Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Blacius Subono dikenal sebagai komposer gamelan untuk konser musik, pengiring tari, dan wayang kulit.
Selain sebagai komposer gamelan, Subono dikenal sebagai pegiat dan pengajar pedalangan.
Subono juga dianggap sebagai komposer gamelan kontemporer.
Satu lagi maestro seni Jawa berpulang. Blacius Subono, komposer musik gamelan sekaligus dalang wayang kulit, tutup usia di Surakarta, kemarin. Kabar wafatnya Bono—demikian Subono disapa—sempat viral di media sosial lantaran bertepatan dengan acara kampanye salah satu pasangan calon presiden dalam Pemilihan Umum 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Subono wafat setelah tampil sebagai tokoh wayang Semar dalam sebuah penampilan seni tari di Plaza Balai Kota Surakarta, kemarin pagi. Setelah tampil dan menyalami salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, Subono terjatuh dan dikabarkan meninggal pada usia 70 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Solo, Subono dikenal sebagai salah satu tokoh kesenian Jawa yang dihormati. Kepergiannya disambut duka oleh sejumlah tokoh seni Jawa di Kota Bengawan. Salah satunya adalah komposer muda Peni Candra Rini. Komposer karawitan peraih penghargaan bergengsi Aga Khan Music Award 2022 itu mengenal Subono sebagai guru.
Maklum, Subono sempat menjadi dosen Peni saat kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Perempuan 40 tahun itu masih mengingat kenangan saat menimba ilmu dari Subono. "Saya pernah terlibat dalam karya-karya beliau ketika masih kuliah S-1," kata Peni ketika dihubungi, kemarin.
Peni juga menyebut Subono sebagai seniman sejati yang menghidupi budaya hingga ujung napas. Terbukti, Subono wafat saat mementaskan tokoh wayang Punakawan, Semar. Menurut Peni, wafatnya Subono dalam peran Semar adalah sebuah jawaban zaman.
"Betapa beliau berkomitmen di jalan hidup sebagai pamomong (pelestari) penjaga ilmu pengetahuan seni budaya dan menunaikan tugasnya di panggung terakhirnya," ujarnya.
Meski dianggap sebagai maestro musik gamelan, Subono justru dikenal sebagai komposer yang progresif. Ia tak mau terkurung dalam pakem musik gamelan yang stagnan dan dianggap kuno oleh kalangan muda. Tak jarang ia memasukkan alat musik modern, seperti saksofon.
Ia juga mengawinkan musik tradisional lain dengan perangkat gamelannya, seperti musik khas Bali atau Sunda. Meskipun warna musik Jawa bernada pentatonik masih dominan dalam setiap karyanya.
Seniman karawitan ISI Surakarta Blacius Subono (kedua dari kiri) saat pentas di Plaza Balai Kota Solo, Jawa Tengah, 10 Februari 2024. TEMPO/SEPTHIA RYANTHIE
Subono bukan orang pertama yang memasukkan unsur musik daerah lain dalam gamelannya. Hal itu juga sering dilakukan Ki Nartosabdo, dalang dan komponis yang tenar pada era 1980. Secara terang-terangan Subono mengaku banyak terinspirasi oleh dalang legendaris itu.
Meski memasukkan beberapa unsur baru dalam musik tradisional yang dimainkan, Subono enggan menyebut dirinya berada di jalur kontemporer. Bagi dia, tidak ada musik tradisi yang orisinal. Semua mengalami perkembangan yang cukup dinamis dan dipengaruhi zaman.
Sastrawan Yanusa Nugroho, salah seorang sahabat Subono, mengenang almarhum sebagai komposer yang serba bisa. Tidak sekadar memainkan gamelan untuk konser musik, Subono andal menggubah musik untuk pengiring pertunjukan tari hingga pentas wayang kulit. "Tidak banyak seniman musik yang bisa di tiga ranah itu," kata Yanusa, yang ikut mendokumentasikan sejumlah pentas Subono di akun YouTube-nya.
Dalam memorinya, Yanusa ingat Subono pernah menggelar konser gamelan dengan judul Dalang Goyang Gendung Gendeng. Konser tersebut dibuat ketika pemerintahan Orde Baru masih berlangsung. Konser yang dibuat Subono itu punya makna menyindir kekuasaan yang seolah-olah tanpa batas.
Sebagai pengiring wayang, pria kelahiran 3 Februari 1954 ini pernah menciptakan gending pakeliran untuk sejumlah dalang kondang, seperti Ki Manteb Sudharsono dan Ki Anom Suroto. Sedangkan untuk seni tari, Subono pernah tampil mengiringi pertunjukan tari untuk Retno Maruti, Sardono W. Kusumo, Elly D. Lutan, dan Sekar Budaya Nusantara.
Yanusa juga ingat Subono aktif di dunia dalang wayang kulit. Bahkan ia menjadi dalang cilik ketika usianya masih 12 tahun. Darah seni itu mengalir deras dari ayahnya yang merupakan dalang wayang kulit.
Bahkan awal mula perjalanan karya seni Subono dimulai dari wayang. Ia juga tercatat sebagai dosen pedalangan di jurusan seni pedalangan ISI Surakarta. Adapun untuk karier dalang, kata Yanusa, Subono lebih aktif memainkan wayang wahyu atau wayang kulit yang menginduk pada kisah Kitab Injil.
"Kepribadian beliau memang luar biasa, merangkul yang muda dan tua, baik seniman tradisi maupun modern," sastrawan 64 tahun itu mengenang.
Dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Soni Sumarsono, sahabat Subono, menyebut Bono sebagai komposer yang sering mendobrak tatanan pada umumnya hingga sering melahirkan karya yang dramatis dan mengejutkan.
Soni mengenang pertemuannya dengan Subono pada awal 1980-an saat berjumpa dalam beberapa program kesenian di Taman Ismail Marzuki, Jakarta; serta Taman Budaya Surakarta atau yang kini dikenal sebagai Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta.
Pertemanan keduanya berlanjut lebih intensif saat bekerja sama menggarap sejumlah program sanggar tari, seperti Padnecwara, Retno Maruti, Matahari, dan Atilah Suryajaya. Soni mengatakan Subono mampu membuat musik gamelan berdasarkan skrip dan arahan dari para koreografer atau sutradara pertunjukan.
"Musik yang diciptakan Pak Bono sering kali sulit nadanya sehingga diperlukan kemampuan menembang yang tinggi untuk bisa melantunkannya," ujar Soni.
Adapun koreografer Elly D. Lutan mengingat Blacius Subono sebagai sosok yang ringan tangan. Elly mengaku belum pernah sekali pun mendapat penolakan dari Subono ketika diajak menggarap sebuah karya. Kerja sama Elly dan Subono terjalin sejak 1996.
Bagi Elly, Subono bukan sekadar rekan kolaborasi, tapi juga sahabat yang gampang berbagi ilmu. "Beliau maestro yang tidak pernah berhenti berbagi," ucapnya.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo