Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Musik Air, Kayu, Api, Logam, dan Angin

Musik "Megalitikum Kuantum" digelar di Plenary Hall, Jakarta Convention Center. Sayang, porsinya tak imbang.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ba alokha khôu ana fa'a mate…ae…fa'a…ma…te…aehe…aô…a…Ba…ya ugô anata jilôna allele-lele —oh, kematian…, hanya kaulah yang tak pernah bosan menghampiri.

Pada mulanya, seseorang di pojok panggung memperagakan permainan musik batu. Tatkala rekaman gambar menghiasi layar panggung, empat penari Falluaya muncul, menjejak-jejakkan kakinya, berputar-putar mengikuti paduan musik vokal yang serempak. Tarian perang Mentawai, vokal ho-ho, berbaur dengan musisi kontemporer: gitar Donny Suhendra, keyboard Dwiki Darmawan, harpa Maya Hasan, drum Budhy Haryono, serta sembilan beduk Toba.

Sekarang ho-ho pengiring kematian itu berselang-seling dengan jeritan rocker Candil Seurieus. Ya, dengan sentuhan artistik Jay Subiyakto, para seniman lokal dan bintang kontemporer di satu panggung. Demikianlah konser bertajuk "Megalitikum Kuantum" itu mengalir di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, pekan lalu.

Megalitikum Kuantum hasil sebuah kerja yang panjang. "Sejak November tahun lalu," kata Rizaldi Siagian, direktur proyek ini. Dan ia telah berjalan jauh.

Di Pondok Labu, Kalimantan Timur, Rizaldi menemukan sampeq, musik petik serupa gitar. Juga musik tiup kledi (mouth organ) dari Dayak Kenya, yang kini sudah tidak ada yang memainkan. Sebuah alat musik penting, cikal-bakal pembuatan organ. Lantas berturut-turut ia menjumpai sasando di Nusa Tenggara Timur, gamelan bambu jegong di Bali, kuntulan di Banyuwangi—perkawinan budaya Jawa, Bali, dan Islam. Juga Gendhing Ketawang Puspo Warno dari Jawa Tengah. Di Nias, Rizaldi mendapati musik batu, musik vokal ho-ho, tari perang Falluaya. Juga musik dari Batak Toba. "Masing-masing punya keistimewaan yang berbeda," tutur Rizaldi.

Sekadar catatan, Gendhing Ketawang Puspo Warno merupakan komposisi musik yang istimewa, setara dengan karya J. Sebastian Bach. Musik Jawa ciptaan Mangkunegoro V ini dimainkan empu gamelan Ki Tjokrowasito. Sejak 1977, pesawat Voyager membawa dan memainkan rekaman gending di luar angkasa.

Rizaldi mengawinkan musik-musik etnis itu dengan berbagai nada musik modern. Secara keseluruhan, komposisi-komposisinya terdengar kompak dan terasa pas. Para musisi etnis mengaku tidak mengalami kesulitan atas penggabungan itu. Akan halnya melodi, praktis tak ada kesulitan berarti. Musik modern menyesuaikan dengan nada musik etnis. "Kami tidak mungkin menyelaraskan musik etnis ke musik modern," kata Rizaldi.

Tengok musik vokal ho-ho di Pulau Nias, ataupun musik yang mengiringi tarian suku Mentawai.

Pada akhirnya, sebuah cerita. Ada musik keras yang menggambarkan perjuangan keras di zaman megalitikum (batu). Lalu air, kayu, api, logam, dan angin. Terakhir, langit yang diibaratkan dengan istilah kuantum. Ide pergelaran ini memang luar biasa. Sejak awal, megaproyek ini diplot sebagai hiburan ngepop. Karena itu, Jay menyiapkan pentas ini sebagai pentas panggung multimedia. "Tontonan ini tidak khusus untuk budayawan. Ini pentas hiburan pop," katanya. Bisa dipahami bila tujuan awal mengangkat musik etnis ini tenggelam dalam glamor.

Tapi inilah pertunjukan yang sejak jauh hari telah dipublikasi besar-besaran. Dan ketika orang berbondong-bondong melihat pertunjukan, terbukalah sebuah konsekuensi: harapan yang tinggi bisa berujung kecewa. Ya, sayang sekali harap itu lalu meleleh di ujung konser. Pengusaha dan musisi Setyawan Djodi menyebut Megalitikum Kuantum opera yang spektakuler. "Sayang, vokalnya ada yang kurang keluar. Juga space musik etnisnya sangat minim," kata Setiawan Djodi.

Musik sampeq dari Dayak, Kalimantan Timur, misalnya, hanya tampil sekali. Grup musik sampeq yang terdiri atas tiga orang ini—Dedi Yonathan, 31 tahun, Galau Tekiyen, 49 tahun, dan Usat Anyeq, 65 tahun—melantunkan lagu daerah Dot Diot atau Tapen Kitan dan Sutatang Sutabu. Dengan improvisasi iringan harpa bernada slendro, permainan sampeq yang semula monoton menjadi kaya warna. Musik ini digunakan sebagai hiburan pernikahan atau menyambut tamu, juga keramaian lain. "Maya yang mengiringi kita punya lagu. Maya yang menyesuaikan, harpanya disetel ke nada slendro," ujar Petului Laloq, pimpinan rombongan sampeq.

Sasando setali tiga uang. Cuma mendapat jatah sekelebatan, hanya beberapa menit. Dimainkan oleh grup sasando Kupang, Hendrik Pah, Johanes Mesak (sasando gong), dan Hance Pah (tambur). Malam itu mereka tampil bersama gitaris Donny Suhendra.

Dari air, penonton dibawa ke ruang yang memiliki unsur kayu. Sebagai penghantar bunyi, kayu juga banyak dimanfaatkan untuk membuat alat musik. Kayu bersifat lembut dan teduh, menaungi irama musik kuntulan Banyuwangi. Disusul jegog dari Kabupaten Jimbrani, Bali, yang bermain bareng Indra Lesmana. Komposisi berikutnya, Alu-alu, merupakan kolaborasi musik Batak Toba dengan stamping rice (tumbuk lesung) Bali, dipimpin I Nyoman Windha.

Indra mengawalinya dengan sentuhan tuts-tuts berirama jazz. Lalu, berbagai instrumen yang dimainkan ke-12 mahasiswa ISI Denpasar mengimbangi, berbaur menjadi satu komposisi manis berjudul Rumpun Bambu. Irama itu aslinya berjudul Me Kepung, sejenis perlombaan seperti karapan sapi. Nadanya dinamis, dengan kejutan-kejutan kecil, entakan beduk, dan permainan perkusi sapu lidi. Tak ketinggalan antan penumbuk padi dan musik bambu bernada pentatonis yang dihasilkan tabung-tabung bambu.

Rizaldi sengaja menggabungkan jegog dengan jazz karena struktur jazz berangkat dari bas atau bas ostinato. "Saya lihat, dalam jegog, bas ostinatonya sangat menonjol sehingga dapat memenuhi kebutuhan jazz," tuturnya.

Unsur api dan logam menggambarkan era industri, lengkap dengan kesibukannya. Dilanjutkan dengan babak angin yang ditemukan di udara. Dalam babak ini penyanyi Krisdayanti mengenakan kostum tipis merah, menjuntai dan melambai ditiup angin. Dia menyanyikan Hati Bertanya. Disusul Iyeth Bustami dengan lagu Mana.

Gendhing Ketawang Puspo Warno mewakili langit. Permainan harpa Maya Hasan, vokal Ubiet dan Peni Candra Rini membaurkan roh puspa warna. Namun, visualisasi gerak memudahkan penonton memasuki imajinasi makhluk angkasa luar. Gerakan lentur dimainkan dengan siluet oleh penari Didik Nini Thowok.

....Ngetan bali ngulon…, apa sedyane kelakon…. Mungkin betul Sragenan puspa warna itu. Kita tak boleh bosan, meski harus bolak-balik berjalan ke timur, lalu ke barat, agar semua keinginan terlaksana. Mengangkat musik tradisi dengan balutan glamor? Tentu tidak setiap orang mampu membiayainya.

L.N. Idayanie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus