Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pasung dari Senayan

Larangan dan ancaman memenuhi Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Kebebasan pers kembali diberangus?

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ATMAKUSUMAH Astraatmadja berang bukan kepalang. ”Ini rancangan undang-undang paranoid,” katanya. Kekecewaan tokoh Dewan Pers ini bersumber di Senayan. Pekan lalu, para wakil rakyat dan pemerintah baru saja merampungkan naskah final Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Dalam draf yang terdiri dari 63 pasal tersebut, nyata nian media televisi dan radio lagi dipasangi tali kekang ekstraketat berupa sederet pembatasan, larangan, bahkan ancaman penjara. Tengok misalnya Pasal 53, yang menyebutkan akan dibentuk penyidik khusus bidang siaran dengan kewenangan mahaluas: dari memanggil awak berita, memeriksa perlengkapan siaran, menyetop siaran, hingga menyeret orang ke meja hijau. ”Kita sedang kembali ke zaman penjajahan Jepang,” ujar Atmakusumah kian marah. Tak cuma Atma yang tekanan darahnya naik drastis akhir-akhir ini. Berbagai kecaman serupa juga terlontar dari berbagai kalangan. Selama penggodokannya dua tahun ini, pelbagai organisasi pers dan wartawan seperti Dewan Pers, Masyarakat Pers dan Penyiaran, Periklanan Indonesia, dan Masyarakat Telematika tak henti menyatakan penentangannya. Banyak pasal dalam beleid anyar itu yang dinilai bakal memberangus kebebasan pers. Ishadi S.K., Direktur Utama Trans TV, salah satunya menyoroti kewenangan negara dalam perizinan yang menempatkan pemerintah pada posisi begitu superior. Memang akan ada Komisi Penyiaran Indonesia, yang berisi tokoh-tokoh nonpemerintah. Tapi, dengan sangat dominannya peran pemerintah, komisi tersebut dikhawatirkan akan menjadi sekadar pelengkap penderita. ”Peran negara terlalu kuat. Kita kembali ke gaya Orde Baru,” Ishadi menyesalkan. Beleid ini juga punya banyak konsekuensi yang mengancam kelangsungan hidup banyak lembaga penyiaran. Soal bakal dianulirnya izin siaran swasta nasional, misalnya, jelas akan menggerogoti bisnis televisi partikelir yang sudah eksis. Begitu juga soal pembatasan kepemilikan silang, yang akan memotong pengembangan sayap grup Kompas di TV7 atau Media Indonesia di Metro TV. Tak cuma itu yang bakal kena tebas. Larangan relai berita dan hiburan asing secara tetap juga dipastikan akan menohok beberapa lembaga penyiaran. Klausul ini jelas sudah bikin tak enak tidur pengelola Global TV, yang selama ini mengandalkan program musik MTV. Mau tak mau, jika draf itu diketuk palu, Global mesti menggusur acara yang banyak diminati kalangan muda itu. Jika mau terus hidup, sejumlah stasiun radio pun harus rela melepas siaran berita Voice of America, yang banyak digemari pemirsanya. Tapi, apa lacur, meski Atma telah meradang, toh anggota dewan dan pemerintah tetap saja berlalu. Kata sepakat telah dicapai dan tak bisa diganggu gugat lagi. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, Syamsul Mu’arif, menyatakan Rancangan Undang-Undang Penyiaran telah mencapai titik yang paling ideal. Soal ketidakpuasan, menurut dia itu hal biasa. ”Ini ranah publik yang harus diatur,” ujar pentolan Partai Golkar ini. Senada dengan Syamsul, anggota tim perumus parlemen, Djoko Susilo, pun menganggap sepi protes yang bermunculan. Menurut dia, itu cuma suara kecewa dari mereka yang kepentingan bisnisnya terganggu oleh aturan ini. Menteri Syamsul dan Djoko boleh berpendapat seenteng itu. Tapi, buat Atma, ini adalah sebuah pertaruhan besar bagi kebebasan pers. Untuk itu, tokoh gaek ini telah mengangkat sumpah. ”Jika ngotot digolkan, kami akan melawan sampai tetes darah penghabisan,” katanya lantang. Setiyardi -------------------------------------------------------------------------------- Pasal 10 Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat secara administratif ditetapkan presiden atas usul DPR, dan anggota KPI Daerah ditetapkan gubernur atas usul DPRD. Konsekuensi Presiden dan gubernur dapat mengintervensi komposisi KPI Pasal 16 Membatasi kepemilikan silang media penyiaran dan media cetak. Konsekuensi Dapat digunakan pemerintah untuk melakukan tawar-menawar tertentu dengan pihak media. Pasal 20 Radio dan televisi hanya memiliki jangkauan siaran lokal. Konsekuensi TV swasta nasional yang sudah eksis diberi waktu dua tahun untuk menjadi stasiun lokal. Pasal 22 Izin penyeleng-garaan siaran diberikan oleh negara. Konsekuensi Peran KPI hanya memberi masukan. Kontrol negara sangat kuat. Pemerintah dapat membredel lembaga penyiaran secara sepihak. Pasal 27 Membatasi relai berita dan hiburan asing. Konsekuensi Relai berita asing yang bersifat tetap akan dilarang. Pasal 53 Akan dibentuk penyidik khusus penyiaran. Konsekuensi Penyidik berhak memeriksa isi, menyegel perangkat siaran, menghentikan siaran, hingga menyeret insan penyiaran ke pengadilan. Pasal 54 Ketentuan pidana. Konsekuensi Sanksi kurungan hingga 5 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar bagi yang melanggar Undang-Undang Penyiaran. Sumber: naskah final RUU Penyiaran

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus