Garin Nugroho
Kenapa kita tak bisa menciptakan festival seperti Oscar atau Academy Awards, yang melahirkan film hiburan bermutu tetapi laris? Inilah pertanyaan klise yang begitu enteng dan sering dilontarkan, seenteng Piala Oscar, yang tak lebih dari seukuran separuh lengan manusia dewasa. Namun, jangan lupa, 85 persen pasar film dunia dikuasai Hollywood. Jangan lupa pula, investasi terbesar kedua AS setelah industri militer bukanlah industri seperti mobil ataupun alat berat lainnya, melainkan industri jasa hiburan dengan pegas utama film, dengan tolok prestasi mutu dan ekonomi pada Piala Oscar (sebutan populer bagi Academy Awards).
Peraih Piala Oscar dipilih oleh lebih dari 5.000 kaum profesional film yang menjadi anggota American Academy of Motion Picture Arts and Sciences Award, dari penulis skenario, juru kamera, distributor, hingga para organisator. Kaum profesional ini tumbuh dalam tradisi industri Hollywood, yang sudah berdiri sejak 1911, suatu industri yang dibangun seperti layaknya sebuah industri besar, dibangun atas prasyarat ekonomi, estetika, dan teknologi, serta berbagai prasyarat bagi penciptaan film yang efisien dan efektif.
Hollywood dibangun di Los Angeles, yang memiliki bahan industri untuk penciptaan, seperti pantai, gurun, hingga cuaca yang terus bersahabat untuk perekaman. Inilah uraian Direktur American Academy of Motion Picture and Sciences yang juga sutradara film The Sound of Music, pada suatu hari di tahun 1992, ketika kebetulan saya diundang ke organisasi film tersebut.
Latar belakang semacam ini menjadikan Academy Awards memiliki karakter yang berbeda dengan festival bergengsi dunia lainnya, seperti Festival Film Cannes ataupun Festival Film Berlin. Cannes dipandang lebih dalam perspektif estetis personal. Hal ini merefleksikan perlawanan politik budaya Prancis secara terus-menerus terhadap hegemoni Amerika. Sementara itu, karya film pilihan Festival Film Berlin lebih mementingkan nilai sosial-politik dan humanitas, serta merefleksikan upaya pencitraan baru Jerman setelah Perang Dunia II. Layar sinema, agaknya, tak lepas dari layar sejarah suatu bangsa.
***
Sinema Amerika dalam hubungannya dengan penontonnya tumbuh dalam perspektif demografi yng berbeda dengan sinema Eropa. Ia tumbuh seiring dengan datangnya lebih dari 10 juta imigran Eropa, pada tahun 1900-an.
Bangunan penonton seperti ini berbeda jauh dengan pandangan perspektif kaum aristokrat Eropa, yang melihat film seni sebagai pencitraan tersendiri. Bahkan, harus dicatat, kaum imigran tersebut banyak yang buta huruf—suatu bangunan penonton yang membutuhkan hiburan dalam karakter audio-visual, yang tak perlu kemampuan membaca. Latar semacam ini menjadikan sinema Hollywood tumbuh dalam sosiologi hiburan yang berbeda dengan sinema Eropa.
Perbedaan Academy Awards dengan festival-festival film di Eropa bisa dikaji dari latar hubungan industri dengan sejarah kemenangan AS dalam Perang Dunia II. Inilah sejarah yang menuntut Amerika terus menjadi pelopor, dan segera mentransformasikan keunggulan militer menjadi keunggulan industri di berbagai aspek, termasuk film. Sementara itu, Eropa sedang mengalami kehancuran akibat perang.
Maka, langsung atau tidak langsung, sumber daya manusia industri film Amerika lahir dari begitu banyaknya juru kamera dan wartawan film yang terlatih untuk kebutuhan perang. Tak mengherankan jika film klasik Orson Welles, yang berkisah tentang raja surat kabar, lahir dalam perspektif sejarah jurnalistik perang.
Penghargaan Oscar lalu menjadi cerminan sebuah sejarah terbentuknya industri hiburan dalam perspektif demografi yang mendukung, dengan pilihan ruang dan waktu sosial-politik yang tepat, serta psikologi komunal kepeloporan AS dalam berbagai transformasinya.
Pengamat film James Monaco mencatat hal yang penting dari daya hidup Hollywood, yaitu: "Daya hidup film sangat bergantung pada kemampuannya mencangkokkan penemuan-penemuan serta berbagai dimensi masyarakat, yang telah maupun yang tengah terjadi, ke dalam dirinya."
Sejarah industri Hollywood lalu menjadi sejarah industri hiburan yang senantiasa mencangkok sineas-sineas dunia, ketika Hollywood mengalami berbagai perspektif kemandekan. Sebutlah tahun 1920, pada awal sejarahnya, Hollywood mencangkok Greta Garbo, Fritz Lan, dan Karl Freund, dari Eropa.
Kemampuan tersebut dicatat dengan menarik oleh Dereck Malcom, kritikus harian The Guardian, yang mengatakan bahwa dalam 10 tahun ini, Hollywood kehilangan kemampuan bercerita. Dari Hollywood, tidak ada film dengan cerita luar biasa yang lahir, karena Hollywood terkesima oleh efek spesial dan cerita gampangan yang menggali sensasi penonton.
Namun, Hollywood senantiasa menghidupkan dirinya kembali karena penghargaan Oscar dengan sadar mencangkok pertumbuhan puncak-puncak pencapaian sineas dunia. Lihatlah kemenangan The English Patient (Inggris), yang bertutur dengan luar biasa dan meraih penghargaan film terbaik Academy Award tahun l997. Atau, sebutlah juga keterbukaannya mencangkok genre seni bela diri dalam Oscar kali ini, lewat film Crouching Tiger, Hidden Dragon karya Ang Lee.
Academy Award juga sebuah mekanisme mendaur ulang dari dunia kebintangan menjadi dunia keaktrisan, alias dari sekadar kecantikan serta kegantengan berubah menjadi kemampuan seni akting. Sebutlah Tom Cruise, yang awalnya hanya populer karena kegantengan lewat film Top Gun dan Cocktail, yang mampu mentransformasi diri masuk nominasi Oscar lewat film tahun 1990 berjudul Born On the Fourth of July karya Oliver Stone. Demikian juga, kini, Julia Roberts—meski dikritik masih terlalu muda dan belum matang—pa-ling tidak sudah masuk dalam jajaran nominasi aktris terbaik dalam film Erin Brockovich.
Bahkan, muncul pula kemampuan Hollywood mendaur ulang genre hingga aliran film—sebutlah daur ulang film Batman hingga film kolosal sejenis Gladiator tahun 1930-an—untuk dihidupkan kembali pada masa kini dengan penemuan teknologi, estetika, dan sains baru.
Maka, Oscar bisa dikatakan sebagai cerminan sebuah sistem yang mampu memberi nilai tambah dalam dirinya. Suatu contoh menarik adalah peristiwa tahun 1970-an, ketika film di Amerika didesak oleh kehadiran multikanal televisi. Pada periode itu, film tetap mampu memiliki daya hidup karena sineas baru yang lahir mampu memberi nilai tambah dalam film ketimbang dalam televisi.
Periode itu, para sineas seperti Steven Spielberg dan George Lucas menciptakan kisah-kisah film dengan teknologi yang melahirkan sensasi suara dan gambar di bisokop yang tidak mungkin diperoleh di televisi.
Inilah siklus industri hiburan yang mampu mendaur ulang dirinya untuk lahir dan terus lahir kembali. Dengan kata lain, sejarah industri hiburan bukanlah suatu nilai yang statis, murahan, gampangan, tanpa perlu berbagai inovasi dan investasi dalam berbagi perspektifnya, dari modal, teknologi, sains, sampai entrepreneurship.
***
Sekiranya kita menggenggam penghargaan dari Festival Film Cannes, sesungguhnya kita mampu menggenggam sebuah peta yang mampu membaca pertumbuhan sinema di berbagai belahan bumi. Maka, penghargan Cannes mampu meletakkan personalitas sinema Iran ke dalam peta dunia, atau juga Berlin, yang menemukan pemberontakan sinema Cina lewat film Red Sorghum pada tahun 1986.
Maka, sekiranya kita menggenggam Piala Oscar, sesungguhnya kita menggenggam esensi industri hiburan abad ini. Yakni, kemampuan mendaur ulang dan beranak-pinak lebih muda lewat kemampuan mencangkok berbagai perspektif sinema dunia yang paling valid, guna pertumbuhan industri Hollywood.
Di balik semua itu, penghargaan Oscar adalah sejarah industri hiburan yang mensyaratkan esensi nilai kreativitas dan inovasi, yakni kemampuan membuka diri terus-menerus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini