Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Biografi Tiga Penari

Karya terbaru Miroto berangkat dari riwayat para penari. Pendekatan yang memunculkan gerakan yang tak terbayang.

26 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang perempuan muda cantik, bercelana pendek, mengepel lantai panggung: di bagian depan, di antara kotakkotak hitam seperti lemari. Seorang lakilaki setengah baya, memakai semacam kaus oblong, bersila di belakang menghadapi salah satu kotak itu. Imaji penonton tertantang: ada apa gerangan?

Si lelaki (Miroto) melantunkan tembang Jawa: serius, tapi suaranya ringan, tidak semantap syairnya. Tantangan imaji memudar.

Itu adalah tangkapan saya pada ade­gan pembukaan karya tari Miroto, Di Belakang, di auditorium black box Salihara, 16 (dan 17) September 2011. Pertunjukan itu jelas karya tari. Miroto adalah koreografer dari Yogyakarta, dosen Institut Seni Indonesia, yang terkenal sejak pemunculan karyanya, Kembang Sampah, pada 1980an. Empat seniman yang tampil (Aerli Rasinah, Budi Hartono, Sri Qadariatin, dan Miroto sendiri) pun terkenal sebagai penari—walau Sri (Uung) sangat terkenal sebagai aktor (dari Teater Garasi).

Tari, berbasis gerak, dan teater, berbasis drama, telah lama berbaur dalam tari modern: sekitar setengah abad, setelah tumbuhnya gerakan menembus dinding spesialisasi seni modernisme. Keempat pemain Di Belakang ya menari, ya bercerita, atau acting, seperti mengepel, merokok, dan buang air. Semua itu tak linier, tidak ada satu jalan cerita bak ketoprak. Di Belakang memiliki banyak cerita eksplisit, tentang para penarinya sendiri, yang tak berhubungan satu sama lain: Budi, dari keluarga penari topeng Madura, gelisah karena tidak ada yang mau meneruskan tradisinya; Aerli, turunan sembilan generasi penari topeng Indramayu, sewaktu kecil terbakar tubuhnya di panggung sandiwara; dan Miroto, yang bukan dari keluarga seniman, menjadi seniman tari profesional.

Yang digarap Miroto adalah biografi ketiga penari: Aerli, Budi, dan Miroto sendiri. Baginya, biografi merupakan sumber garap menarik, "otentik", dan "unik". Pengalaman yang amat personal, tertanam dalam ingatan (kesadaran) dan tubuh (bawah sadar), diharapkan melahirkan gerak yang mendalam, "jujur". Esensi tari adalah tubuh. Gerak tubuh tidak sama dengan garis dan warna yang digoreskan dalam kanvas. Cat dan kuas tak punya nyawa. Yang bernyawa adalah pelukisnya. Tapi gerak tari dilahirkan oleh energi, napas, dan spirit dari penarinya sendiri, bukan dari koreografer.

Karena itu, Miroto tidak menempatkan diri sebagai koreografer yang mencipta gerak. Ia pemberi arah, perangsang, trigger, agar pengalaman subtil para penari bisa terungkapkan. "Pertunjukan tari selalu bersifat kolaborasi: antara penggagas dan penari, antara penari, penggarap panggung, dan bahkan penonton," ujarnya seusai pertunjukan. "Ketika saya latihan dengan Aerli di Indramayu," katanya, "kami lebih banyak ngobrol, untuk menemukan sejarah personal yang hendak diungkap. Koreografernya adalah penarinya."

Pendekatan itu bukan hal baru dalam tari. Dalam budaya tradisi, yang mengajar menari adalah guru tari. Koreografer, istilah asing yang sering menyesatkan, lebih menjadi wilayah penari ketimbang sutradara. Dalam pertunjukan wayang wong, misalnya, sutradara hanya memilih cerita dan menentukan penari mana memerankan apa. Bercampurnya berucap dan bergerak juga hal biasa. Seorang pemeran (penari) biasa menyampaikan (pocapan) asalusul dirinya. Tari Di Belakang berdasar pada itu.

"Budaya kita tidak memisahkan tari dengan sastra, seni rupa, musik. Tapi di perguruan tari seperti ISI justru masingmasing disiplin seni itu menjadi terkotakkotak," ujar Miroto. Itu memang dilema kita, di negara yang sedangberkembang: antara mengejar dan terseret, antara mencapai dan terjerumus pada atau oleh persepsi "modernisme". Dan itu terjadi di pelbagai bidang.

Dari pendekatan biografi Di Belakang, justru muncul gerakan yang tak terbayang. Misalnya yang merupakan highlight pada pertunjukan itu: Aerli bergerak duduk dengan tubuh kuncup, seperti menderita kesakitan amatsangat atau sedang teraniaya. Idiomnya lebih acting ketimbang dancing. Tapi, karena disertai iringan lagu Topeng Panji, iramanya lebih dancing ketimbang acting. Aerli, penari topeng, cucu almarhumah Rasinah, menampilkan gerakan yang tak biasa ditarikan, tapi menjadi biasa, wajar, alamiah di situ. Ia temukan idiom yang tepat untuk bergerak ekspresifkeras (wadag) yang biasa dalam teater, walau tak biasa dalam tari yang terbungkus bentukbentuk (stylized, pakem).

Kewajaran ekspresi dari seorang penari untuk acting tidaklah mudah ditemukan. Para seniman tradisional, seperti wayang wong dan sandiwara, memang telah terlatih sejak awal belajar dalam melakukan keduanya. Tapi berbeda halnya dengan seniman "akademik" yang lahir dari satu "kotak" disiplin. Ketika Aerli bercerita, misalnya, ketidakbiasaan itu masih tampak sebagai ketidakbiasaan. Ada sesuatu yang tidak pas. Idiom acting tidak ketemu.

Lain halnya dengan Uung, yang menjadi highlight tersendiri, selain penampilan Miroto. Dalam konsep Miroto, ia diperankan sebagai "jembatan" untuk bisa menjalin tarian "biografis" ketiga penari lain. Uung, yang memiliki kemampuan mencolok, baik dalam ­acting maupun menari (mover), justru tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menari (modern) dan acting tanpa kata. Ia mumpuni dalam menari, walau ia tidak berangkat dari belajar menari. Ketika ia memanipulasi pelbagai bentuk wajah, seperti halnya aktor, tekniknya pas antara bentuk dan isi, nyawiji antara raga dan rasa, hingga lahir daya yang menusuk. Acting dan dancing padanya seperti dua sisi mata uang.

Keunikan kehidupan tari di Indonesia membuat Gerard Mosterd (orang Belanda yang berdarah separuh Indonesia) tertarik menjadi dramaturg (organizer) produksi Di Belakang—yang katanya akan juga dipertunjukkan di Belanda. Ia, yang juga seniman tari, bilang tari di Indonesia bukan hanya komposisi gerak untuk mengisi ruang pentas. Tari tumbuh dalam sistem sosial yang khas. Tari tidak berdiri sendiri. Ia "tertanam" pada bumi lingkungan masingmasing bersama tanaman lain. Karena itu, katanya lagi, yang penting bukan hanya produk, tapi juga proses. Cara Miroto bekerja dengan para seniman yang terlibat menarik untuk diamati, penting untuk diketahui. Melalui itu, kita lihat keberagaman metode: mengolah bentuk dan mengolah rasa. Dan itu, sadar atau tidak, adalah refleksi filosofis.

Tapi, apa pun dasarnya, biografi atau fiksi, tari atau teater, bebas ataupun pakem, pada tataran ujungnya mungkin adalah kesatuan, dalam arti ada jalinan yang menciptakan sesuatu menjadi satusuatu. Menonton suatu pertunjukan adalah mengikuti saat dari awal hingga akhir. Dalam seniwaktu, perjalanan itu linier, mengurut, melaju, seperti jalannya jarum jam yang tidak loncatloncat ngacak. Dari sisi ruang, kesatuan dilihat secara horizontal, sinkronis, antara satu wujud dan wujud lain. Dari sisi waktu, kesatuan terbangun vertikal, diakronis, berjalan, yang kebanyakan tertangkap belakangan, ketika momen berlalu. Dengan kata lain, saling hubung antarbagian waktu, harmonis ataupun kontras, tertangkap pada saat pertunjukan usai.

Jika yang tertangkap adalah saatsaat yang mengalir tiada henti, di sana dibutuhkan semacam "penghentian" atau "terminal", yang menciptakan frasa atau bagianbagian dari "kesatuan" perjalanan panjang itu. Penghentian itu oleh Goenawan Mohamad disebut "jeda", yang bisa dianalogikan sebagai ruang kosong dalam seni rupa—atau keheningan dalam musik. Dengan itu, dari pandangan "kesatuan", kediaman dalam tari sama fungsinya dengan kebergerakan.

Bagi penari, bisa bergerak yang luar biasa sama pentingnya dengan bisa diam yang luar biasa. Bagi koreografer, atau sutradara, dituntut kepiawaiannya dalam mengatur kebergerakan dan kediaman dari seluruh "perjalanan panjang" pertunjukan. Kemampuan mengatur seberapa panjang durasi bagiannya dan kapan saat berhentinya, tentu saja, bergantung pada kepekaan kesenimanannya dalam setiap konteks.

Mungkin "estetika jeda" itulah yang masih menjadi persoalan pada karya Di Belakang. Di sanasini ada bagian yang terasa berkepanjangan atau berkependekan, karena jeda yang seolaholah tak duduk pada tempatnya—semacam pembubuhan tanda baca atau pemisahan paragraf dalam tulisan. Bahkan "titik akhir" yang pas itu pun masih mengawangawang, sehingga penonton tidak tahu bahwa sajiannya usai. Adegannya layak sebagai akhiran—ketiga penari bertopeng berdiri mematung, dan lampu memadam perlahan—tapi penempatan titik jeda itu mungkin masih jadi persoalan.

Endo Suanda, etnomusikolog, pemerhati kesenian, tinggal di Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus