Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Pantulan gambar republik

Pengarang: c. smit jakarta : pustaka azet, 1986 resensi oleh : t.b.simatupang.

26 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEKOLONISASI INDONESIA Pengarang: Mr. Dr. C. Smit Penerbit: Pustaka Azet, Jakarta, 1986, 186 halaman APABILA kita membaca buku Dekolonisasi Indonesia, demikian juga tulisan orang-orang Belanda lain tentang konflik Indonesia-Belanda, kita harus selalu menyadari bahwa yang mereka sajikan adalah pantulan dari gambar yang ada pada kita. Itu berarti, yang kanan dilihat dari sana adalah yang kiri dilihat dari sini. Yang benar dilihat dari sana sering yang salah dilihat dari sini. Artinya, peristiwa yang sama dinilai dan ditafsirkan secara berbeda, bahkan kadang-kadang secara bertentangan, oleh pihak Belanda dan pihak kita. Membandingkan gambar sana dan gambar sini mengenai kejadian-kejadian selama konflik antara Belanda dan kita dapat sangat bermanfaat. Dengan itu bisa berlangsung proses saling mengoreksi dan saling melengkapi. Proses seperti itu dapat juga membantu kedua pihak membebaskan diri masing-masing dari beban sejarah, yang sering merupakan hambatan psikologis dalam hubungan kedua bangsa. Hampir sepertiga dari buku ini merupakan tinjauan umum mengenai konflik Indonesia-Belanda, mulai dari Proklamasi Kemerdekaan sampai pengakuan kedaulatan, yang dari segi Belanda merupakan penyerahan kedaulatan, pada 27 Desember 1949. Ada lagi susunan mengenai masalah Irian Barat, yang dalam buku ini disebut Nieuw Guinea, dari 1950 sampai 1962. Dekolonisasi Indonesia, yang menjadi judul buku ini, pada hakikatnya adalah gambar pantulan dari apa yang kita sebut Perang Kemerdekaan. Dengan Proklamasi Kemerdekaan, maka kita berpendapat bahwa Indonesia telah menjadi negara merdeka. Kita menjalankan Perang Kemerdekaan untuk mempertahankan kemerdekaan, dan untuk memperoleh pengakuan internasional terhadap kemerdekaan itu. Sebaliknya, Belanda menganggap dirinya tetap berdaulat atas Hindia Belanda, sekalipun telah ada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam menghadapi kenyataan berupa Republik Indonesia, Belanda menjalankan proses dekolonisasi menuju penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat, yang terikat dalam Uni Indonesia-Belanda. Proklamasi Kemerdekaan kita melahirkan konflik yang fundamental mengenai kedaulatan. Yaitu siapa yang berdaulat atas Indonesia (Hindia Belanda): kita atau Belanda. Kedua pihak, pada mulanya, tidak memiliki kemampuan untuk memaksakan kehendak kepada pihak lain dengan kekuatan. Itu berarti bahwa secara obyektif mereka harus berunding. Lagi pula, kehadiran Inggris memaksa mereka berunding. Tapi kedua pihak berunding hanya karena terpaksa, dan dengan hati yang setengah-setengah. Sehingga, perundingan itu menimbulkan perpecahan di kalangan intern kedua pihak. Buku ini menggambarkan proses perpecahan itu pada pihak Belanda. Proses perpecahan yang diakibatkan oleh perundingan itu pada pihak Indonesia, yang jauh lebih hebat dibandingkan perpecahan di pihak Belanda, hampir tidak disoroti. Kedua pihak mengadakan perundingan dengan titik tolak dan tujuan berbeda, bahkan bertolak belakang. Kita bertolak dari Proklamasi, sedangkan Belanda bertolak dari kedaulatannya. Tujuan kita agar kemerdekaan yang telah diproklamasikan itu diakui, walaupun secara bertahap. Tujuan Belanda agar kemerdekaan yang telah kita proklamasikan itu secara berangsur-angsur ditiadakan dan dilebur ke dalam kedaulatan suatu negara merdeka yang baru bikinan Belanda. Sebab itu, kedua pihak mengadakan perundingan dengan kesediaan mengadakan konsesi-konsesi hanya sepanjang itu tidak menyangkut apa yang oleh masing-masing dianggap vital, dan sambil bersiap-siap menghadapi adu kekuatan akhir. Strategi Belanda pada dasarnya telah digariskan oleh Dr. H.J. van Mook, Letnan Gubernur Jenderal di Jakarta (Batavia), menjelang akhir 1945. Itulah yang dalam buku ini disebut "politik federal Van Mook" (halaman 14), yang kemudian didukung oleh pemerintah Belanda. Menurut strategi itu, akan dibentuk negara-negara bagian di daerah-daerah yang telah dikuasai tentara Belanda sebagai tandingan terhadap Republik di bidang politik. Kekuatan tentara Belanda akan diperbesar secara berangsur-angsur, sehingga, apabila perlu, pada waktunya Republik dapat ditiadakan dengan jalan kekerasan. Setelah melalui masa peralihan, yang di dalamnya atribut-atribut kedaulatan Republik (tentara dan aparat politik luar negeri) dihapuskan, maka Republik akan dilebur ke dalam Negara Indonesia Serikat, yang terikat dalam Uni Indonesia -- Belanda dengan Ratu Belanda sebagai Kepala Uni. Dengan perkataan lain, menurut strategi Belanda itu, Republik Indonesia akan "dikebiri" dua kali. Pertama waktu dileburkan ke dalam Negara Indonesia Serikat dan, kedua, dengan menempatkan Negara Indonesia Serikat itu dalam Uni Indonesia-Belanda. Strategi Republik pada dasarnya juga telah digariskan waktu Republik bersedia mengadakan perundingan menjelang akhir 1945. Menurut strategi itu, kita bertolak dari Proklamasi, dan menjadikan pengakuan de facto atas Jawa dan Sumatera sebagai modal perjuangan selanjutnya. Tujuan membentuk Negara Indonesia Serikat dan Uni Indonesia -- Belanda dapat diterima secara formal asal saja atribut-atribut kedaulatan Repubiik berupa tentara dan aparatur politik luar negeri tetap tidak diganggu gugat, sehingga pada saat Negara Indonesia Serikat itu terbentuk, secara de facto Negara Indonesia Serikat tidak lain dari Republik Indonesia, yang meluaskan kekuasaannya ke seluruh Tanah Air. Sedangkan negara-negara bikinan Belanda tidak akan dapat bertahan. Uni Indonesia-Belanda dijadikan ikatan yang bersifat simbolis saja. Sambil berunding, kita memperkuat posisi internasional, dan bersiap-siap menghadapi adu kekuatan akhir. Adu kekuatan akhir ini dalam bentuk perang rakyat. Jalannya konflik Indonesia-Belanda membuktikan bahwa strategi Republik unggul terhadap strategi Belanda. Dalam rangka kedua strategi tadi dapat dipahami bahwa setiap kali Belanda berusaha meniadakan atribut-atribut kedaulatan Republik sebagai harga yang harus dibayar untuk memasuki masa peralihan, maka bagi Republik timbul apa yang disebut "buah simalakama" (halaman 30). Yaitu pilihan antara memenuhi tuntutan Belanda dan menghadapi serangan militer Belanda. Tapi Republik tidak bersedia untuk "bunuh diri" dengan menghapuskan atribut kedaulatannya, khusus tentaranya. Sesuai dengan strategi Republik, pada akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat, dan Republik, dengan atribut-atribut kedaulatannya yang utuh, secara de facto memegang semua kartu. Susulan mengenai masalah Irian Barat dari 1950 sampai 1962 pada dasarnya mengulangi dan melanjutkan perkembangan dari 1945 sampai 1949. Di sini pun strategi Indonesia terbukti unggul terhadap strategi Belanda. Akhirnya satu catatan: kita harus bekerja keras dalam studi-studi tentang kurun waktu perang kemerdekaan, dan dalam studi-studi mengenai Indonesia umumnya, agar kita dapat menjadi tuan di rumah sendiri. Kalaupun kita menerjemahkan karya-karya dari luar, khusus karya-karya Belanda, maka sebaiknya terjemahan itu dilengkapi dengan kata pengantar yang cukup luas agar para pembaca memahami bahwa yang disajikan adalah gambar pantulan dari visi dan interpretasi kita mengenai kejadian-kejadian yang digambarkan. T.BS. Simatupang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus