Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dolar, Untung Ada SBI
Wahai bola kristal, katakan: bagaimana nasib rupiah pekan depan? Tenang saja, rupiah tak akan pergi jauh ke mana-mana. Setidaknya itulah perkiraan sejumlah manajer treasury dan ekonom yang diwawancarai TEMPO pekan ini.
Menurut seorang manajer treasury bank asing, posisi rupiah akan tetap anteng di kisaran Rp 8.700 hingga Rp 9.000. Selain tidak ada faktor yang mengagetkan, perdagangan rupiah-dolar juga sangat sepi. "Para spekulan di Singapura lagi tak bersemangat main di rupiah," katanya.
Tapi hati-hati, jangan keburu senang. Ada ancaman lain. Seorang ekonom mengingatkan, bank-bank asing baru saja ketiban durian rontok karena mendapat limpahan simpanan rupiah dari nasabah yang panik banknya terancam likuidasi. Kekenyangan rupiah ini bisa membuat bank-bank asing agak mata gelap. Mereka bisa saja main di pasar valuta asing (valas) dan menubruk dolar untuk mengurangi "mabuk rupiah" yang memusingkan. Kalau ini terjadi, rupiah memang bisa ndlosor lagi.
Tapi, apa itu akan terjadi? Menurut manajer treasury bank asing, kecil kemungkinannya. Soalnya, mereka dibatasi jatah net open position (selisih antara kekayaan dan kewajiban dalam valas) cuma 30 persen dari modal bank. Akibatnya, mereka tak bisa semaunya menempatkan dana publik dalam aset valas. Bank Indonesia akan segera menyemprit jika mereka melanggar rambu-rambu itu.
Jadi, ke mana mabuk rupiah tadi akan disalurkan? "Ya, lewat sertifikat Bank Indonesia saja. Lumayan, bunganya 37 persen," katanya.
Awas, Ada Sisa Anggaran
Ada kabar gembira dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional alias BPPN. Katanya, nilai penjualan aset bank yang disita pemerintah, tahun ini, bisa mencapai Rp 27 triliun. Padahal target semula cuma Rp 16 triliun. Baguslah.
Taksiran yang tiba-tiba membengkak ini, kalau tidak meleset, tentu saja bisa meringankan beban biaya penyuntikan modal bank yang ditanggung anggaran negara. Menurut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 1999/2000, dari biaya rekapitalisasi bank senilai Rp 34 triliun, cuma Rp 17 triliun yang disediakan APBN. Sisanya, ya, harus dicarikan dari penjualan aset bermasalah itu.
Nah, sekarang, kalau dari penjualan aset saja sudah ada Rp 27 triliun, anggaran tentu tinggal menomboki Rp 7 triliun. Ya, lumayanlah ada surplus Rp 10 triliun. Asal tidak dikorup saja.
Lippo Batal Merger
Diam-diam, rencana merger Bank Lippo di California dengan The Commercial Bank of San Francisco, yang sudah sampai pada tahap final, tiba-tiba batal. Tak ada penjelasan yang meyakinkan. Yang ada cuma keterangan singkat bahwa merger bernilai US$ 15,9 juta itu batal karena keduanya gagal memenuhi jadwal yang ditentukan. "Karena tak tepat waktu, Lippo Bank berinisiatif mengakhiri proses merger," kata seorang juru bicara Bank Lippo.
Keputusan yang berkesan tiba-tiba itu membuat sebagian orang curiga: ada apa? Menurut rencana semula, merger Bank Lippo California yang 99 persen sahamnya dimiliki James T. Riady itu dilakukan untuk memperbaiki jaringan usaha Kelompok Lippo. Maklumlah, Bank Commercial merupakan satu dari sedikit bank di Amerika yang rajin memberikan pinjaman kepada pengusaha menengah dan kecil yang berasal dari Asia atau melakukan bisnis di Asia.
Selamat Datang, Hong Kong
Walau sedikit telat, barangkali ini hadiah tahun baru Imlek dari Indonesia. Pemerintah menawari pemegang paspor Hong Kong visa tinggal gratis selama dua minggu tinggal di Indonesia. Tawaran ini diharapkan bisa memancing pengusaha Hong Kong untuk ikut melongok situasi Indonesia yang sebenarnya.
Agaknya bisa dimaklumi kalau Indonesia terus berusaha keras menarik minat pengusaha Hong Kong. Wilayah itu begitu penting artinya bagi perekonomian Indonesia. Hong Kong ada di urutan keempat terbesar negara yang menanamkan duit di negeri ini, setelah Jepang, Inggris, dan Singapura. Volume perdagangan Indonesia-Hong Kong selama tahun lalu (hingga September) mencapai US$ 1,7 miliar. Ini bukan jumlah yang sepele. Tapi, setelah terjadi kerusuhan disertai berita pemerkosaan atas perempuan-perempuan etnis Cina, Mei 1998 lalu, masyarakat Hong Kong tampak mulai mengambil jarak dengan Indonesia.
Hanya, perlu dipertanyakan, kalau tak mau mendapat teri, mengapa umpannya begitu kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo