Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Parakitri T. Simbolon, sosiolog dan wartawan senior Kompas, meninggal pada Ahad, 24 Maret 2024, pada usia 76 tahun.
Meninggalkan setumpuk karya, termasuk buku Menjadi Indonesia (1995) dan Kusni Kasdut (1979).
Parakitri T. Simbolon sedang menulis buku tentang artificial intelligence yang ia garap selama enam tahun terakhir.
KESYAHDUAN menyelimuti ruang Gabriel D, Rumah Duka Carolus, Salemba, Jakarta Pusat, pada Senin siang, 25 Maret 2024. Di sana terbaring Parakitri T. Simbolon. Pria 76 tahun itu punya predikat jamak, dari sosiolog, wartawan Kompas, novelis, esais, hingga penulis skenario film.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bapak meninggal dengan sempurna sesuai dengan permintaannya, di rumah, di kamarnya,” kata Gorga Simbolon, anak bungsu Parakitri, di rumah duka. Pada Ahad petang, Parakitri baru tiba di rumah setelah dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, pasca-operasi kanker usus besar alias kolon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyakit itu baru disadari Parakitri dan keluarga saat kesehatannya memburuk pada Februari lalu. “Saat itu kankernya sudah stadium lanjut,” kata Gorga. Tim medis mengangkat kanker itu lewat operasi pada 10 Maret lalu. Parakitri dirawat di rumah sakit selama dua pekan, lalu pulang dan meninggal dalam hitungan jam setelah berada di rumah.
Parakitri T. Simbolon disemayamkan di Ruang Gabriel D, lantai 6 Rumah Duka Carolus, Salemba, Jakarta Pusat, 25 Maret 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti
Pria kelahiran Samosir, Tapanuli Utara, itu gila belajar. Selepas SMA di Pematang Siantar, dia merantau ke Yogyakarta pada 1967 untuk belajar ilmu hubungan internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada (UGM). Begitu lulus, dia masuk Departemen Luar Negeri dan melanjutkan pendidikan di Institut International d'Administration Publique, Paris.
Pada 1976, Parakitri banting setir menjadi wartawan Kompas—pekerjaan yang ia lakoni hingga pensiun. Pengalaman belajar membuatnya menguasai bahasa Belanda dan Prancis.
Dengan segudang latar belakang, Parakitri lebih dikenal publik sebagai penulis. Bukunya yang monumental adalah Menjadi Indonesia (1995). Kitab setebal 846 halaman itu menjabarkan sejarah pembentukan bangsa Indonesia sejak awal sejarah Nusantara. Bukunya yang lain adalah Kusni Kasdut, yang mengisahkan perjalanan Kusni Kasdut, penjahat legendaris yang keluar-masuk penjara sejak masa penjajahan Jepang. Buku ini pertama kali diterbitkan pada 1979 dan masih dicetak ulang sampai 2020.
Gorga mengatakan Menjadi Indonesia merupakan karya yang bolak-balik menjadi obrolan antara dia dan sang ayah. Menurut dia, Parakitri menaruh perhatian besar pada isu-isu kebangsaan, kemanusiaan, dan dampak kerja politik bagi masyarakat.
“Bisa dibilang Menjadi Indonesia ‘buku maestro’-nya Mas Parakitri,” ujar Candra Gautama, editor senior Kepustakaan Populer Gramedia, penerbit buku tersebut. Menurut dia, keunggulan Parakitri dalam menulis adalah selalu menekankan dunia kebatinan dalam setiap tokoh yang ia ceritakan. “Sehingga tulisan-tulisannya hidup. Tidak hanya mengambil dari sisi terluar,” kata Candra.
Candra mengenal Parakitri sejak ia bekerja di perusahaan penerbitan itu, yang mulai beroperasi pada 1996. Dia menganggap Parakitri, salah satu pendiri perusahaan tersebut, sebagai mentornya. Ada satu ilmu yang menjadi pegangannya. “Bagi dia, haram hukumnya menulis sesuatu yang kami sendiri tidak tahu atau informasinya masih kabur,” ujarnya.
Candra terakhir kali berkomunikasi dengan Parakitri pada Januari lalu via telepon. Selama sekitar satu jam, mereka asyik membahas buku yang ditulis Parakitri sejak enam tahun lalu. Temanya pertarungan antara artificial intelligence (AI) dan kemanusiaan. “Saya diminta mencari orang sebagai partner untuk melanjutkan proyek buku itu, tapi belum dapat,” katanya.
Halim H.D. punya bentangan memori yang lebih panjang tentang Parakitri. Budayawan dengan nama asli Liem Goan Lay itu merupakan junior Parakitri di UGM. “Pada masa kuliah, dia idola saya karena merupakan pembicara dan penulis yang baik,” katanya.
Meski berbeda fakultas—Halim mahasiswa sastra, sementara Parakitri FISIP—mereka kerap bertemu dalam sesi diskusi antar-fakultas. Beberapa pesertanya adalah Bakdi Soemanto, Anhar Gonggong, dan Ashadi Siregar. Bakdi (almarhum) kemudian menjadi guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM, sementara Anhar sejarawan, dan Ashadi populer dengan novel Cintaku di Kampus Biru.
Pada periode itu juga Parakitri menjadi pemimpin redaksi mingguan Sendi Yogyakarta yang isinya banyak mengkritik pemerintahan Presiden Soeharto. “Sayang, umurnya pendek sekali karena diberedel rezim Orde Baru,” kata Halim.
Sebelum rekannya menerbitkan Cintaku di Kampus Biru pada 1974, Parakitri melansir novel berjudul Ibu. Di antara banyaknya karya sahabatnya itu, Halim H.D. paling terkesan oleh novel Kusni Kasdut.
Halim muda kerap mendengar kisah perampokan Kusni Kasdut dari zaman kolonial Belanda hingga 1970-an. Saking seringnya nama itu disebut, dia sempat dianggap legenda urban. Halim baru ngeh bahwa Kusni Kasdut merupakan tokoh nyata lewat buku Parakitri.
Kisah kriminal Kusni Kasdut yang melegenda adalah perampokan 11 butir berlian di Museum Nasional—lebih dikenal sebagai Museum Gajah—pada 1963. Dia tertangkap pada tahun berikutnya. Sembari menunggu eksekusi hukuman mati, Kusni Kasdut berulang kali kabur dari penjara, meski akhirnya tertangkap lagi untuk terakhir kalinya pada 1979. Perjalanan Kusni Kasdut berakhir di tangan regu tembak pada 16 Februari 1980. “Kisah itu diramu dengan apik oleh Parakitri karena kepiawaiannya dalam berbahasa,” ujar Halim.
Bromocorah Kusni Kasdut saat diwawancarai wartawan Tempo Dahlan Iskan dan disaksikan sipir di Lembaga Pemasyarakatan Kalisosok, Surabaya, 1980. TEMPO/Slamet Djabarudi
Meski diterbitkan dalam bentuk novel, desain awal buku Kusni Kasdut berupa biografi. Candra Gautama mengatakan perubahan jenis itu sebagai bentuk kehati-hatian penulis. Sebab, isi buku tersebut diolah dari serangkaian wawancara Parakitri saat menjadi wartawan Kompas dengan Kusni. Namun narasumbernya itu kerap menyelipkan kibulan.
Penulis kritis itu telah berpulang. Kepada keluarga, Parakitri berpesan agar jenazahnya dikremasikan. Gorga ingat betul satu pesan terakhir ayahnya. “Agar anak-anaknya hidup dengan menerima segala tiba, termasuk kematian,” kata Gorga. Pesan itu dikutip Parakitri dari puisi Chairil Anwar, Nisan (1942).
Untuk Neneknda,
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi atas debu
dan duka Maha Tuan bertakhta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo