Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arianto A. Patunru*
Menurut kamus, istilah austerity berakar pada sebuah kata sifat dari Yunani Kuno: austçrós. Secara harfiah ia mewakili kering, keras, pahit, atau susah—mungkin dalam bahasa Inggris padanannya adalah dry, harsh, bitter, atau severe. Maka kata bendanya, austçrótis, merujuk pada kehidupan yang keras. Dalam bahasa Inggris, ia menjadi austerity. Kata yang paling mendekati dalam bahasa Indonesia adalah "kesederhanaan". Namun ia tidak sekadar "sederhana"; ia sederhana yang keras, dengan nuansa penderitaan. Bahkan ia punya konotasi religius: asketik dalam Kristen atau puasa dalam Islam, keduanya berarti menahan diri.
Pada 2010, kamus Merriam-Webster menobatkan austerity sebagai 'Word of the Year'. Sebuah kejadian di Yunani memicu perdebatan tentang austerity, di parlemen, di kampus, sampai di jalanan. Pada tahun tersebut, parlemen Yunani menyetujui paket reformasi ekonomi yang bertujuan menyehatkan anggaran pemerintah. Hal ini "terpaksa" dilakukan menyusul salah urus fiskal yang akut menahun dan berakibat pada hilangnya kredibilitas Yunani untuk memperoleh pinjaman. Pasalnya, ketika pengeluaran pemerintah sudah jauh meninggalkan penerimaannya, maka defisit yang membengkak harus ditutup dengan utang yang besar. Jika ia terus saja membesar, kemungkinan pailit datang di depan mata. Berikutnya akan jelek: uang menjadi langka, modal lari, investor hengkang. Akan butuh waktu lama bagi negara yang bersangkutan untuk bisa berdiri kembali. Kondisi ini juga menjadi mimpi buruk bagi negara pemberi utang—dalam kasus Yunani, sebagian besar adalah negara-negara tetangga di Eropa. Piutang serta investasi mereka terancam hangus. Dan ini bisa menjalar ke luar Eropa, ke seluruh dunia. Maka, pada 2010 tersebut, Uni Eropa dan IMF menyuntikkan dana US$ 145 miliar (secara nominal hampir empat kali lipat suntikan dana ke Indonesia saat dihantam krisis Asia pada 1997).
Tapi bantuan itu bukan gratis adanya. Yunani diharuskan melakukan perbaikan dalam tatanan ekonomi mereka. Defisit harus dipangkas. Alatnya antara lain pemotongan belanja negara (termasuk beberapa subsidi sosial), peningkatan pajak, serta reformasi pasar tenaga kerja dan tunjangan pensiun. Inilah paket austerity itu. Dan semuanya harus dilakukan dalam waktu singkat. Tentu saja ini adalah syarat yang sangat berat—terutama bagi negara seperti Yunani, yang sudah lama hidup senang, dengan "besar pasak daripada tiang": utang pemerintah pada 2009 mencapai 130 persen dari PDB, dan defisit menyentuh 16 persen dari PDB—padahal ketika membentuk Uni Eropa pada 1991, negara-negara Eropa sepakat tidak akan melewati batas 60 persen PDB untuk utang dan 3 persen PDB untuk defisit (sebagai perbandingan, utang Indonesia saat ini sekitar 25 persen PDB dan defisit anggaran di bawah 2,5 persen PDB). Dan ternyata masalah Yunani bukan hanya utang dan defisit. Mereka juga bergelimang korupsi, penggelapan pajak, serta pemalsuan akuntansi dan statistik. Maka "wajar" permintaan dan syarat dari para dewa penolong dilihat sebagai beban yang luar biasa. Alih-alih berbenah, Yunani justru butuh bantuan tambahan. Pada 2012, suntikan kedua sebesar US$ 170 miliar diberikan. Bisa diduga, syarat austerity-nya juga bertambah. Di pihak lain, rakyat tidak terima dana publik dikurangi serta menentang kenaikan pajak. Austerity menjadi musuh nomor satu. Benar bahwa Yunani kini berhasil menekan defisit anggarannya, tapi kondisi secara umum masih jauh dari menenangkan. Utang malah mencapai 175 persen PDB, tingkat pengangguran 26 persen (rata-rata Eropa 9,8 persen), dan perekonomian masih dalam resesi.
Hari-hari ini nasib Yunani sedang limbung di ujung tanduk. Apakah akan tetap bertahan sebagai anggota Zona Eropa? Ini berarti kembali mendapat bantuan tapi harus menerima berbagai syarat serta tuntutan austerity yang bukan hanya berat, tapi oleh orang Yunani sudah dianggap penghinaan (sebagian dari kita barangkali masih ingat foto petinggi IMF, Camdessus, bersilang tangan menyaksikan Presiden Soeharto menandatangani persetujuan reformasi ekonomi saat menghadapi krisis keuangan Asia). Ataukah Yunani akan keluar? Dalam skenario kedua—yang dikenal dengan 'Grexit' (Greek exit, keluarnya Yunani dari Euro) ini kemungkinan yang ada juga buruk sekali: Yunani akan kembali ke mata uang aslinya, drachma. Tapi, bisa diduga, nilainya akan jeblos dalam sekali mengingat kondisi ekonomi yang rusak parah. Harga-harga akan meroket, angka kemiskinan akan melonjak drastis.
Barangkali terasa ada ironi di sini. Kata austerity berasal dari Yunani. Namun saat ini ia begitu dibenci di Yunani. Ironis? Mungkin juga tidak. Toh, sebuah kata lain yang lebih kita kenal dan justru merupakan antonim dari austerity juga berasal dari Yunani: hedonik. Ia berakar pada hçdon, kenikmatan. Mungkin hidup yang aman ada pada keseimbangan di tengah-tengah: tidak terlalu hedonik, tapi juga tak perlu terlalu pahit, austere. Perlu hati-hati dalam mengelola rumah tangga. Dan kita teringat lagi, akar kata "ekonomi" juga datang dari Yunani: oikos (rumah, rumah tangga) dan nomos (aturan, tata kelola). l
Dosen Australian National University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo