KAPAL api Buitenzorg Schip berbendera merah-putih-biru merapat
di Pelabuhan Marseilles, Prancis. Sekitar 50 orang berpakaian
tradisional Bali turun satu per satu, membawa seperangkat
gamelan. Dari sana mereka menuju Negeri Belanda dengan kereta
api. Ketika itu 1931.
Dalam sejarah kesenian Bali, sekehe (grup) kcsenian Gong Gunung
Sari yang dipimpin Anak Agung Gde Mandra itulah yang pertama
kali melawat ke Eropa. Dan kemudian berkali-kali main di luar
negeri. Ketika itu Mandra berusia 2 tahun.
Dan kini, setelah berumur 77 tahun, ia tctap setia memimpin
grupnya yang sejak 1978 disebut sekehe Smara Pegulingan Tirta
Sari. Grup kesenian dari Desa Peliatan Ubud ini pula yang
bersama grup Swara Mahardhika pimpinan Guruh Soekarnoputra
memeriahkan pembukaan Pekan Raya Jakarta Sabtu 31 Juli. Nama
grup ini dikaitkan dengan seperangkat gamelan yang diberi nama
Smara Pegulingan, yang diwarisi Mandra dari leluhurnya pada 1953
ketika ia pulang dari melanglang buana.
Konon gamelan yang sudah berusia 150 tahun itu (ada yang bilang
400 tahun) termasuk gamelan "keramat". Orang Bali percaya,
instrumen inilah yang mampu memperdengarkan jenis-jenis irama
pada saat Dewi Kesenian Smara lagi berguling-guling. Di Bali ada
gamelan keramat lain yang disebut Smara Ngadeg (berdiri), Smara
Lungguh (duduk) dan sebagainya. Tapi Smara Pegulingan yang
paling terkenal.
Dan Smara ini pula yang dibawa penata tari Sardono W. Kusumo
ketika bersama warga Desa Teges melawat ke Shiraz, Iran, atas
undangan Syah Reza Pahlevi almarhum. Untuk melestarikan pusaka
tersebut, sudah dibuat duplikatnya dengan dana Rp 4 juta --
sumbangan Ford Foundation. "Duplikat itu boleh disebut sebagai
anaknya. Sedang induknya, Smara Pegulingan yang asli, disimpan
di Desa Teges," ujar Mandra.
Di masa tuanya kini Mandra teramat sedih. Sebab begitu sulitnya
membentuk sebuah sekehe kesenian. "Anak-anak sekarang sibuk
sekolah. Dan setelah lulus sibuk mencari uang. Tidak ada lagi
waktu untuk kesenian," katanya. "Dibanding tahun 30-an dulu,
alangkah sulitnya sekarang ini mengumpulkan orang. Ia
menggeleng-gelengkan kepala. Bahkan Mandra menyangsikan anak
lulusan ASTI Denpasar bisa membina kesenian. Sebab setelah lulus
mereka lantas pergi --meninggalkan sekehe, mencari pekerjaan
lain. Minat terhadap kesenian tradisional semakin berkurang
karena banyaknya jenis hiburan yang lain.
Di Bali, sampai saat ini, setiap pura memiliki seperangkat
gamelan. "Tetapi tidak setiap pura punya penabuh. Kalau akan
mengadakan upacara, penabuh dan penari harus dicari ke desa-desa
lain," kata Mandra dengan lirih. Sekehe Smara Pegulingan Tirta
Sari sendiri kini tak punya dana, kecuali yang diperoleh dari
hasil pementasan di hotel-hotel besar. Bila desa yang
mengundang, mereka minta Rp 5.000 sebagai syarat saja -- sedang
untuk upacara di sebuah pura justru mereka sendiri yang harus
mengeluarkan biaya untuk mengangkut gamelan.
Meski begitu Mandra masih bisa bersyukur: Guruh Soekarnoputra
turun tangan membantunya. "Anak Guruh" begitu Mandra
memanggilnya dengan kasih sayang -- kini sedang mempersiapkan
pembentukan sebuah yayasan guna melestarikan sekehe Mandra.
Mandra sendiri, dari segi lain, toh merasa bahagia menyaksikan
perkembangan kesenian tradisional Bali saat ini.
"Dulu legong hanya boleh dibawakan anak-anak raja dan dinikmati
oleh keluarga istana. Sekarang sudah ke mana-mana. Semakin
populer, semakin baik. Semakin dikenal dan tinggi nilainya
semakin bagus." Tapi bila sekarang banyak orang asing mampu
menarikan berjenis-jenis tari Bali, menurut Mandra "mereka
tidak akan mampu menghayati. Sebab tulang dan perangainya
lain."
Meski darah seni mengalir dari leluhurnya, sebenarnya di masa
mudanya Mandra tak bercita-cita menjadi seniman. Hanya kemudian
ia merasa sudah telanjur mencintai kesenian tradisional Bali,
tanpa tahu sebabnya. Ia lahir 5 Maret 1905 di Desa Peliatan,
Ubud, keturunan seorang jaksa agung pada Kerajaan Peliatan,
sebuah kraton kecil di Nusa Wangsul. Termasuk kasta kesatria
Mandra mula-mula ingin menjadi pegawai negeri.
Setelah menamatkan HIS pada 1917, ia menjadi mantri ukur dan
pemungut pajak tanah kering (sedahan abian). Sementara itu
sejak 1924 ia mulai giat berlatih menabuh kendang. Lama-kelamaan
kegiatan keseniannya lebih menonjol. Ketika terpilih menjadi
perbekel (lurah) di desanya (1928-1953), ia berhasil membentuk
sebuah sekehe kesenian.
Meski cukup lama menjadi lurah, Mandra tak pernah menerima
pensiun. Tanah bengkok pun sudah lama dicabut. Ia juga pernah
mempunyai tanah seluas 42 ha, tapi habis terkena landreform.
Tapi Mandra merasa berbahagia, dan hidup rukun dengan 3 istri,
10 anak dan 23 cucu, yang sebagian juga bergabung dalam Sekehe
Smara Pegulingan Tirta Sari.
Seorang anaknya mengusahakan restoran dan bungalo 'Menala' di
Peliatan. Di sanalah Mandra biasa membaca koran Bali Post atau
nonton televisi sampai siaran habis. Kecuali diabetesnya, orang
tua ini tampak sehat. Badannya gemuk. Wajahnya bundar. Dadanya
bidang. Rambutnya, dipangkas pendek mulai menipis dan sudah
putih semua. Ia mengenakan kacamata tebal. Dan mata itu pun
berbinar-binar bila ia bercerita.
Misalnya ketika ia menceritakan perlawatannya yang pertama kali
pada 1931 ke Negeri Belanda. "Sambutan mereka luar biasa. Saya
heran di negerinya sendiri Belanda begitu ramah, tapi Bali
mereka dengan mudah mengumpat godverdom". Ia tertawa. Dua minggu
mereka di sana, koran-koran menulis pementasan Mandra secara
besar-besaran. "Kami sempat dijamu Ratu Wilhelmina."
Dari Negeri Belanda rombongan menuju Paris, memenuhi undangan
untuk memeriahkan sebuah festival kesenian. Baru dua minggu
mereka di kota pusat budaya Eropa itu, paviliun tempat mereka
bermain terbakar habis. Dan baru bisa dibangun kembali setelah
bekerja keras selama sebulan. Setelah itu baru Mandra
mempertontonkan jangger, oleg, legong kraton dan cak.
"Kami bersaing melawan kesenian Muangthai dan saling tonton
dengan beberapa pertunjukan kesenian Eropa. Selama tiga bulan di
Paris, orang tak henti-hentinya merasa takjub menyaksikan
pertunjukan kami," tutur Mandra dengan suara meriah. Pulang dari
Eropa nama Mandra jadi sangat terkenal.
Ketika Jepang masuk, 1942, ia tak terpengaruh suasana. Bahkan
mulai menciptakan arja dengan bahan cerita Menak tentang
Kerajaan Jenggala, Kediri dan Kahuripan. Juga janger. Karya
utama yang sangat dibanggakannya, Oleg Tumelilingan, merupakan
karya bersama dia sebagai penata gending dan I. Mario sebagai
penata tari, serta wartawan Inggris John Coast sebagai perancang
busana.
Pada 1951 Oleg Tumelilingan alias Tari Tawon ini dipertunjukkan
pertama kali untuk menjamu 150 orang anggota delegasi PBB yang
berkunjung ke Bali. Dan setahun kemudian dibawa melawat ke
London untuk memeriahkan peringatan 17 Agustus di KBRI. Dari
Inggris Mandra melanjutkan perjalanan ke Brussels, Roma, sonn,
Paris. Dari Eropa menuju AS dengan sponsor perusahaan
pertunjukan Columbia yang mengontraknya selama 6 bulan.
MANDRA dan rombongannya menjelajahi kota demi kota di Amerika.
Setiap hari main sekali, Sabtu dua kali, Minggu ditambah slang
hari. Rombongan Mandra yang beranggotakan 45 penari dan penabuh
cukup sibuk. "Ketika itu setiap orang menerima imbalan US$45
seminggu."
Gubernur New York waktu itu, David Rockefeller Sr., tak lupa
mengundang Mandra main di rumahnya. Di sini orang-orang AS tahu
bahwa Mandra pun ternyata seorang mayor (kepala daerah). Dia
kan perbekel? Maka berebutlah para walikota di sana
mengundangnya. Dalam sebuah pertemuan para walikota, Mandra
bahkan sempat datang dengan mengenakan pakaian tradisional
seorang mayor dari Peliatan.
"Pada suatu hari seorang perbekel Los Angeles mengundang mayor
Peliatan yang sedang berada di AS. Maka kami pun
berbincang-bincang di Los Angeles. Para wartawan menyambut
peristiwa ini dengan penuh perhatian. Maklum, pertemuan antara
dua perbekel," ujar Mandra sambil tertawa terbahak-bahak.
Ada satu pengalaman yang menarik. Orang Amerika ternyata juga
percaya: karena membawa barong, kami terhindar dari malapetaka.
Bahkan karena barong pula hujan tak pernah turun selama
pementasan kami." Di San Francisco misalnya ada seorang profesor
peramal cuaca yang penasaran. Dengan peralatan lengkap ia ingin
membuktikan keampuhan barong.
Bersama sang profesor, Mandra berangkat ke tingkat paling tinggi
sebuah pencakar langit. Ia segera meletakkan barong menghadap
arah mendung, yang ketika itu sangat tebal dan menghitam.
Profesor yang membawa barometer itu yakin, pasti hujan segera
turun. Mandra sendiri sudah khawatir: jangan-jangan hujan
benar-benar turun nih. Tapi tak lama kemudian mendung
menyingkir. Dan matahari muncul dari balik puncak-puncak beton
yang tinggi.
TAK lama kemudian seorang nyonya yang mengaku pernah berkunjung
ke Bali menemui Mandra. Katanya ia pernah menyaksikan, bila
rangda ditaruh di kuburan ia akan mengeluarkan api. Sang nyonya
minta agar Mandra melakukan hal itu di hadapan sejumlah
wartawan. "Ketika itu terus-terang saja saya juga khawatir
kalau-kalau hal itu tidak bisa terjadi," kata Mandra. Namun
sayang sekali Mandra tak bisa melakukannya. "Sebab nyonya itu
tidak menyediakan sesajen untuk para dewa sebagaimana biasa
disediakan di Bali," kata Mandra tersenyum.
Meski sambutan pers, radio dan televisi sangat meriah, Ali
Sastroamidjojo, Dubes RI ketika itu, melarang orang AS
memfilmkan pertunjukan Mandra. "Kalau orang Amerika mau melihat
lagi biarlah mereka datang ke Bali," kata Dubes ketika itu.
Ketika rombongan Mandra tiba di Las Vegas yang terkenal sebagai
tempat perjudian, datang lagi pesan khusus Ali Sastroamidjojo:
rombongan tak boleh berjudi.
Rupanya Dubes ingat, orang Bali gemar main judi. "Tapi ketika
pesan khusus itu datang saya sudah telanjur menang," ujar Mandra
sambil tertawa geli. Diulanginya bagaimana ia memasukkan koin ke
dalam jackpot dan mendapat bar (tiga gambar sama). Lalu
krocok-krocok -- koin dollar mengalir ke telapak tangan . . .
Selain ke Eropa dan Amerika, rombongan Mandra juga pernah
melawat ke Australia (1971) dan Meksiko (1981). "Ketika sekali
lagi ke Meksiko tahun lalu, para wartawan yang mengelu-elukan
saya tahun 1952 menyambut lagi. Kami menyelenggarakan reuni.
Kami saling berpelukan dengan terharu. Kami sudah sama-sama tua
. . ." Wajahnya tampak serius.
Dalam usia larut, Mandra semakin tekun mendekatkan diri kepada
Yang Maha Kuasa. Setiap hari bangun pukul tiga dini, kemudian
bersemadi di Puri Kaleran di Peliatan. Kini ia menjadi sesepuh
sebuah desa yang menempati urutan nomor tiga paling rapi di
Bali. Ada satu hal yang diinginkan seniman besar ini. "Kalau
badan saya sudah tidak ada lagi, saya ingin tetap hidup
selama-lamanya bersama gending-gending Bali."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini