Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA akhirnya Zulkifly Lubis menemukan tempat untuk mengembangkan diri dan Tempo. Suatu pagi di akhir 1970-an, redaktur Luar Negeri Tempo itu masuk kantor dengan muka kusut. Pekan-pekan itu ia harus menurunkan artikel tentang revolusi Iran, termasuk laporan utama yang panjang.
Rupanya, tugas ini membayanginya tiap jam, dan membuat dia mengalami stres. "Semalam saya mimpi bertemu Khomeini," katanya. Lalu ia bilang akan minta pindah dari redaksi ke bagian lain, terserah Tempo, karena ia merasa tak lagi cocok dengan tugas-tugas kewartawanan.
Ahad dua pekan lalu, ia meninggalkan kita dan sejumlah posisi penting dalam perusahaan media, antara lain komisaris di PT Tempo Inti Media dan komisaris utama di Radio 68H. Posisi itu diraih "anak Medan" ini dari jabatan sekretaris dewan direksi, pekerjaan barunya setelah pindah dari bagian redaksi Tempo.
Namun Zul tak lalu meninggalkan dunia kewartawanan. Sambil mengembangkan diri dalam manajemen dan organisasi, ia tetap mengikuti peristiwa-peristiwa yang diliput Tempo. Tak sekadar mengikuti, ia pun berdiskusi dengan sejumlah wartawan dan para pemerhati masalah sosial-politik di dalam dan di luar Tempo. Dari aktivitasnya itulah bekas pemimpin umum majalah berita Sendi (Yogya, 1972-1973) ini mencetuskan dan meneruskan gagasan-gagasan berkaitan dengan demokrasi dan pluralisme.
Ia ikut mendirikan Institut Dialog Antar-Iman di Indonesia—Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei)—bersama Th. Sumartana (mendiang), Pendeta Eka Darmaputra, Daniel Dhakidae, dan Djohan Effendi. Lembaga yang berkantor di Yogyakarta dan didirikan pada 1991 itu hingga kini masih konsisten bergerak menegakkan pluralisme dalam beragama, dan meyakini bahwa imanlah—bukan lembaga—yang menjadi esensi beragama seseorang, dan dengan demikian hubungan antarmanusia bisa berjalan damai.
Demikianlah, sampai akhir hayat, Zulkifly tak hanya sibuk mengurusi manajemen dan keuangan beberapa usaha yang terkait dengan Tempo (antara lain penerbit buku PT Pustaka Utama Grafiti). Ia juga terlibat dalam berbagai aktivitas sosial. Hal ini sangat berguna ketika Tempo dibredel, 21 Juni 1994.
Ke dalam, ia ikut berjuang agar manajemen Tempo membantu karyawan dan wartawan Tempo yang menolak bergabung dengan perahu ciptaan pemerintah. Ia juga mengurusi manajemen dan keuangan lembaga dan organisasi yang dibentuk sebagai manifestasi "perlawanan" terhadap pembredelan itu. Adalah Zul yang memikirkan pendanaan Institut Studi Arus Informasi, yang antara lain menerbitkan buku dan mengadakan diskusi tentang demokrasi dan kebebasan.
Zul juga berada di belakang pendanaan Komunitas Utan Kayu, yang menyelenggarakan berbagai acara dan diskusi kesenian. Zul pula yang mencarikan biaya buat majalah bawah tanah Independen terbitan Aliansi Jurnalis Independen. Ia juga ikut terlibat dalam pendirian majalah Pantau, yang mengembangkan penulisan jurnalistik sastrawi.
Ia pula yang menyediakan dana bagi tiga orang AJI yang dipenjara—bukan hal baru bagi Zul; ketika Sendi dibredel karena terlibat demonstrasi anti-Taman Mini Indonesia Indah, pada 1973, ia diinterogasi tapi tak ditahan dan, karena itu, kemudian mengurusi pembebasan mahasiswa yang ikut demo dan ditahan.
Dengan toleran Zul pun memikirkan keuangan majalah D&R (1996-2000) yang sulit dijual. Majalah ini dibeli beserta perusahaan penerbitannya oleh PT Grafiti Pers, penerbit Tempo yang dibredel itu, guna menampung wartawan dan karyawan Tempo serta wartawan berbagai media yang diberhentikan karena bergabung dengan AJI.
Dengan segala pengalaman itulah Zul kemudian mengelola Tempo yang terbit kembali pada Oktober 1998 sebagai salah seorang direktur. Kesibukannya masih ditambah dengan mengurusi dana dan organisasi Komunitas Salihara. Dan tetap, ia tak melepaskan aktivitas sosialnya—sesekali terbang ke Yogya meninjau Interfidei, misalnya. Ia yakin, apa pun lembaga atau organisasi itu, dukungan dana atau keuangan dan kerapian organisasi diperlukan guna sukses dan kelangsungannya—biarpun itu lembaga nonprofit, bahkan lembaga perjuangan. Zul meninggalkan seorang istri dan seorang putra.
Cheta Nilawaty, Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo