Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Berpikir Saja Seharusnya Cukup

Radhar Panca Dahana konsisten menghadirkan posisi "budayawan" di tengah masyarakat yang ia yakini kurang menghargai kebudayaan.

24 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sastrawan Radhar Panca Dahana dan sejumlah seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM melakukan aksi teatrikal di reruntuhan bongkaran Gedung Graha Bhakti Budaya (GBB), Taman Ismail Marzuki, Jakarta 14 Februari 2020. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Radhar Panca Dahana menjadikan teater sebagai paradigma untuk membedah gejala sosial-politik di Indonesia, sekaligus sebagai tawaran filosofis.

  • Radhar selalu menggugat ekosistem kebudayaan Indonesia yang baginya sama sekali tak punya keberpihakan pada kegiatan berpikir dan kecendekiaan, dan hanya berpihak pada infrastruktur fisik, ekonomi-bisnis, serta investasi. 

  • Bagi Radhar, dalam kata “budayawan” ada unsur luhung penyair-filosof yang terjalin erat dengan unsur aktivisme.

RADHAR Panca Dahana adalah lelaki berperawakan kecil yang mampu mengisi penuh ruangan besar. Tatapan matanya tajam. Suaranya bulat dan lantang. Artikulasi jelas, setiap huruf dan kata selalu jernih terdengar, kecuali dalam beberapa videonya setahun terakhir, ketika penyakitnya tampak lebih mendera daripada biasanya. Kalimat-kalimatnya runut, diksinya sering canggih, diucapkan dengan intonasi terjaga—bisa dengan tekanan dramatis di sana-sini—bahkan saat ngobrol soal kopi atau komik sembari ndeprok di lantai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sifat performatif Radhar ini tentu terbentuk dalam pengalamannya mengolah tubuh di dunia teater. Ia telah aktif dalam dunia teater sejak remaja. Mitos pun berkembang di kalangan kampus tempat kuliahnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia bahwa sewaktu usia sekolah menengah pertama saja Radhar sudah mengajar teater bagi mahasiswa. Ini cerita yang terkait dengan gambaran Radhar yang selalu memulai dini, bagi sebagian kawannya. Tanda bahwa Radhar seorang “jenius”: sudah menulis di harian Kompas pada usia 10 tahun (pada 1975), jadi reporter olahraga di Kompas serta redaktur tamu di majalah anak Kawanku pada usia SMP, bergabung dengan Bengkel Teater Rendra pada saat sekolah menengah atas, dan jadi anggota redaksi majalah Jakarta-Jakarta ketika kuliah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya mendengar pula cerita banyak orang tentang keberanian Radhar, yang usianya “anak bawang”, melawan Rendra. Keluar dari Bengkel Teater, Radhar mendirikan Teater Kosong pada 1985. Akar teater ini adalah komunitas seni di Bulungan. Pada 1980-an, Bulungan memang menjadi salah satu ekosistem mini kesenian Jakarta alternatif Taman Ismail Marzuki. 

Dalam naskah-naskah teater Radhar untuk Teater Kosong, tampak dua watak kreatifnya: filosofis dan kritis. Kedua hal itu mewujud pada dialog yang sarat abstraksi filosofis, penciptaan adegan-adegan sureal sekaligus konseptual, ataupun permainan bentuk dalam pemanggungan. 

Saya terkesan saat melihat pemanggungan cerita-cerita pendeknya dalam buku Masa Depan Kesunyian (Bigraf Publishing, 1997) di Taman Ismail Marzuki. Pembacaan cerpen epik (dan abstrak) “Masa Depan Kesunyian” ditingkahi musik etno-progressive rock. Jika ada yang merekam musiknya secara layak, bisa saja soundtrack pertunjukan itu menjadi salah satu tonggak dalam sejarah musik prog rock Indonesia (setelah album Guruh Gipsy dan Kantata Takwa). 

Pertunjukan tersebut menegaskan watak filosofis karya teater Radhar, yang membawanya pada kegandrungan terhadap permainan bentuk. Sedangkan watak kritis Radhar tampak dalam unsur kritik politik dan sosial yang cukup tersebar dalam puisi, cerpen, serta naskah teaternya. Unsur kritik itu kadang terasa cukup pamfletis—verbal, gamblang, diniatkan untuk “menonjok” dengan keras. Mungkin segi ini akan menerbitkan dugaan: itulah pengaruh Rendra dalam kekaryaan Radhar. 

Bagi Radhar, teater bukan hanya arena pemanggungan di ruang pertunjukan. Ia menjadikan teater sebagai paradigma untuk membedah gejala sosial-politik di Indonesia sekaligus tawaran filosofis. Hal ini tampak dalam esai-esainya yang terkumpul di buku Homo Theatricus (Indonesia Tera, 2001). Paradigma teater sebagai pisau analisis memahami budaya, politik, dan masyarakat Indonesia bisa dirunut pada kajian antropologis Clifford Geertz, Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (1980). Bedanya, Radhar menggunakan paradigma teater dalam racikan sebagai “orang teater”, filsuf dekonstruksi, dan kejelian seorang jurnalis cum penyair yang kenyang pengalaman di jalanan. 

“Dekonstruksi” adalah kata kunci lain untuk memahami pemikiran-pemikiran Radhar. Dekonstruksi menyikapi dunia sebagai medan persilangan teks, atau bahkan sebagai teks itu sendiri. Teater bagi Radhar adalah teks, sekaligus alat membaca dunia. 

Kata kunci dalam posmodernisme ini punya bobot keintiman pribadi bagi Radhar. Ia kuliah S-2 sosiologi di École des Hautes Études en Sciences Sociales di Paris, Prancis, pada 2001. Di sana, ia berjumpa sekilas dengan Jacques Derrida, “bapak” dekonstruksi. Hal ini tampak dalam obituari Derrida yang ditulis Radhar (salah satu esai terbaik Radhar) untuk majalah Tempo pada 2004. Juga dalam buku hasil studinya di Paris yang tak sampai lulus, Jejak Posmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia (Bentang Pustaka, 2004), yang menelaah tren posmodernisme pada para cendekiawan Indonesia. 

Radhar sendiri, sebetulnya, seorang aktor dalam tren itu lewat banyak tulisan terserak di media massa yang mengenalkan karya-karya “sastra hibrida” dalam sastra persemakmuran pada 1980-an dan 1990-an, seperti novel Michael Ondaatje, Ben Okri, atau Salman Rushdie. 

Pilihan Radhar untuk intens berkomunikasi dengan publik luas lewat media, termasuk untuk mengudar pikiran-pikiran abstraknya, sesungguhnya bagian dari kepercayaannya akan fungsi “budayawan”. Bagi dia, dalam kata “budayawan” ada unsur luhung penyair-filsuf yang terjalin erat dengan unsur aktivisme. Menulis di media adalah bagian dari aktivisme seorang budayawan. 

Beberapa kali Radhar ngomel saat ngobrol, “Seharusnya, Mat, berpikir saja cukup. Pemikir itu tugasnya berpikir, itu saja.” Radhar selalu menggugat ekosistem kebudayaan Indonesia yang baginya sama sekali tak punya pemihakan pada kegiatan berpikir serta kecendekiaan, dan hanya berpihak pada infrastruktur fisik, ekonomi-bisnis, serta investasi. 

Aktivisme tekstual, dan tekstualisme aktivitas, adalah hal yang menonjol dari Radhar. Dua segi yang kadang menjebaknya menjadi seseorang yang seakan-akan terasing, sukar dipahami, dan berseteru dengan banyak pihak. Radhar bisa keras sekali terhadap para “petinggi” politik atau nonpolitik yang ia anggap tak paham akan makna kebudayaan bagi Indonesia. Pada saat yang sama, ia bisa hangat dan penuh semangat kepada beragam lapis masyarakat. Ia antusias menakhodai Federasi Teater, memimpin PEN Indonesia (asosiasi penulis internasional), mengunjungi komunitas di Lombok, Palu, Bandung, dan kota-kota yang masih memiliki fasilitas cuci darah, juga rutin mengajar di kelas-kelas budaya Islam komunitas Paramadina.

“Angkatan gue ini, Mat, dan angkatan kamu, belum bisa menghasilkan orang besar, sastrawan besar. Kita masih terlalu banyak dipenuhi kemarahan,” kata Radhar dalam masa intens persiapan Mufakat Budaya I pada 2009. “Kita masih dipenuhi amarah pada rezim Soeharto, pada trauma sejarah, pada banyak hal. Dua angkatan setelah kita, lah, Mat, baru bisa muncul orang besar itu. Mereka adalah generasi yang telah terbebas dari amarah.” 

Optimisme ini bagi saya sering kali juga menjadi sebuah paradoks seorang Radhar. Dia menjunjung sebuah tolok ukur kebudayaan yang bagi saya masih terasa elitis, tapi pada saat yang sama ia punya optimisme besar pada masa depan dan rakyat Indonesia. Gerakan Mufakat Budaya yang digulirkan Radhar dan kawan-kawannya saya lihat masih elitis karena percaya benar bahwa strategi kebudayaan bagi Indonesia hanya bisa dirumuskan oleh para begawan kebudayaan di Indonesia (tampak dari komposisi juru bicara Mufakat Budaya yang beberapa kali bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana). 

Paradoks itu bisa jadi sebuah dialektika bagi saya, yang percaya pada kapasitas akar rumput di jalanan, kampung, dan komunitas dalam merumuskan strategi kebudayaan bagi bangsa kita. Lagi pula, saya percaya, Radhar adalah sebuah teks kebudayaan yang unik, dan penting, dan sebuah teks yang baik biasanya memang multitafsir. 

Yang tak kalah penting, Radhar adalah sebuah teks kebudayaan yang hidup. Ya, hidup, karena ia selalu menjadi lakon tentang daya hidup yang total. Fungsi kerja ginjalnya didiagnosis tinggal 15 persen pada 2001. Ia harus menjalani cuci darah seminggu dua kali sejak itu hingga wafatnya pada 22 April 2021, pukul 20.00 WIB, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Selama 20 tahun mendada maut dua kali seminggu, dan selama itu, dia malah makin aktif menulis dan beraktivitas, menuliskan—kadang dengan rasa sakit—teks-teks kebudayaan Indonesia baru yang masih ia cita-citakan dengan gigih. 

Selamat jalan, Radhar. Sebagai teks, kau selalu hidup buat saya.

HIKMAT DARMAWAN (KRITIKUS FILM, KURATOR, ANGGOTA DEWAN KESENIAN JAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus