Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Pagi terakhir seorang pelukis potret

Ia belum sempat membuat sketsa pesanan lukisan terakhirnya, potret ketua BPPT, B.J. Habibie. keburu seseorang menghabisi hidupnya. Basuki Abdullah tewas pada usia 78 tahun.

13 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA berakhir tak secerah lukisan-lukisannya. Tapi muram, dengan warna hitam dan merah. Basuki Abdullah, pelukis yang dikagumi kalangan tertentu karena karya-karya potretnya yang lebih indah dari aslinya, Jumat pagi pekan lalu ditemukan pembantunya telungkup di balik pintu kamarnya, tak bernyawa lagi. Kacamata bacanya tergenggam di tangannya, darah tercecer di mana-mana, dan di kepalanya darah sudah megmbeku. Bas, begitu ia dipanggil, hanya berkaos singlet dan bercelana dalam. Mungkin ia pun tak sempat melihat jelas siapa yang, menurut dugaan, menghantamkan popor senapan ke kepalanya. Ia tak sempat memakai kacamata. Sampai tulisan ini dibuat, mengapa pelukis yang banyak melukis potret tokoh, dari Mahatma Gandhi sampai Aktris Eva Arnaz, ini dibunuh, masih dalam penyidikan. Basuki Abdullah adalah pelukis Indonesia angkatan Persagi (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia), yang didirikan oleh Pelukis Sudjojono (almarhum) di tahun 1937 di Jakarta. Bila kemudian ia seperti disisihkan oleh kalangan seni rupa, Basuki memang menempuh jalannya sendiri. Jalan yang licin, yang cepat mengundang pembeli kalangan kelas atas. Kritik Sudjojono terhadap teman seangkatannya ini: bila ia melukis Rookiah (aktris Indonesia tempo dulu), yang tergambar adalah potret Dorothy Lamour (aktris Amerika). Bukan karena Basuki kurang pintar menggambar. Tapi karena ia lebih ingin menggambarkan glamor daripada watak. Tapi dengan sikap berkesenian seperti itulah, Basuki bisa masuk istana ke istana. Semula, ia menjadi kesayangan Bung Karno. Presiden pertama Indonesia itu memang banyak mengoleksi karya Basuki: dari lukisan potret Bung Karno dan keluarga, lukisan wanita telanjang, juga karya yang melukiskan peperangan Gatotkaca dan Antareja, dua tokoh wayang idola Bung Karno. Kemudian, tahun 1961, Basuki diundang Raja Thailand Bhumibol Adulyadej untuk melukis dirinya dan istrinya, Ratu Sirikit. Rupanya, raja terpikat. Bas diberinya tanah, rumah, studio, dan mobil. Sejak saat itu ia menjadi pelukis istana di Bangkok. Basuki bukan hanya meraih Bintang Poporo, anugerah tertinggi Kerajaan Thai untuk seniman, tapi juga menikahi Nataya, runner- up kontes ratu ayu Thailand tahun 1967. Nataya inilah, setelah pembantu rumah tangganya, yang menjerit mendapatkan suaminya pagi itu tak bernyawa lagi. ''Perkawinannya'', begitu kata Basuki selalu, dengan lukisan dimulai ketika anak Pelukis Abdullah Surjasubroto ini berumur enam tahun. Dan saat remaja 18 tahun, ia merasa bodoh sebagai pelajar HIS. Maka, anak Kampung Sriwedari, Solo, kelahiran tahun 1915 ini lalu bersemadi di Parangtritis. Ia mohon kepada Tuhan agar dituntun menjadi pelukis besar. Paginya, ketika ia pulang, tergeletak surat menawarkan beasiswa untuk belajar melukis di Belanda. Bintangnya mulai terang 16 tahun kemudian, setelah ia berguru ke Italia dan Prancis. Ketika itu, Ratu Belanda, Juliana, membuka sayembara melukis potret dirinya. Lebih dari 80 pelukis dari seluruh dunia ikut serta, termasuk Basuki. Tentu saja Basuki juaranya. Sejak itulah ia laris sebagai pelukis potret. Kepintarannya melukiskan objek lebih indah dari aslinya membuat Basuki digandrungi kalangan berduit yang ingin dipercantik. Tahun pertama kepulangannya ke Indonesia dari Thailand, tahun 1974, ia kebanjiran pesanan lukisan potret. Ketika itu ia buka praktek di lantai tiga rumah dinas Gubernur Jakarta (kala itu) Ali Sadikin. Dua tiga nyonya dan nona cantik antre dilukis. Basuki cuma mencoretkan sketsa, 10 sampai 15 menit. Selanjutnya adalah urusan muridnya, yang menyelesaikan lukisan itu berdasarkan foto pemesan. Buat kerja seperti itu pun, Bas sudah pasang tarif mahal: US$ 3.000 satu lukisan ukuran dua meter persegi. Gambarnya hanya sebatas dada. Kalau mau tambah kaki, bayar lagi seribu dolar. Apa pun kata orang, Basuki Abdullah tampaknya puas dengan karyanya yang menghasilkan puluhan, mungkin ratusan, juta rupiah itu. ''Habis, saya bisanya cuma begitu,'' katanya suatu kali. Ibu-ibu, katanya, lebih suka datang padanya karena dilukis menjadi lebih cantik. Kalau datang ke Pelukis Affandi, ''Mukanya akan corat-coret seperti benang ruwet.'' Sebenarnya, menurut Bas sendiri, ia melukis potret tak sekadar persis, tapi juga ekspresif. Malam sebelum kematiannya, misalnya, ia ngotot mencari buku Habibie. Ia memang lagi mengerjakan pesanan sembilan lukisan untuk kantor BPPT yang baru. Delapan sudah jadi sketnya. Tinggal satu: Habibie, Ketua BPPT. Ketika sekretarisnya menyodorkan beberapa foto Habibie, Bas menolak. ''Aku ingin membaca karakternya,'' kata sekretarisnya menirukan kata-kata Bas. Malam itu, ketika memasuki kamarnya sebelum acara Dunia Dalam Berita di TV, Bas boleh jadi mau membaca Habibie. Tapi karakter yang diserapnya tak akan pernah bisa dicoretkannya di kanvas. Kendati mendadak, kepergian ini seperti sudah diisyaratkan. Seusai pameran terakhirnya di Niaga Tower, Jakarta, tengah bulan lalu, Bas berkali-kali mengatakan ingin pindah ke Yogya, ''Atau ke antariksa,'' kata bapak dua anak ini: Seniwati, 51 tahun, anaknya dari istri pertama, kini bermukim di Belanda, dan Sidawaty Bharany, 21 tahun, anaknya dari Nataya. Direncanakan, Ahad yang lalu, orang kelahiran Solo ini dikebumikan di sebuah pemakaman keluarga di Yogya. Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus