LUDWIG van Beethoven bukan Pak Zahid, tukang cerita Betawi yang gemar bertutur tentang persinggungan dunia jin dan manusia. Tapi, ia sama jenakanya ketika berkisah—lewat nada tentu saja—tentang pertemuan dunia dewa dan manusia.
Dengarlah satu karyanya, Creatures of Prometheus Op. 43, yang dua pekan lalu disajikan Orkes Kamar Jakarta melalui pergelaran mereka bertajuk All Beethoven Program.
Sama seperti Zahid, Beethoven punya rasa humor juga—kendati humornya sering kedengaran getir. Lihatlah tatkala ia, lewat nomor itu, menggambarkan manusia primitif yang diterjunkan ke kegelapan bumi tanpa peradaban.
Di Gedung Kesenian Jakarta malam itu, kita mendengar garis melodi patah-patah, melodi sederhana yang benar-benar irit nada. Melodi itu seolah mengajak kita menyaksikan makhluk-makhluk berkeliaran tanpa arah, ketika sekonyong-konyong mereka dicemplungkan ke dalam kehidupan. Bingung, melongo, dan celingukan.
Beethoven tak menggunakan bahasa musikal yang muram. Sebaliknya, ia memakai ungkapan riang bernada mayor yang diletakkan di antara akor-akor triad (tiga nada utama). Mungkin mengejek, mungkin juga menertawakan kemanusiaan Beethoven sendiri.
Atau, dia sedang merayakan kemenang an? Prometheus berkisah tentang pemberontakan manusia terhadap hegemoni para dewa—pemberontakan yang dimenangi manusia. Beethoven, yang hampir sepanjang hidupnya sendiri berjuang melawan ketulian dan kesepian, menggelar tema yang menggemuruh di situ: tentang penciptaan manusia dan tentang keberpihakannya pada humanisme.
Prometheus, seperti dikisahkan dalam mitologi Yunani, adalah pahlawan manusia, musuh para dewa. Ia berhasil mencuri api—simbol rasio dan perasaan—dari tangan para dewa yang ilahiah tapi masih berwatak manusia: kikir, suka berselingkuh, pencemburu, dan bisa dikelabui.
Patuh pada partitur Beethoven yang selesai digubah pada 1801, Orkes Kamar Jakarta mengalunkan melodi-melodi paling indah kala melukiskan Prometheus, sang hero. Dinamika, keras-lunaknya nada, memainkan peran dominan tapi bukan untuk menggambarkan kejutan, melainkan menggarisbawahi kepahlawanan. Segenap instrumen ditabuh gegap-gempita, semua dikerahkan untuk menyambut keberhasilan misi Prometheus.
Namun, musik lantas berubah sendu (adagio) ketika Zeus, maharaja para dewa, mengirim seekor burung buas untuk membunuh Prometheus. Bagaimanapun, Prometheus Op. 43 kemudian berakhir dengan sebuah finale yang meneguhkan jantung tema: perayaan kemenangan manusia atas para dewa.
Dan harus diakui, membawakan Prometheus malam itu, Orkes Kamar Jakarta yang dipimpin konduktor Avip Priatna tampak seperti keberatan beban.
Prometheus, yang pertama kali dipentaskan di Wina, bukanlah karya berdaya getar paling hebat sebenarnya. Tidak sehebat Simfoni Nomor 5, misalnya, yang sarat dengan gumpalan emosi spektakuler, yang sejak di pembukaan Beethoven sudah menyusupkan empat buah nada beruntun untuk dimainkan dengan gaya orang menggebrak meja. Tapi Prometheus sendiri jelas menegaskan citra revolusioner Beethoven.
Pengagum berat Revolusi Prancis, Beethoven (1770_1827) memang boleh dibilang revolusioner sejati. Ia sendiri memberontak terhadap kemegahan Zaman Klasik warisan komponis angkatan Wolfgang Amadeus Mozart. Dari tubuhnya yang pendek-kecil, giginya yang tidak teratur, dan gaya hidupnya yang bohemian, ia menggebrak kemapanan.
Wajah geniusnya menjadi ikon anak-anak muda, yang memajangnya pada kaus oblong atau di dinding kamar, kadang bersebelahan dengan gambar Che Guevara—revolusioner lain dari dunia sosialis. Tapi Beethoven tak hanya bertahan dalam fotografi, seni lukis, dan kaus oblong. Ia layak dikenang sebagai artis-hero yang tetap berpegang pada idealisasi manusia, sebagaimana terkandung dalam Creatures of Prometheus.
Akan halnya tentang manusia sendiri, kemenangannya atas hegemoni para dewa kelak terbukti tak membawa banyak perbaikan bagi kemanusiaan itu sendiri.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini