Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo harus menyadari, perintahnya kepada para pembantunya untuk menghentikan penambangan dan ekspor timah ilegal tidak efektif. Sebulan setelah instruksi disampaikan, praktek melanggar hukum dan merugikan negara itu tak sedikit pun berkurang. Pasti ada rantai kendali yang keliru, atau bahkan indikasi pembangkangan, jika instruksi seorang presiden berakhir seperti angin lalu.
Data dari bursa di Malaysia menunjukkan stok timah mereka masih melimpah, jauh melebihi kapasitas produksi tambangnya. Thailand dan Singapura, yang tak sedikit pun menambang pasir timah, juga masih mengolah dan mengekspor komoditas ini sampai puluhan ribu ton. Bisa dipastikan sebagian besar bahan baku yang mereka olah membanjir dari para penambang liar di Bangka Belitung.
Kita bisa saja menyampaikan protes ke negeri-negeri tetangga itu: kenapa mereka menampung pasir timah, yang menurut aturan di Indonesia secara tegas tak boleh diekspor. Tapi tentu saja tak elok semata-mata menyalahkan pihak lain atas bobolnya pagar rumah kita. Apalagi pembobolan itu berlangsung terang-terangan di depan mata mereka yang seharusnya bertugas menjaganya.
Sudah bertahun-tahun ribuan penambang kecil tanpa izin beroperasi di Bangka Belitung dengan sokongan modal para bandar besar dan dibekingi aparat. Banyak di antara mereka bahkan berani menggali pasir timah di hutan lindung dan lahan konservasi. Tak terkira kerugian ekologi yang diakibatkan oleh penambangan tak terkendali itu. Karena tambang ilegal, negara pun tak bisa mengambil manfaat dari mereka dalam bentuk pajak, royalti, atau bea keluar dari timah yang mereka jual ke luar negeri.
Sungguh tak masuk akal bila petugas Bea-Cukai, polisi, atau para anggota TNI Angkatan Laut yang bertugas di sana mengatakan tak mengetahui praktek haram itu berlangsung leluasa. Gubernur Bangka Belitung bahkan menyatakan saat ini setidaknya terdapat 1.640 penambang ilegal di wilayahnya yang memasok timah ke Malaysia. Kapasitas produksi mereka sekitar 950 ton saban hari.
Kita memahami kerepotan Gubernur menghadapi kemungkinan perlawanan para penambang itu jika ia gegabah menutup operasi mereka. Namun selalu bersembunyi di balik kekhawatiran itu dan menjadikannya sebagai alasan untuk tidak melakukan tindakan atau penertiban juga tentu tak bisa diterima. Itu sama artinya dengan mengakui bahwa ia tak layak menduduki jabatannya.
Setelah kunjungan Presiden ke Bangka Belitung pada akhir Juni lalu, TNI Angkatan Laut segera mengirim tiga kapal perang ke sana. Tapi, lagi-lagi, pameran kekuatan itu ibarat macan ompong. Pasalnya, para komandan sampai hari ini belum menerima perintah apa pun selain mondar-mandir, lalu memarkir kapal perangnya. Akibatnya, para penambang liar justru mendapat pesan: pemerintah memang tak berdaya memberantas mereka. Terlebih lagi, belakangan, pemberlakuan syarat clean and clear bagi ekspor timah justru ditunda sampai November mendatang.
Sebagai produsen terbesar kedua, amat menyedihkan melihat kenyataan bahwa Indonesia sama sekali tak memegang kendali atas pasar timah dunia. Niat Presiden membalikkan keadaan ini sudah benar dan wajib didukung. Namun, pertama-tama, Jokowi harus memastikan para pembantunya patuh pada perintahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo