Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pasar Gambir, di Era Jajahan

Foto tua koleksi Tropenmuseum Amsterdam tentang Pasar Gambir dipamerkan di Erasmus Huis. Dokumentasi berharga tentang pasar malam Indonesia, dulu, di era jajahan.

8 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekan Raya Jakarta punya cerita tempo doeloe. Begini kisahnya: di Koningsplein, kini lapangan Merdeka di kawasan Monas, Jakarta, tahun 1920-an sampai 1930-an, tradisi pasar atau fair itu dimulai dengan nama Pasar Gambir. Nama pekan raya di era penjajahan itu memang mirip Pekan Raya Jakarta (PRJ) kini. Dan seperti PRJ, Pasar Gambir memamerkan banyak hal yang disajikan melalui 270 stan yang memajang berbagai produk, mulai dari batik cap asal Betawi, ukiran Jepara, kerajinan emas Aceh, ukiran perak dari Bogor, sampai mobil Ford keluaran mutakhir. Sebagai saksi sejarah, Pasar Gambir menunjukkan tradisi pasar malam sesungguhnya yang telah dibawa Belanda ke tanah jajahan sejak dulu. Kesan itulah yang tertangkap dari pameran foto ''Pasar Gambir" di Erasmus Huis pertengahan bulan lalu. Foto yang diboyong dari Tropenmuseum Amsterdam itu merupakan sebagian kecil dari 200 ribu foto tua koleksi sejarah yang tersimpan Negeri Kincir Angin itu. Pasar Gambir adalah pasar yang riuh. Ia terdiri dari sebuah tanah lapang, rumah-rumah berarsitektur etnik dari bambu, atap rumbia, dan tuan Belanda berpantalon gelap, kemeja putih berkanji, dasi kupu-kupu, dan rambut yang mengkilat. Ada stan tembakau, papan luncur yang dikerubuti anak-anak, dan tak lupa, ketika matahari tenggelam, dansa-dansi ala Eropa dan minuman beraroma anggur yang pekat. Dilihat dari 50 buah foto yang dipamerkan itu, tampaknya para pengunjung Pasar Gambir bukan dari rakyat kebanyakan. Karena penampilan mereka yang gaya, paling tidak para pengunjung adalah kelompok priayi Betawi yang berpendidikan baik. Setiap tahun stan-stan yang dirancang khusus oleh arsitek Kota Batavia J.H. Antoinisse itu mengambil bentuk rumah daerah secara berganti-ganti: Bali, Cina, atau Minangkabau. Beberapa stan bahkan mengambil pola arsitektur masjid, lengkap dengan simbol bulan bintang di atapnya, seolah menandakan: inilah sebuah pasar malam yang digarap dengan serius. Serius? Ya, meski secara fotografis koleksi yang berharga ini tak lebih dari dokumentasi yang kaku—hampir tanpa sudut bidik yang menarik—pameran ini menandakan bagaimana Belanda, di era ketika dunia sedang dirundung kebangkrutan ekonomi yang dasyat, masih sanggup mengadakan pesta, pameran, dan hura-hura. Roda ekonomi dunia yang macet toh tidak mematikan keinginan untuk merayakan malam, dan tradisi menghormati Ratu dan Kerajaan toh tak perlu ditunda. Ketika kalendar menunjukkan 31 Agustus, hari ulang tahun Ratu, ratusan orang dalam festival Pasar Gambir bersorak dalam kegembiraan. Ironis? Mungkin ya. Tapi itulah watak ''pasar"—bentuk yang paling verbal dari kapitalisme. Tidak pernah, atau tidak perlu, ada kompromi dengan keadaan: kesenangan adalah kesempatan yang harus dirayakan. Atau ini mungkin watak penjajahan. Ketaklukan pada ''pusat" kekuasaan harus diwujudkan dalam berbagai bentuk di setiap lapisan masyarakat. Dan pasar, dengan ciri keramaian dan keberagaman di dalamnya, adalah media yang paling baik untuk menyosialisasikan ketaklukan itu. Begitukah? Entahlah. Yang pasti koleksi foto Pasar Gambir adalah dokumentasi berharga. Bahwa kita pernah punya pasar malam. Juga telah pernah dijajah. Arif Zulkifli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus