Gara-gara jang ditimbulkan oleh tindakan sensor pihak-pihak
resmi terhadap fim-fim seperti The Long March, Antara Bumi Dan
Langit dan lain-lain, antara lain menimbulkan kegelisahan di
kalangan Perfini jang lalu membikin film fiktifnya jang pertama,
Dosa Tak Berampun, sebuah saduran dari lakon sandiwara Djepang,
Ajahku Pulang.
Pada hakekatnya ini adalah exodus pertama, lari dari pokok-pokok
tjerita jang aktuil jang disebabkan oleh guntingan sensor yang
makin tajam.
Usmar Ismail, "Sari Soal Dalam Film Indonesia", Star News 25
September 1954.
***
LEBIH seperempat abad setelah almarhum Usmar Ismail direpotkan
oleh 'pihak-pihak resmi,' perfilman Indonesia ternyata masih
harus mengalami nasib yang sama Kasus Wasdri yang di bulan
Juli yang lalu menjadi bahan pembicaraan, kini tampil sebagai
masalah film yang menghebohkan. Niat sekelompok orang film
mengangkat kisah Wasdri ke layar putih ditolak oleh yang
berkuasa. Alas an? Merongrong kewibawaan Pemerintah - jawab drs
Sunaryo St. Direktur Bina Film Departemen Penerangan.
Seakan-akan semua jaksa atau instansi pemerintah itu berbuat
salah dan sewenang-wenang. Seakan-akan rakyat kecil selalu
ditindas oleh penguasa, demikian Sunaryo kepada Syarief Hidayat
dari TEMPO.
Kehebohan bermula pada surat penolakan bernomor 3081/Dir-DPF-II/
1977, tertanggal 18 Nopember 1977, ditandatangani drs. Sunaryo
St. Mula-mula persoalan memang akan diseIesalkan secara
sederhana: pangganttan judul dan revisi beberapa baglan
skenario. Tapl karena sang penulis skenario Yasso Winarto dan
Sutradara Nico Pelamonia keberatan, pihak Deppen pun bersikeras.
Dan para seniman berkumpul lalu melahirkan protes.
Setelah berdebat sengit selama berjam di sebuah warung dalam
kompleks Taman Ismail Marzuki, 3 Desember lalu, pernyataan
Melawan Pemasungan Kreativitas ditandatangani oleh sejumlah
orang film dan seniman bidang-bidang lain. Lewat koran dan
berita dari mulut ke mulut, para seniman dengan segera
menyatakan solidaritas. Kemudian ternyata masalah tidak bisa
dilokalisir lagi cuma pada kasus film Wasdri.
Selain kasus film Atheis yang juga pernah dilarang pembuatannya
oleh pihak Deppen (hingga kini di beberapa daerah tidak boleh
diputar), kasus film Siulan Rahasia juga ikut diprotes para
seniman itu. Dalam film terakhir ini yang menjadi soal bagi
oeppen adalah ikutnya Pak Kasur sebagai pemain, sedang ia
dianggap masih dalam keadaan "karantina": pernab jadi anggota
PGRI non-vaksentral.
Tidak ketinggalan Oma Irama ikut protes: 3 buah lagunya dilarang
beredar (lihai Musik). Sejumlah dramawan, termasuk W.S Rendra,
juga protes karena pementasan mereka dilarang di beberapa kota.
Pelarangan pameran lukisan 'Seni Kepribadian Apa' di Yogya pada
bulan Agustus 1977 juga diprotes.
Di Deppen, para seniman yang melakukan protes diterima Dirjen
RTF drs Sumadi Sudah tentu terjadi tarik urat leher di sana.
Ucapan Sumadi yang menyebut skenario Wastri sebagai "tidak
sesuai dengan kejadian aslinya", dinilai "amat gegabah" oleh
W.S. Rendra. "Lho, lalu kenapa ada film yang memadu unsur
dokumentar dengan fiksi'?"
Rendra kemudian bertanya: "Kalau pemaduan dokumenter dan fiksi
dianggap jelek, apakah memang ada larangan memuat film jelek?"
Tentu saja Sumadi tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Sebab jika
larangan itu ada, bisa dipastikan dalam setahun mungkin cuma 2
atau 3 film Indonesia yang bisa lahir.
Ketika masih belum bertemu dengan para seniman, di Bina Craha
Sumadi menyatakan kekhawatirannya bahwa para seniman yang
melakukan protes itu belum membaca skenario Wasdri. "Itu tidak
penting lagi, dibaca atau tidak. Protes ini tidak cuma
menyangkut soal Wasdri, tapi menyangkut masalah kreativitas
secara umum," begitu Arifin C. Noer menanggapi Sumadi.
Nampaknya bisa dipastikan: juga para anggota Akademi Jakarta dan
Dewan Kesenian Jakarta tidak banyak yang sempat membaca skenario
Yasso Winarto itu. Tapi dalam pernyataan bersama kedua lembaga
tersebut, pelarangan terhadap skenario film Wasdri dinilai
sebagai "akan merugikan perkembangan bangsa ini dalam jangka
panjang."
Juga tertulis: "Soal adanya kreativitas bagi bangsa Indonesia
adalah soal hidup mati. Biarpun bangsa ini pada suatu saat
dilumpuhkan tubuhnya, tapi selama api kreativitas menyala dengan
baik, biar dalam keadaan bagaimanapun bangsa ini akan tetap
bangkit kembali."
Di Deppen, ketakutan akan "matinya kreativitas" sebagai yang
dicanangkan para seniman itu ditanggapi dengan tenang oleh drs
Sunaryo. Katanya: "Pelarangan itu tidak mematikan kreativitas.
Saya bahkan selalu menganjurkan mereka untuk berkreasi, kreasi
yang baik. Tapi tentang Wasdri, itu kan memojokkan
pejabat-pejabat pemerintah. Ayo coba, bagaimana kalau film ini
sampai ditonton orang luar negeri. Tentu mereka mendapat kesan
negara kita ini bobrok. Dan akibatnya akan mengganggu politik
luar negeri kita, bukan'?"
Barangkali untuk betul-betul menjaga wajah Indonesia di mata
orang luar negeri itulah, proses perizinan pembuatan film di
Indonesia dibuat seketat mungkin. "Sebuah film yang akan
diproduksi, harus mengajukan izin dengan melampirkan skenario
sebanyak ] 0 k)pi," begitu Sunaryo memulai cerita. Skenario itu
kemudian dibagi-bagikan kepada berhagai bagian dalam tubuh
Dirbin Film untuk diteliti. "Kalau ada di antara pejahat itu
mempunyai keberatan, dilakukan diskusi, keputusan bisa berupa
penolakan, dikembalikan untuk diperbaiki, sekedar diberi catatan
atau diterima sepenuhnya."
Kita kan sudah punya Badan Sensor Film (BSF). Kenapa skenario
disensor pula?
Sunaryo: Istilahnya bukan sensor, tapi penelitian. Ini sudah
dilakukan sejak masa Sjuman Djaja jadi direktur di sini. Jadi
saya cuma meneruskan tradisi yang dinmulai Sjuman.
Ada beberapa macam sensor yang harus dilewati sebuah film
Indonesia sebelum sampai beredar?
Sunaryo: Sensor cuma satu, yaitu BSF. Tapi penelitian ada
beberapa macam. Penelitian skenario, penelitian rush copy. Di
tiap daerah ada Bafida (Badan Perfilman Daerah) yang juga
meneliti setiap film yang akan beredar di daerahnya. Bafida
hanya bisa menerima atau menolak scbuah film. Memotollg seperti
BSF tidak bisa.
Drs. Sjuman Djaja, bekas Direktur Film Deppen dan salah-seorang
sutradara serta enulis skenario terpenting di Indonesia dewasa
ini, tidak menyangkal mengeluarkan peraturan itu dulu. "Tapi
pemeriksaan yang saya lakukan adalah dalam rangka mencari
skenario yang baik untuk diberi subsidi." Tambah Sjuman: "Kini
yang dipakai para birokrat Deppen bukan pci-aturan yang saya
bikin. Kalau mcreka pakai, seharusnya mereka memberi subsidi
kepada skenario yang mereka anggap baik."
Tragisnya, kebijaksanaan Deppen telah pula mempersulit diri
Sjuman sendiri. Film Athlis hampir saja tidak dapat izin
produksi, sedang Si Mamad diberi anjuran: "agar tidak terlalu
menonjolkan kemiskinan pegawai negeri," begitu cerita Maulana,
seorang pembantu dekat Sjuman.
Apakah pengaruh kasus Wasdri terhadap perkembangan perfilman
nasional?
Sjuman: Terang tidak sehat. Terbukti, skenario yang banyak
diloloskan adalah kisah tentang orang yang terdiri dari daging
melulu, sama sekali tidak punya dimensi. Ksus pelarangan ini
membuktikan bahwa Deppen tidak mentolerir film yang membumi di
Indonesia, film yang berwajah Indonesia. Akibatnya lahirlah
film-film yang menerawang antara wajah-wajah Hongkong, Taiwan,
Jepang, Korea dan India. Wajah tiruan yang bahkan lebih jelek.
Menurut anda, bagaimana supaya pemeriksaan skenario bisa lebih
baik hasilnya?
Sjuman: Komisi itu bubarkan saja. Itu kalau kita ingin membuat
film yang berwajah Indonesia. Biarkan saja para seniman yang
menilai skenario, bukan para birokrat itu. Skenario tidak akan
pernah bisa diperiksa oleh opas atau klerek.
Di tengah gemuruh protes para seniman seorang yang dengan
tenang menyedot pipanya tidak banyak memberi komentar. Dia
itulah Yasso Winarto, penulis skenario yang dilarang. Lahir di
Sragen 23 Agustus 1942, Winarto yang lulusan Fakultas Ekonomi
Universitas Gajah Mada dan ayah 2 orang anak ini, yang wajahnya
kebetulan mirip dengan Wasdri, mengaku telah melakukan
penelitian selama 2 bulan sebelum menulis skenarionya. Memulai
kegiatan keseniannya sebagai penulis sajak dan cerpen ketika
masih di sekolah menengah, Yasso belajar alm dari Sjuman Djaja.
Sibuk menyiapkan film pertamanya sebagai sutradara, Yasso cuma
angkat suara jika ditanya,
Bagaimana tanggapan anda terhadap pelarangan itu?
Yasso: Sumadi itu tidak tahu membaca skenario. Sumadi bahkan
mengajari kita mengenai teori kesenian. Baiknya dia sajalah yang
buat film.
Anda bersedia berkompromi dengan saran-saran Deppen itu?
Yasso. Saya dan Nico Pelamonia sudah bertekad untuk tidak
menguhah skenario itu sedikit pun. Kalau pemerintahmu bikin
cerita Wasdri lain, silakan saja. Toh Deppen punya Perusahaan
Film Negara (PFN).
JUGA tidak banyak bicara - di tengah keriuhan debat para
seniman - adalah Nico Pelamonia, sang sutradara. "Cerita itu
sendiri amat menyentuh hati saya," kata Nico putera Pieter
Pelamonia. Lahir di Arnbon tanggal 16 Maret 1941, Nic kemudian
dikenal sebagai aktor - lewat pendidikan di ATNI - dan karyawan
TV untuk kemuadian jadi sutradara.
Filmnya yang anat terkenal adala Anjing-Anjing Geladak, sebuah
film yang secara realistis dan keras menggambarkan pergulatan
hidup di kalangan bawah Kota Jakarta. "Saya selalu ingin bikin
film macam Anjing-Anjig Geladak itu, bung," katanya
kepada Salim Said dari TEMPO. Sikap Nico sendiri akibat
larangan Deppen: untuk sementara tetap "menanti saat".
Ada kecurigaan pembikinan film Wadsri hanya berdasar alasan
komersiil.
Nico: Kalau cuma cari uang. Saya dengan cepat buat bikin film
mengenai perempuan yang kerjanya ngangkang. Dan Deppen dalam 3
hari bisa kasih izin. Tapi Wasdri merupakan personifikasi
rakyat kecil yang tertindas.
Tapi benarkah Wasdri pernah dipasung?
Pemasungan Wasdri dalam skenario hanya sebagai simbolisme dari
beberapa orang tak berdosa yang banyak "dipasung" oleh
masyarakat.
Yang juga terus menanti saat memulai pekerjaan adalah Suryadi,
produser pelaksana PT Bola Dunia Film yang akan memproduksi
Wasdri. Mengaku telah mengeluarkan 7 juta rupiah untuk
persiapan, Suryadi yang kelahiran Cepu 26 Januari 1943 itu
cuma bisa menyayangkan Pemerintah. "Film ini sebenarnya tidak
cuma komersiil, tapi juga mengungkap problem sosial yang hidup
di tengah-tengah kita. Masak kita terus cuma boleh bikin film
cinta-cintaan remaja dan kekerasan," Suryadi menjelaskan kepada
Eddy Herwanto dari TEMPO.
Tapi bagaimana kalau Deppen tetap menolak? "Yah, kita bisa apa?
Nrimo sajalah. Dan kita mulai dengan film lain."
Lain Suryadi, yang mewakili pemilik modal, lain pula para
seniman yang berjihad. Tidak puas berdiskusi dengan Sumadi, para
seniman mendatangi DPR pekan silam. Di sana mereka diterima Adam
Malik. W.S Rendra secara berapiapi membacakan petisi
rekan-rekannya. Sudah itu mengungkapkan kegiatan kawan-kawannya
yang telah menghubungi berbagai kalangan.
Dengan tangkas dan dingin Adam Malik memotong: "Kalau berjuang,
jangan semua senjata dikeluarkan. Nanti sekali pukul kan habis."
Adam berjanji membawa soal petisi itu ke komisi yang
bersankutan.
Lantas tanpa dminta, secara spontan datang dukungan dari
Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). "DPP Peradin turut
memprotes penolakan pemberian izin produksi film Wasdri
tersebut." Begitu antara lain pernyataan Peradin yang
ditandatangani oleh Tasrif SH dan Sunarto SH. Kepada TEMPO,
Tasrif menjelaskan: "Kasus Wasdri itu patut difilmkan, sebab ia
pernah merupakan kasus yang mencemarkan kehidupan hukum di
Indonesia."
Anggota Peradin yang telah membaca Rkenario karya Yasso
tersebut, Abdurrahman Saleh SH, yang juga seorang pembela dari
LBH, menjelaskan kepada Eddy Herwanto: "Lucu kalau skenario
seperti itu dilarang. Seolah olah pejabat itu seperti malaikat,
dengan darah seperti air zam-am. Saya malah berpendapat bahwa
kalau penulisnya seorang yang bergerak di pengadilan, pasti
skenarionya lebih mengerikan."
Barangkali lebih mengerikan krona fakta-fakta dl sekitar itu
memang mengerikan". Tapi itu berarti fakta yang umum. Bagaimana
tentang fakta sakitar Wasdri sendiri ? Berlainan dengan
Abdurrahman, Dirjen Radio Film dan TV drs. Sumadi berkeberatan
dengan beberapa adegan yang duniannya tidak tepat dengan
kejadian. Misalnya: Wasdri diberi minum air kencing ibunya. Atau
Wasdri dipasung atas perintah Lurah. Itu tak pernah terjadi.
Lebih dari itu ada adegan seorang polisi menembak anak kecil
(hal. 43 dari skenario), yang kalau tidak salah (syukur alhamdu
lillah) belum pernah terjadi di Indonesia. Untunglah polisi itu
kemudian diceritakan sangat menyesal.
Skenario itu sendiri tak bisa dikatakan bagus. Sebagai cerita
yang berangkat dari fakta yang baru saja terjadi dan menyangkut
orang-orang yang masih hidup, memang tak salah bila orang
menuntut kepersisan fakta, agar tidak kacau. Kecuali bila tidak
menyebut nama asli, seperti misalnya dikatakan harian Kompas.
Tapi yang penting, betul adakah 'pemasangan kreativitas' itu?
Secara konsepsionil mungkin tidak. Rendra, yang tempo hari tidak
boleh mentas di Yogya, toh bisa tampil di TIM atau Istora, dan
sekarang malah di kotanya sendiri. Tak ada konsep apapun: lebih
banyak tergantung selera penjabat dan lebih-lebih para "birokrat
kecil". Sensor skenario hanyalah satu bagian kecil dari dunia
perfilman. Yasso sendiri, untuk kasus Wasdn, pada mulanya hanya
berdiam diri mungkin karena produsernya biasa berkompromi dengan
Deppen kalau saja tidak ada yang mengkili-kili.
Tak bisa diingkari: film memang masih hanya soal media massa,
bukan atau belum soal "seni". Kecuali bila bisa dilahirkan film
yang bebas dari tekanan cukong, produser broker. Sensor
terhadap skenario dan lain-lain dari pihak resmi memang
mengganggu, tapi berjustalah orang film alau cuma di situ
kebebasan sutradara dan skenario dibatasi. Bahkan seperti yang
di waktu lalu dikelola oleh Dewan Produksi Film Nasional, pihak
resmi justru bersedia memberi peluang bagi orang film untuk
kasih unjuk kreativitas mereka kalau ada.
Dan lagi pula, "pemasungan kreativitas" yang kini dihebohkan
para seniman sebenarnya secara relatif tidak sanggup mematikan
tekad kreatif mereka yang mencipta, bila dibandingkan dengan di
zaman demokrasi terpimpin. Atau, bila dibandingkan dengan
sempitnya peluang dan banyaknya kesewenang-wenangan di luar
kesenian dewasa ini.
Misalnya, kesewenang-wenangan di bidang hukum -- yang barangkali
menyebabkan Peradin sampai-sampai ikut bicara dalam soal ini.
Atau di bidang politik, di mana banyak orang masih nampak takut
untuk berbicara yang sebenarnya, biarpun sesuai dengan aturan
permainan.
Tapi kalau para seniman mau ramai-ramai, yah, siapa tahu ada
juga gunanya.....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini