DILIHAT dari sejarah seni rupa Barat yang linier itu, pameran Andre Cottavoz di Galeri Santi, Jakarta Selatan, boleh dibilang ketinggalan zaman. Ia menyuguhkan sekitar 20 lukisan yang dibuatnya selama Mei dan Juni tahun lalu di Bali. Gaya torehan pisau palet dan warna-warnanya mengingatkan orang pada salah seorang tokoh fauvisme Prancis, Andre Derain. Juga Chaim Soutine (dan memang Cottavoz mengagumi dan mempelajari Soutine secara mendalam). Fauvisme, yang memperlakukan warna demi warna itu sendiri, lahir di Paris pada awal abad ke-20. Dan Cottavoz, 71 tahun kini, memang salah seorang pendiri kelompok yang disebut sanzinisme. Aliran yang tak populer di luar Prancis itu boleh disebut sebagai postfauvisme: mencoba menggunakan warna sedemikian rupa hingga dari lukisan itu sendiri terpancar cahaya alami. Lihat saja bagaimana ia melukis bunga-bunga teratai dan di kejauhan tampak sebuah pura. Teratai yang merah jambu, kolam dan langit yang biru, dan daun-daun yang hijau kebiruan. Dan di sana-sini ada goresan dan blok-blok oker -- kadang sebagai tangkai teratai, dan bila itu terletak di antara daun-daun, mengesankan buah kelapa. Warna-warna itu muncul bersih. Di Prancis, itu semua membuat karya Cottavoz terpilih pula menghuni Museum Seni Rupa Modern Nasional, antara lain. Dan dilihat dari karya-karya Cottavoz dalam buku tentang dirinya (bukan buku yang menyertai pameran ini), ia memang seorang "sanzinis" yang hebat: warna-warna yang hidup, dan sapuan palet yang berat. Lukisan-lukisannya tentang figur-figur menampilkan penangkapan watak yang kuat. Karya-karya pemandangan lautnya menggumpal, dan datang pada kita lebih sebagai sapuan warna daripada bentuk objek. Juga, lukisan pemandangan berbagai kota sungguh menghadirkan suasana yang berbobot. Untuk ini kritik dalam majalah berita prestisius, LeMonde, mengatakan, "Bila Cottavoz menjajarkan warna, mau tak mau terciptalah suatu pesona." Karena itu, bisa jadi mereka yang mengenal Cottavoz akan kecewa dengan karya-karya berobjek Bali di pameran ini. Memang, sapuan paletnya tetap berat, dan warna-warnanya tetap cemerlang. Tapi "pesona" itu absen. Jejak pisau paletnya yang membentuk objek, misalnya Pantai Sanur dengan kapal-kapal dalam Kembali dari Menangkap Ikan, tak sampai menimbulkan empati. Tak seperti lukisan pemandangan pantainya yang ia buat di Eropa. Tampaknya, karya jenis ini memang membutuhkan sapuan yang -- meminjam istilah Sudjojono, pelopor seni lukis modern Indonesia -- ber-"jiwa nampak" agar berisi. Cottavoz tampaknya kurang "terusik" melihat Bali, hingga ia tak memberikan "jiwa nampak" itu. Lihat saja, Tari Barong-nya tak mengesankan kebalian sama sekali. Bali seperti tak memberikan sentuhan apa pun pada dirinya, dan itulah yang tercermin dari pameran sanzinis yang sebenarnya ulung ini.Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini