potret besar seorang seniman di negeri ini yang punya banyak lagu tapi hak ciptanya tidak jelas, royaltinya bagaimana itu memprihatinkan. Orang bagaimana kenal lagunya tapi tidak kenal penciptanya. Ada Taman Ismail Marzuki tapi jejak reprotoarnya pun tidak ada di sini," katanya menambahkan. 

Titimangsa dan KawanKawan Media bekerjasama dengan Direktorat Perfilman,
Musik dan Media Kemendikbudristek menggelar pertunjukan Di Tepi Sejarah untuk musim kedua. Di Tepi Sejarah akan ditayangkan secara daring pada Agustus 2022 di saluran Kemendikbudristek RI, yaitu kanal Youtube Budaya Saya dan di saluran televisi Indonesiana TV.

Di Tepi Sejarah merupakan sebuah seri monolog yang menceritakan tentang tokoh-tokoh di tepian sejarah. Mereka mungkin kurang disadari kehadirannya dan tersisih dalam catatan besar sejarah bangsa namun menjadi bagian dalam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Indonesia. 

Tahun ini, Di Tepi Sejarah mengangkat kisah perjalanan lima tokoh terpilih, yaitu: Sjafruddin Prawiranegara, Kassian Chepas, Gombloh, Ismail Marzuki dan Emiria Soenassa. Pemilihan tokoh-tokoh sejarah pada musim kedua ini diharapkan dapat memberikan perspektif lain dalam memaknai nasionalisme, khususnya bagi generasi muda.

Monolog Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi merupakan pertunjukan keempat serial monolog Di Tepi Sejarah musim kedua. Pentas ini diselenggarakan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, 29-30 Juni 2022. 

Monolog Ismail Marzuki yang dimainkan Lukman Sardi. Foto: Paramita | Titimangsa.

Monolog ini mengisahkan momen-momen perjalanan hidup dan kreativitas Ismail Marzuki. Ia tak pernah memanggul bedil, apalagi terlibat perang fisik melawan penjajah. Sejak berusia sangat muda, sosok musisi ini lebih memilih memeluk musik sebagai jalannya untuk turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 

Sosok Ismail Marzuki diceritakan sebagai seorang yang kehilangan ibu dan dua abangnya sejak kecil, lalu selintas tentang pernikahannya dengan Eulis, serta kematiannya dalam usia relatif muda. Oleh sebab itu monolog Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi ini, mendekati sosok Ismail lewat narasi-narasi yang ditemukan dalam lagu-lagunya.

Masa kreatifnya sebagai musisi terjadi di saat penjajahan Jepang, sampai agresi militer oleh Belanda akhir tahun 1940-an. Lagu ciptaannya yang populer seperti Rayuan Pulau Kelapa, Sapu Tangan dari Bandung Selatan, Indonesia Pusaka, dan Sepasang Mata Bola, telah menjadi inspirasi para pejuang di garis depan. Bersama kelompoknya, Ismail kerap menghibur para pejuang di tempat-tempat persembunyian mereka.

Sampai ia meninggal di usia 44 tahun, pada 25 Mei 1958, Ismail tercatat telah menciptakan lebih dari 200 lagu. Hari-harinya, sebagaimana dicatat dalam buku-buku, lebih banyak 
dihabiskan untuk bermusik. Bersama serombongan pemusik, termasuk penyanyi Eulis Andjung Zuraidah yang kemudian menjadi istrinya, Ismail pernah melawat ke Singapura dan Malaya. Di sana, ia disambut bak bintang, karena lagu-lagunya terutama yang dinyanyikan dalam film Terang Boelan (1938), sangat  dikenal di negeri jiran itu. 

 “Ismail Marzuki ibarat terus-menerus bersenandung untuk mengantarkan Indonesia menuju rel yang benar dalam mengisi memerdekaan. Lagu-lagunya hadir di ujung revolusi, justru untuk menandai Indonesia sedang memasuki era baru sebagai bangsa yang berdaulat. Karena jasanya itu, pemerintah Indonesia memberinya gelar pahlawan nasional tahun 2004 oleh Presiden SBY yang suka musik," ungkap Agus Noor.

Baca juga: 10 Karya Besar Ismail Marzuki

Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus