SEJAK Guruh Soekarno Putra menggaungkan tema Nusantara lewat
kaset 'Guruh Gipsy', banyak musisi muda usia berhenti menulis
lagu untuk para pacar. Keenan Nasution (26 tahun) muncul di
Teater Terbuka TIM 25 dan 26 Nopember lalu, melanjutkan
percintaan baru yang memuja tanah air tersebut.
Tetapi patriotisme lewat Keenan lain. Ia tampil dengan musik
keras. Panggung diapit sepasang merah putih ukuran raksasa. Di
latar belakang disemprotkan slide, di antaranya gambar garuda.
Tengah menggebu-gebunya musik, angin berembus kencang
mengibaskan bendera. Sementara waktu lagu terakhir Negeriku
Cintaku dibawakan, di kedua sisi panggung dinyalakan lampu
fosfor yang mencorong sambil mengebulkan asap dahsyat. Ini sudah
teater.
Trio Bebek
Keenan yang pendek dan bersuara tinggi tampil dibantu
Nasution-Nasution yang lain. Ada Odink, Gauri, Debby. Keenan
menyanyi sambil memukul dram dibarengi Fariz dan Eddy yang juga
memukul dram -- sering ketiganya memukul bersama-sama --
sehingga hentakan dram mendominir penampilan.
Ikut menyanyi adalah Trio Bebek, Ana, Ani dan Nana. Juga ada
Chrisye yang maju sambil membawa gitar. Berbeda dengan kesan
yang meruap dari kaset Sabda Alam, malam itu Chrisye tampak
gesit dan beringas. Keenan pun sangat jeli. Meskipun acara tidak
begitu lancar, di samping banyak terlambat, penampilan dikuntit
dengan akrab oleh penonton. Tata lampu, dekor yang berubah-ubah,
slide, banyak membantu nomor-nomor Nasution yang sebenarnya
monotun.
Baik Keenan maupun Chrisye, atau musik Harry Sabar yang
mendahului, semuanya hanya merupakan arus lanjut dari lagu-lagu
Eros Djarot dan Guruh. Gabungan berbagai bunyi instrumen suara
paduan sebagai latar belakang dan kemudian suara tunggal yang
menonjol dengan warna yang polos, tidak dimerdu-merdukan,
rupanya jadi kombinasi paling disukai remaja sekarang. Kelihatan
usaha sungguh-sungguh untuk menampilkan aransemen yang baik,
juga isi lirik. Tiba-tiba saja penampilan itu tidak hanya
berarti sebagai suguhan musik. Para pendukung yang rata-rata
muda usia diapit oleh bendera dengan latar belakang garuda, jadi
menarik karena sempat mengharukan.
Tak ada usaha menjaga ketangkasan suasana penampilan. Padahal
dengan waktu yang lebih ketat dari lagu ke lagu, serta pemilihan
nomor yang sedemikian rupa sehingga tanjakan pertunjukan tidak
sempat kendor, acara bisa lebih mengesankan. Banyak faktor
visuil yang sudah dikerjakan untuk membantu musik jadi kurang
artinya--karena para pemain masih kelihatan amatir dari segi
penampilan, sementara bobot musik dapat diandalkan.
Pada kesempatan pertama misalnya, tatkala lagu Guruh dibawakan,
Keenan menyanyi sementara sejumlah penari pendet bergerak
keluar-masuk panggung. Visualisasi yang dikerjakan Kompyang dkk
ini dibantu pula dengan lampu kedip-kedip. Keenan begitu trampil
memukul dram, juga menguasai suara, tetapi kurang
memperhitungkan bahwa bahan-bahan visuil di sekitarnya membantu
lagu. Agak mengherankan juga.
Keenan sendiri mengaku kepada TEMPO, pertunjukan tersebut
kira-kira mencapai 70% targetnya. Anak muda yang haji dan sangat
santri ini (lihat Laporan Utama) kelihatannya tidak suka banyak
omong. Ditanya apa tidak berminat bikin musik bernafaskan agama,
menjawab: "Bernafas agama buat apa. Buat dijualkan? Nah, gua
nggak mau agama untuk dijual!"
Diuber lagi, apa tak ada minatnya untuk bikin lagu protes
sosial, hanya senyum. "Sekarang kritik-kritik buat apa. Nanti
yang kena lu juga, percuma. Kalau kritik-kritik ditangkap mau
apa lu? Lebih baik santai-santai, musik kita terserah pendengar.
Ngajarin orang sih kita gerah, tapi kalau bisa diserap
masyarakat --wallahualam."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini