Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Raksasa yang Kesepian

Mereka merekrut dua musisi muda dan berencana membuat album baru. Apa konsep barunya untuk menembus persaingan pasar musik yang tengah lesu darah?

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lagu You Want It All beriak di Kafe Barnados, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Jangan salah, tak ada John Mayall di sana. Yang membawakannya adalah God Bless, salah satu kelompok rock Indonesia tertua yang masih bertahan. Ketika rekan seangkatannya banyak yang kolaps, mereka justru mengawali rangkaian tur ke beberapa kafe, sebelum masuk dapur rekaman pada Februari 2003. God Bless main di kafe? "Ini hanyalah sarana kami untuk melenturkan kembali permainan," tutur Ian Antono. Kelompok yang telah berkarir 29 tahun itu tampil dengan formasi baru: Achmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Donny Fattah (bas), Abadi Soesman (keyboard), Iwang Noorsaid (keyboard), dan Inang Noorsaid (drum). Dengan menggelontorkan tak kurang dari 15 lagu, grup yang usia personelnya rata-rata di atas kepala lima itu memperlihatkan stamina yang terjaga. Padahal lagu seperti Musisi, Kehidupan, atau Sesat amat menguras tenaga. Penonton yang terdiri atas beragam usia ikut menyanyi sepanjang pertunjukan, termasuk pada tiga lagu legendaris: Panggung Sandiwara, Balada Sejuta Wajah, dan Syair Kehidupan. Karena itu, aneh juga jika grup sebesar mereka masih menyisipkan lagu-lagu asing dalam repertoarnya. Di antaranya adalah Getting Old milik James Gang, yang pernah dibawakan saat mereka pertama kali mentas di Teater Terbuka TIM, 5 Mei 1973. Achmad Albar dan kawan-kawan seperti tak mempercayai kekuatan karya sendiri. Menurut Donny Fattah, salah satu pendiri, God Bless akan kembali membawakan musik progresif pada album baru nanti. Jenis musik yang menuntut keterampilan instrumen ini memang pernah mewarnai album Cermin (1980). Setelah itu, konsep mereka terlihat berubah-ubah meski tetap dalam koridor musik rock. Album Semut Hitam (1985) berbelok ke hard rock, sedangkan album Raksasa (1989) memperlihatkan pengaruh irama heavy metal. Saat itu posisi Ian Antono digantikan Eet Syahranie. Setelah Ian bergabung lagi, God Bless menampilkan dua gitaris sekaligus pada album Apa Khabar? (1997). Duet Ian-Eet yang sama-sama tersohor ini diramalkan bakal menghasilkan konsep yang dahsyat. Ternyata sebaliknya. Apa Khabar? tak menjanjikan apa-apa, bahkan penjualannya pun jeblok. Eet kemudian meninggalkan God Bless dan membentuk Edane. Problem yang juga dihadapi God Bless adalah nyaris tiadanya manajemen. Asal tahu saja, sejak dibentuk pada Juni 1973, mereka tak pernah sekali pun memiliki manajemen yang bagus. Kini, setelah lima tahun vakum, God Bless siap meramaikan lagi belantika rock. Pertanyaannya: apa senjata pamungkas mereka? Harap maklum, industri rekaman kini penuh sesak dengan musisi muda penuh bakat. Sementara itu, Achmad Albar, Ian Antono, dan Donny Fattah adalah bintang rock yang mencuat dari "masa lalu". Mestinya mereka memiliki strategi untuk menebus kegagalan Apa Khabar?. Kelompok Bee Gees dan Yes bisa menjadi referensi bagus bagaimana musisi produk 1970-an berhasil lolos dari jerat masa lalu. Pada 1977, Bee Gees banting setir ke irama disko saat dipercayai mengisi soundtrack film Saturday Night Fever. Karya ini berhasil menyabet Grammy Award sebagai album terbaik tahun itu dan terjual di atas angka 25 juta kopi. Adapun Yes, setelah nyaris dilupakan orang, menggebrak lagi lewat album 90125 (1983). Mereka merekrut Trevor Rabin, gitaris muda yang juga penata musik sejumlah film, dan mengganti "jaket" art rock-nya yang angker itu dengan irama new wave. Lahirlah hit Owner of a Lonely Heart, yang populer di kalangan remaja waktu itu. Tampaknya strategi inilah yang diadopsi God Bless dengan merangkul musisi muda Noorsaid bersaudara, mantan The Kids. Di kalangan musisi pop masa kini, Iwang bukanlah anak bau kencur. Ia pernah menjadi arranger album sejumlah penyanyi, termasuk memperkuat album Hijau-nya Iwan Fals. Ia diharapkan mampu menjembatani God Bless dengan generasi sekarang. Maka ia datang membawa setumpuk perangkat komputer untuk menggantikan instrumen konvensional seperti piano dan organ, yang selama ini menjadi "mainan" God Bless. "Dengan itulah saya mengenalkan mereka pada sound sekarang," ungkap Iwang, yang tak berpretensi mengubah karakter God Bless secara radikal. Yang justru potensial membawa perubahan pada musik God Bless adalah Inang Noorsaid. Ia dikenal memiliki karakter jazz. Itu sebabnya Ian Antono cukup sabar dalam memberikan pemahaman kepada Inang tentang "rumah baru"-nya tersebut. Tapi, tanpa harus mengubah gaya permainan, sebenarnya kehadiran Inang dapat menjadi suntikan darah baru. Untuk itu, ada contoh menarik: Tommy Bolin tetap menjadi dirinya sewaktu bergabung dengan Deep Purple, menggantikan Ritchie Blackmore, dan berhasil membawa Purple meraih sukses besar lewat album Come Taste the Band (1975) yang bernuansa jazz rock. Berani mencoba? Denny M.R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus