Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Malam Tiada Akhir di Nunukan

Kota kecil itu dipenuhi ribuan orang yang hilang harapan, bingung, lapar, sakit, gila, dan mati.

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia duduk telanjang di tengah ranjang. Badannya penuh tahi, juga kasur tempatnya tidur. Syahrul, bayi berumur setahun itu, terserang diare. Sudah hampir sejam ia berkubang dengan tinjanya sendiri tanpa ada seorang pun membersihkan atau menyentuhnya—tidak para suster di Puskesmas Nunukan tempatnya dirawat, tidak pula ayah atau ibunya. Ayah Syahrul sudah berangkat lagi ke Sabah untuk memburuh di kebun sawit setelah surat-suratnya lengkap, Kamis pagi pekan lalu. Ibunya sedang ke kantor imigrasi, berfoto untuk kelengkapan paspor. Para dokter dan perawat? Mereka sibuk mengurus ratusan, bahkan ribuan, pasien lain yang juga bergeletakan tak terurus di seputar Nunukan. Penderitaan bayi Syahrul barangkali hanya satu catatan kecil dari cerita besar tentang tragedi buruh Indonesia yang terusir dari Malaysia. Sejak pemerintahan Mahathir Mohamad mengancam buruh asing ilegal dengan hukuman cambuk dan penjara, ratusan ribu pekerja asal Indonesia berhamburan keluar dari Malaysia. Sebagian dari mereka, terutama yang memburuh di kebun-kebun sawit di Negara Bagian Sabah, menyerbu Nunukan—kota pertama di dekat perbatasan Kalimantan-Malaysia. Kampung di tepi pantai itu tiba-tiba menjadi terminal transit raksasa. Sekitar 50 ribu pendatang tumplek-blek di kota kecil ini. Separuh di antaranya hanya singgah sementara untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke kampung halaman di pojok-pojok Jawa, Flores, atau Sulawesi. Separuh lagi bertahan di Nunukan, mengurus paspor, izin imigrasi, dan surat-surat lain, sambil berharap bisa kembali ke Malaysia. Sebagai kota kecil dengan penduduk 32 ribu jiwa, Nunukan kaget menerima banjir pendatang ini. Penginapan, makanan, air, sanitasi, fasilitas kesehatan, tenaga medis, semua serba terbatas. Enam dokter umum yang bertugas kini harus menangani ribuan pasien yang berjejalan di 10 pos kesehatan dan satu pusat kesehatan masyarakat. Pos kesehatan Palang Merah Indonesia (PMI) di pelabuhan lama, misalnya, setiap hari dikunjungi tak kurang dari 200 pasien. Pos darurat yang disulap dari ruang garasi itu hanya ditangani seorang dokter dan seorang perawat. Di salah satu sudut, seorang nenek 70 tahunan tampak menggeletak di atas selembar tikar plastik di atas lantai. Badannya tipis. Bekas infus tampak di dua pergelangan tangannya. Nenek yang tak jelas asal-usulnya ini tak bisa bicara. Ia hanya menunjuk ke tenggorokannya jika ditanya. Sepiring ransum—nasi dengan ikan teri dan terong rebus—yang tergeletak di sampingnya sama sekali tak disentuhnya. Menurut seorang buruh yang ikut lari dari Malaysia, sang nenek sampai ke Nunukan dalam keadaan sakit, berbekal tas berisi pakaian, segepok ringgit, dan secarik kertas bertuliskan alamat serta nomor telepon keluarganya. Tapi celaka, tas berisi mukjizat itu hilang. Tak seorang pun mengetahui nama ataupun asalnya. ”Dia diantar seseorang tengah malam,” kata Fernanta, dokter yang bertugas di pos PMI. Puskesmas Nunukan, satu-satunya tempat pelayanan kesehatan permanen yang ada di kota itu, juga kewalahan menampung pasien. Tempat rawat inap yang cuma berkapasitas 10 orang kini dijejali 25 pasien. Untuk itu, ruang kantor puskesmas terpaksa diubah menjadi ruang perawatan. Syahrul yang kena diare itu masih beruntung mendapat kamar. Dua orang pasien dengan jarum infus di pergelangan tangan terpaksa menggeletak di koridor. Belasan pasien lain tampak tergolek di matras yang dihamparkan begitu saja di atas lantai. Dengan segala keterbatasan itu, tak aneh jika korban meningkat cepat. Selama Agustus ini saja 35 orang meninggal, menambah jumlah korban tewas eksodus Malaysia di Nunukan berlipat menjadi 68 orang. ”Sebagian besar mereka meninggal karena lapar, sakit pernapasan, malaria, dan diare,” kata Anthony, seorang dokter di Puskesmas Nunukan. Cerita malang Nunukan sesungguhnya tampak begitu kita memasuki gerbang kota di Pelabuhan Tanon Taka. Ribuan orang tampak tersebar, tergeletak di mana-mana: di emperan rumah, jalan-jalan, barak, dan di tenda-tenda. Pelabuhan Nunukan mirip seperti bandar besar penampung pengungsi. Tempat penampungan sebuah perusahaan pengerah tenaga kerja milik Haji Ramli di pelabuhan lama, misalnya, dijejali 2.000 orang. Mereka tidur berdesak-desakan di bawah tenda seluas dua kali lapangan bulu tangkis. Pada jam-jam makan, mereka berjejal di depan dapur umum di bagian belakang rumah Ramli untuk mendapatkan sepiring nasi dengan beberapa keping ikan teri dan terong rebus tanpa bumbu. ”Sudah tak tahan makan begini, tapi tak punya uang untuk beli lauk,” kata Ny. Munasyah, yang harus membagi makanan sepiring itu dengan dua orang anaknya. Pemandangan di tenda Haji Ramli serupa dengan keadaan di tempat lain. Di Nunukan ada sekitar 20 tenda darurat yang didirikan perusahaan pemasok tenaga kerja. Para makelar tenaga kerja ini mau menampung para buruh ilegal dengan harapan bisa mengirimkan kembali ”komoditi”-nya ke Malaysia jika surat-suratnya lengkap nanti. Di luar itu, ada juga ribuan TKI ilegal lain yang tidak diongkosi perusahaan pengerah tenaga kerja. Mereka terpaksa hidup menumpang di rumah penduduk dengan sewa Rp 1.000 sampai Rp 5.000 rupiah semalam. Setiap rumah rata-rata dijejali hingga seratus orang, meluber hingga ke dekat pagar halaman. Rata-rata mereka bertahan hidup dalam keadaan kapiran. Ongkos hidup di Nunukan begitu mahal. Biaya makan dan minum melonjak dua kali lipat. Nasi berlauk menjadi Rp 15 ribu dan segelas teh tawar Rp 4.000. Sekali mandi atau membuang hajat harus bayar Rp 1.000. Itu masih belum termasuk biaya beli air yang Rp 500 per ember. ”Kami harus pandai-pandai berhemat. Kalau tidak perlu betul, jangan menyentuh air,” kata Ny. Sumanti. Meskipun demikian, banyak yang nekat ingin kembali ke tanah harapan, Malaysia, meskipun untuk itu mereka harus mengeluarkan banyak biaya. Untuk mengurus paspor saja, mesti keluar Rp 115 ribu. Menurut Kasmir Foret, Ketua Satgas Penanganan Masalah TKI di Nunukan, sekitar 25 ribu orang sudah bisa kembali ke Malaysia setelah mengantongi paspor dan surat kontrak kerja dari majikan di negeri jiran. Mereka harus berpisah dengan anak-anak karena aturan baru Undang-Undang Imigrasi Malaysia melarang para buruh berangkat bersama keluarganya. Tak jelas bagaimana nasib Syahrul jika ibunya berhasil memperoleh paspor. Di tengah situasi perih seperti itu, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, yang ikut rombongan Wakil Presiden Hamzah Haz, menyempatkan diri menjamu pejabat setempat dan pemilik perusahaan tenaga kerja makan malam di Hotel Laura, Rabu pekan lalu. Di hotel mewah itu, makanan benar-benar melimpah: berpiring-piring sambal daging, ikan kakap bakar, hati sapi, sup. Tapi, karena yang hadir cuma 40 orang, seorang pegawai Departemen Sosial sampai harus mendatangi para wartawan, membujuk mereka agar ikut bersantap. Seusai pesta, sisa makanan tetap menggunung, seperti mencemooh ribuan buruh yang malam itu berangkat tidur dengan perut kosong. Tak jauh dari gerbang hotel, seorang wanita muda berkaus oblong hitam mondar-mandir di dekat alun-alun kota. Gerimis yang sepanjang sore mengguyur Nunukan tak dipedulikannya. Rambutnya basah kuyup, badannya seperti menyatu dengan hujan yang kian deras. Sudah hampir sebulan perempuan ini menjadi tontonan. ”Ia hilang ingatan sejak pulang dari Malaysia,” kata seorang warga. Tomi Lebang (Nunukan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus