Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Musik yang Berasal dari Lontar

Sasando dikenal hingga Madagaskar. Sasando tradisional pentatonis, sasando modern diatonis.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Dai...damedong...." Lelaki itu menyanyi, suaranya melengking; alat musik di tangannya juga melengking. Sebuah lagu untuk perantau, judulnya Batu Matia, meluncur dari mulutnya. Melodinya melingkar-lingkar, seakan-akan cuma hendak menekankan pesan yang sama: biarkan darah perantau terus menggelegak. Jelas sudah, Pulau Rote di tengah-tengah samudra. Bahkan di zaman Belanda, kaum lelakinya dipaksa menyeberang ke Kupang, menjalani kerja paksa.

Ya, di seberang lautan, putra-putra tanah Rote boleh jadi menderita, tapi mereka tetap bertemu, menyanyi dengan alat musik mereka: sasando. Hendrik, lelaki yang menyanyi dan memetik alat itu fasih melukiskan akar petualangan orang Rote. "Dilema cinta orang Rote—meski berjauhan, tetap akan bertemu, semua berkat perlindungan Tuhan." Ya, Hendrik Patuah, putra Rote, 59 tahun. Rabu, dua pekan lalu, ia tampil di Bentara Budaya, di hadapan penonton yang terbatas.

Malam itu Hendrik mengenakan kostum adat lengkap: celana panjang gelap, kemeja putih, selendang tenun ikat Rote dan ti'i langga. Ti'i langga adalah topi dari daun lontar muda yang dikeringkan, ujungnya diberi uliran menyerupai sungut setinggi 40-an sentimeter. Inilah malam yang istimewa. Selama ini, sedikitnya sebulan dua kali Hendrik menerima order menyanyi dan memainkan sasando. "Amplopnya sukarela. Kami tidak bicara soal uang. Di sana sasando untuk menghibur, juga untuk adat," ujar Hendrik.

Di tempat asalnya, sasando adalah hiburan rakyat, pengiring lagu daerah dan tarian adat. Sasando jenis tradisional ini pentatonis dan ruang lingkupnya terbatas pada mi, re, do, la, dan sol. Instrumen musik petik yang hanya menggunakan 9-12 dawai ini disebut sasando gong: tiga dawai bas, sisanya dawai melodi. Sasando tradisional memang terasa monoton, tapi bila dipadu dengan nyanyian kerajaan Rote seperti taebenu, feto boi, teo renda, atau fafotik, kehadirannya terasa melampaui batas-batas fisik: sakral, memiliki roh.

Sasando mirip harpa, ibu pertama dari segala alat musik petik di dunia. Hari itu, di panggung, Hendrik duduk memangku sasando. Kedua tangan melingkari batang bambu, jemarinya memetik dawai. Tinggi rendahnya nada dawai diatur oleh tombol atau kayu segitiga kecil yang diletakkan di bawah setiap dawai dan bisa dinaikturunkan. "Ini untuk menyetem. Semakin turun tombol, nadanya semakin tinggi," tutur Hendrik, yang sehari-harinya membuat topi ti'i lingga.

Alat musik sasando dibuat dari daun lontar, potongan bambu, tali kopling sepeda motor, dan senar gitar nomor 4 atau suasa (campuran emas dan tembaga). Lembaran lontar dijalin hingga membentuk rongga setengah lingkaran (haik), yang fungsinya sebagai resonator. Bambu dan dawai yang dipasang melingkar sebagai lute-nya. "Bunyi getaran dawai sasando diperbesar oleh haik," kata Hendrik.

Dalam perkembangannya, alat musik ini tak hanya menjadi pengiring lagu tradisional. Lihatlah Lewi Pingak, 52 tahun, memainkan sasando biola yang tak lagi pentatonis. "Sasando ini merupakan pengembangan sasando gong," kata Johny Theedens, guru musik di Kupang. Ya, bagi yang terbiasa mendengar musik modern, mungkin kuping mereka lebih tanggap terhadap sasando biola. Lewi duduk di panggung. Semua jarinya aktif: tiga jari kanan memetik akord, telunjuk dan ibu jari untuk melodi berdawai ganda, dan tiga jari kiri untuk memetik bas. Mirip gitar. Kemampuannya meramu harmoni membuat alat ini memiliki karakter sebuah orkestra.

Waktu bergulir, dan sasando berkembang semakin kompleks: dari instrumen berdawai tujuh menjadi 9-12 dawai, dan sekarang bisa sampai 50 dawai. Dari yang hanya mampu memainkan tiga kunci mayor C, D, dan F, menjadi alat yang sanggup menjangkau kunci minor, D minor atau E minor. Tak diragukan, seperti kata Lewi yang pendeta, guru musik dan dosen ini, sasando biola adalah alat modern.

Tapi sasando gong tak tergantikan. Di sejumlah lagu, garapan melodi sasando justru tidak biasa dilakukan dalam tradisi musik Indonesia. Dalam musik Indonesia, kebanyakan menggunakan melismatis. Artinya, satu suku kata dalam sebuah nyanyian diberi beberapa nada. "Tidak demikian dengan sasando. Nuansa itu tidak kita rasakan. Mendengar musik ini seolah-olah saya berada di Afrika," kata Rizaldi Siagian, etnomusikolog.

Masyarakat Rote mempunyai kisah tersendiri buat menjelaskan alat ajaib ini.

Alkisah, wabah kusta menyerang Pulau Rote. Akibat penyakit itu, dua bersaudara, Lunggi Lain dan Balo Aman, diasingkan oleh keluarganya. Suatu hari, penyakit Lunggi semakin mengganas. Dia terkapar di bawah pohon lontar dan tertidur. Balo pergi mencari ma-kan, menyadap lontar. Saat itu Lunggi bermimpi mendengar suara aneh di balik dedaunan lontar. Lunggi terbangun, dan mendapati penyakitnya sembuh.

Suara itu masih terdengar nyaring, Lunggi bergegas mencari sumbernya. Ternyata, berasal dari jaring laba-laba yang menggantung di sela dedaunan lontar. Beberapa hari kemudian, Balo pulang. Ia terkejut melihat saudaranya sembuh. Karena penasaran, Balo mengikuti Lunggi, menikmati denting jaring laba-laba. Ternyata, Balo juga sembuh. Untuk mengenang mukjizat itu, Balo dan Lunggi ingin membuat alat musik dari daun lontar. Jadilah sasando dengan dawai kulit pelepah lontar.

Versi lain mengatakan, sasando diciptakan Sangguana, pemuda asal kampung Oetefu-Thi. Saat melaut, pemuda ini terdampar di Pulau Ndana di selatan Rote. Seorang warga menemukan Sangguana dan membawanya menghadap Raja Takala di istana Nusaklin yang sedang mengadakan Kebak (Kebalai), sebuah pergelaran seni tradisional.

Singkat cerita, putri raja jatuh cinta pada Sangguana. Raja merestui dengan syarat Sangguana harus bisa menciptakan alat musik. Malam harinya, Sangguana bermimpi memainkan musik merdu, indah, dan sejuk. Sangguana akhirnya berhasil membuat alat musik dari daun lontar, yang diberi nama sandhu. Putri raja mengubahnya menjadi hitu (tujuh) karena alat musik itu memiliki tujuh dawai.

Hendrik dan Lewi khawatir, bila tidak dilestarikan, musik ini lambat laun akan punah. Banyak generasi muda yang tidak tertarik belajar sasando. Selain itu, untuk ukuran masyarakat Rote, harga sebuah sasando cukup untuk makan satu bulan. Para maestro sendiri hidupnya juga pas-pasan dan itu mempersempit lingkup gerak mereka.

Hidup berlanjut, orang Rote terus merantau, begitu juga sasandonya. Di Madagaskar, sasando gong disebut baliha dan diakui berasal dari Indonesia. Ya, mereka telah berlayar jauh ke barat. "Dai...damedong...." Begitu senandung Hendrik Patuah.

L.N. Idayanie, Jems De Fortuna (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus