Beberapa waktu lalu, sebuah majalah Ibu Kota memuat tulisan tentang kegemaran Miana Sudwikatmono mengoleksi arloji merek terkenal, Chopard, yang harganya bisa mencapai Rp 5 miliar. Dan baru-baru ini, keluarganya menghabiskan Rp 2 miliar untuk pesta perkawinannya. Tulisan itu diperkuat lagi dengan tampilnya Miana di rubrik Pokok & Tokoh TEMPO, 30 Oktober. Adalah hak individu memilih gaya hidup yang sesuai dengan kemampuan dan falsafah hidupnya masing-masing. Tapi ditampilkannya koleksi arloji ''cuma'' Rp 800 juta atau paling mahal ''hanya'' Rp 5 miliar, saya rasa membikin orang bertanya- tanya begitu besarnyakah ketimpangan di masyarakat kita. Soalnya, bagaimana mungkin seorang wanita yang ''cuma'' berprofesi sebagai financial analyst meskipun orang tuanya kaya raya mampu membiayai hobi yang luar biasa mahalnya itu? Sementara itu, di luar sana, jutaan masyarakat Indonesia harus survive hanya dengan Rp 1.000 sehari. Ini bukanlah suatu ekspresi kecemburuan seorang wanita pada wanita lainnya. Marilah kita periksa dengan kepala dingin. Konon Miana memiliki paling tidak sekitar 8 jam tangan Chopard. Taruhlah harganya sebiji (pukul rata) Rp 3 miliar, maka totalnya Rp 24 miliar, plus 30 jam tangan merek terkenal lainnya. Itu sesuai dengan ucapan Miana, ''cukup buat tukar setiap hari.'' Dari mana uangnya? Pertanyaan ini terdengar naif. Orang bisa menunjuk bapaknya yang kaya itu. Mungkin Miana sendiri memang kaya. Kalau memang demikian, alangkah bijaksananya kalau Miana memilih tutup mulut. Di tengah era keterbukaan ini, secara politis sangat ''berbahaya'' mengumbar hal semacam itu di media massa. RAHAYU RATNANINGSIHFakultas Ekonomi Universitas Indonesia Nomor Mahasiswa: 0689002106 - Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini