Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Berita Tempo Plus

Jiwa-raga untuk gending bali

Pemimpin grup kesenian smara pegulingan tirta sari dari desa peliatan, ubud, 77, rombongannya berkali-kali sukses di luar negeri. (tk)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Jiwa-raga untuk gending bali
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAPAL api Buitenzorg Schip berbendera merah-putih-biru merapat di Pelabuhan Marseilles, Prancis. Sekitar 50 orang berpakaian tradisional Bali turun satu per satu, membawa seperangkat gamelan. Dari sana mereka menuju Negeri Belanda dengan kereta api. Ketika itu 1931. Dalam sejarah kesenian Bali, sekehe (grup) kcsenian Gong Gunung Sari yang dipimpin Anak Agung Gde Mandra itulah yang pertama kali melawat ke Eropa. Dan kemudian berkali-kali main di luar negeri. Ketika itu Mandra berusia 2 tahun. Dan kini, setelah berumur 77 tahun, ia tctap setia memimpin grupnya yang sejak 1978 disebut sekehe Smara Pegulingan Tirta Sari. Grup kesenian dari Desa Peliatan Ubud ini pula yang bersama grup Swara Mahardhika pimpinan Guruh Soekarnoputra memeriahkan pembukaan Pekan Raya Jakarta Sabtu 31 Juli. Nama grup ini dikaitkan dengan seperangkat gamelan yang diberi nama Smara Pegulingan, yang diwarisi Mandra dari leluhurnya pada 1953 ketika ia pulang dari melanglang buana. Konon gamelan yang sudah berusia 150 tahun itu (ada yang bilang 400 tahun) termasuk gamelan "keramat". Orang Bali percaya, instrumen inilah yang mampu memperdengarkan jenis-jenis irama pada saat Dewi Kesenian Smara lagi berguling-guling. Di Bali ada gamelan keramat lain yang disebut Smara Ngadeg (berdiri), Smara Lungguh (duduk) dan sebagainya. Tapi Smara Pegulingan yang paling terkenal. Dan Smara ini pula yang dibawa penata tari Sardono W. Kusumo ketika bersama warga Desa Teges melawat ke Shiraz, Iran, atas undangan Syah Reza Pahlevi almarhum. Untuk melestarikan pusaka tersebut, sudah dibuat duplikatnya dengan dana Rp 4 juta -- sumbangan Ford Foundation. "Duplikat itu boleh disebut sebagai anaknya. Sedang induknya, Smara Pegulingan yang asli, disimpan di Desa Teges," ujar Mandra. Di masa tuanya kini Mandra teramat sedih. Sebab begitu sulitnya membentuk sebuah sekehe kesenian. "Anak-anak sekarang sibuk sekolah. Dan setelah lulus sibuk mencari uang. Tidak ada lagi waktu untuk kesenian," katanya. "Dibanding tahun 30-an dulu, alangkah sulitnya sekarang ini mengumpulkan orang. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Bahkan Mandra menyangsikan anak lulusan ASTI Denpasar bisa membina kesenian. Sebab setelah lulus mereka lantas pergi --meninggalkan sekehe, mencari pekerjaan lain. Minat terhadap kesenian tradisional semakin berkurang karena banyaknya jenis hiburan yang lain. Di Bali, sampai saat ini, setiap pura memiliki seperangkat gamelan. "Tetapi tidak setiap pura punya penabuh. Kalau akan mengadakan upacara, penabuh dan penari harus dicari ke desa-desa lain," kata Mandra dengan lirih. Sekehe Smara Pegulingan Tirta Sari sendiri kini tak punya dana, kecuali yang diperoleh dari hasil pementasan di hotel-hotel besar. Bila desa yang mengundang, mereka minta Rp 5.000 sebagai syarat saja -- sedang untuk upacara di sebuah pura justru mereka sendiri yang harus mengeluarkan biaya untuk mengangkut gamelan. Meski begitu Mandra masih bisa bersyukur: Guruh Soekarnoputra turun tangan membantunya. "Anak Guruh" begitu Mandra memanggilnya dengan kasih sayang -- kini sedang mempersiapkan pembentukan sebuah yayasan guna melestarikan sekehe Mandra. Mandra sendiri, dari segi lain, toh merasa bahagia menyaksikan perkembangan kesenian tradisional Bali saat ini. "Dulu legong hanya boleh dibawakan anak-anak raja dan dinikmati oleh keluarga istana. Sekarang sudah ke mana-mana. Semakin populer, semakin baik. Semakin dikenal dan tinggi nilainya semakin bagus." Tapi bila sekarang banyak orang asing mampu menarikan berjenis-jenis tari Bali, menurut Mandra "mereka tidak akan mampu menghayati. Sebab tulang dan perangainya lain." Meski darah seni mengalir dari leluhurnya, sebenarnya di masa mudanya Mandra tak bercita-cita menjadi seniman. Hanya kemudian ia merasa sudah telanjur mencintai kesenian tradisional Bali, tanpa tahu sebabnya. Ia lahir 5 Maret 1905 di Desa Peliatan, Ubud, keturunan seorang jaksa agung pada Kerajaan Peliatan, sebuah kraton kecil di Nusa Wangsul. Termasuk kasta kesatria Mandra mula-mula ingin menjadi pegawai negeri. Setelah menamatkan HIS pada 1917, ia menjadi mantri ukur dan pemungut pajak tanah kering (sedahan abian). Sementara itu sejak 1924 ia mulai giat berlatih menabuh kendang. Lama-kelamaan kegiatan keseniannya lebih menonjol. Ketika terpilih menjadi perbekel (lurah) di desanya (1928-1953), ia berhasil membentuk sebuah sekehe kesenian. Meski cukup lama menjadi lurah, Mandra tak pernah menerima pensiun. Tanah bengkok pun sudah lama dicabut. Ia juga pernah mempunyai tanah seluas 42 ha, tapi habis terkena landreform. Tapi Mandra merasa berbahagia, dan hidup rukun dengan 3 istri, 10 anak dan 23 cucu, yang sebagian juga bergabung dalam Sekehe Smara Pegulingan Tirta Sari. Seorang anaknya mengusahakan restoran dan bungalo 'Menala' di Peliatan. Di sanalah Mandra biasa membaca koran Bali Post atau nonton televisi sampai siaran habis. Kecuali diabetesnya, orang tua ini tampak sehat. Badannya gemuk. Wajahnya bundar. Dadanya bidang. Rambutnya, dipangkas pendek mulai menipis dan sudah putih semua. Ia mengenakan kacamata tebal. Dan mata itu pun berbinar-binar bila ia bercerita. Misalnya ketika ia menceritakan perlawatannya yang pertama kali pada 1931 ke Negeri Belanda. "Sambutan mereka luar biasa. Saya heran di negerinya sendiri Belanda begitu ramah, tapi Bali mereka dengan mudah mengumpat godverdom". Ia tertawa. Dua minggu mereka di sana, koran-koran menulis pementasan Mandra secara besar-besaran. "Kami sempat dijamu Ratu Wilhelmina." Dari Negeri Belanda rombongan menuju Paris, memenuhi undangan untuk memeriahkan sebuah festival kesenian. Baru dua minggu mereka di kota pusat budaya Eropa itu, paviliun tempat mereka bermain terbakar habis. Dan baru bisa dibangun kembali setelah bekerja keras selama sebulan. Setelah itu baru Mandra mempertontonkan jangger, oleg, legong kraton dan cak. "Kami bersaing melawan kesenian Muangthai dan saling tonton dengan beberapa pertunjukan kesenian Eropa. Selama tiga bulan di Paris, orang tak henti-hentinya merasa takjub menyaksikan pertunjukan kami," tutur Mandra dengan suara meriah. Pulang dari Eropa nama Mandra jadi sangat terkenal. Ketika Jepang masuk, 1942, ia tak terpengaruh suasana. Bahkan mulai menciptakan arja dengan bahan cerita Menak tentang Kerajaan Jenggala, Kediri dan Kahuripan. Juga janger. Karya utama yang sangat dibanggakannya, Oleg Tumelilingan, merupakan karya bersama dia sebagai penata gending dan I. Mario sebagai penata tari, serta wartawan Inggris John Coast sebagai perancang busana. Pada 1951 Oleg Tumelilingan alias Tari Tawon ini dipertunjukkan pertama kali untuk menjamu 150 orang anggota delegasi PBB yang berkunjung ke Bali. Dan setahun kemudian dibawa melawat ke London untuk memeriahkan peringatan 17 Agustus di KBRI. Dari Inggris Mandra melanjutkan perjalanan ke Brussels, Roma, sonn, Paris. Dari Eropa menuju AS dengan sponsor perusahaan pertunjukan Columbia yang mengontraknya selama 6 bulan. MANDRA dan rombongannya menjelajahi kota demi kota di Amerika. Setiap hari main sekali, Sabtu dua kali, Minggu ditambah slang hari. Rombongan Mandra yang beranggotakan 45 penari dan penabuh cukup sibuk. "Ketika itu setiap orang menerima imbalan US$45 seminggu." Gubernur New York waktu itu, David Rockefeller Sr., tak lupa mengundang Mandra main di rumahnya. Di sini orang-orang AS tahu bahwa Mandra pun ternyata seorang mayor (kepala daerah). Dia kan perbekel? Maka berebutlah para walikota di sana mengundangnya. Dalam sebuah pertemuan para walikota, Mandra bahkan sempat datang dengan mengenakan pakaian tradisional seorang mayor dari Peliatan. "Pada suatu hari seorang perbekel Los Angeles mengundang mayor Peliatan yang sedang berada di AS. Maka kami pun berbincang-bincang di Los Angeles. Para wartawan menyambut peristiwa ini dengan penuh perhatian. Maklum, pertemuan antara dua perbekel," ujar Mandra sambil tertawa terbahak-bahak. Ada satu pengalaman yang menarik. Orang Amerika ternyata juga percaya: karena membawa barong, kami terhindar dari malapetaka. Bahkan karena barong pula hujan tak pernah turun selama pementasan kami." Di San Francisco misalnya ada seorang profesor peramal cuaca yang penasaran. Dengan peralatan lengkap ia ingin membuktikan keampuhan barong. Bersama sang profesor, Mandra berangkat ke tingkat paling tinggi sebuah pencakar langit. Ia segera meletakkan barong menghadap arah mendung, yang ketika itu sangat tebal dan menghitam. Profesor yang membawa barometer itu yakin, pasti hujan segera turun. Mandra sendiri sudah khawatir: jangan-jangan hujan benar-benar turun nih. Tapi tak lama kemudian mendung menyingkir. Dan matahari muncul dari balik puncak-puncak beton yang tinggi. TAK lama kemudian seorang nyonya yang mengaku pernah berkunjung ke Bali menemui Mandra. Katanya ia pernah menyaksikan, bila rangda ditaruh di kuburan ia akan mengeluarkan api. Sang nyonya minta agar Mandra melakukan hal itu di hadapan sejumlah wartawan. "Ketika itu terus-terang saja saya juga khawatir kalau-kalau hal itu tidak bisa terjadi," kata Mandra. Namun sayang sekali Mandra tak bisa melakukannya. "Sebab nyonya itu tidak menyediakan sesajen untuk para dewa sebagaimana biasa disediakan di Bali," kata Mandra tersenyum. Meski sambutan pers, radio dan televisi sangat meriah, Ali Sastroamidjojo, Dubes RI ketika itu, melarang orang AS memfilmkan pertunjukan Mandra. "Kalau orang Amerika mau melihat lagi biarlah mereka datang ke Bali," kata Dubes ketika itu. Ketika rombongan Mandra tiba di Las Vegas yang terkenal sebagai tempat perjudian, datang lagi pesan khusus Ali Sastroamidjojo: rombongan tak boleh berjudi. Rupanya Dubes ingat, orang Bali gemar main judi. "Tapi ketika pesan khusus itu datang saya sudah telanjur menang," ujar Mandra sambil tertawa geli. Diulanginya bagaimana ia memasukkan koin ke dalam jackpot dan mendapat bar (tiga gambar sama). Lalu krocok-krocok -- koin dollar mengalir ke telapak tangan . . . Selain ke Eropa dan Amerika, rombongan Mandra juga pernah melawat ke Australia (1971) dan Meksiko (1981). "Ketika sekali lagi ke Meksiko tahun lalu, para wartawan yang mengelu-elukan saya tahun 1952 menyambut lagi. Kami menyelenggarakan reuni. Kami saling berpelukan dengan terharu. Kami sudah sama-sama tua . . ." Wajahnya tampak serius. Dalam usia larut, Mandra semakin tekun mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Setiap hari bangun pukul tiga dini, kemudian bersemadi di Puri Kaleran di Peliatan. Kini ia menjadi sesepuh sebuah desa yang menempati urutan nomor tiga paling rapi di Bali. Ada satu hal yang diinginkan seniman besar ini. "Kalau badan saya sudah tidak ada lagi, saya ingin tetap hidup selama-lamanya bersama gending-gending Bali."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus