Bandul berayun begitu cepat bagi Caltex. Sebulan lalu, atas rekomen dasi DPR, pemerintah memutus kan Caltex dan Pertamina bersama-sama menggarap Coastal Plain Pekanbaru (CPP). Mereka berdua diminta membentuk perusahaan patungan untuk mengelola ladang subur yang akan ditinggalkan PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) itu, ketika masa konsesinya habis, Agustus 2001 mendatang. Syaratnya, mayoritas saham harus ada di tangan Pertamina.
Tapi, entah mengapa, tiba-tiba pemerintah berubah pikiran. Ladang minyak dengan ongkos produksi amat murah itu akan diserahkan sepenuhnya kepada Pertamina. Caltex? "Maaf, tak lagi ikut membonceng," kata seorang pejabat tinggi di Departemen Pertambangan dan Energi. Tampaknya, Caltex sedang disalip di tikungan.
Kabar jatuhnya CPP ke tangan Pertamina mulai berembus awal pekan lalu. Ketika itu, Direktur Eksplorasi dan Produksi Pertamina, Priyambodo, mengungkapkan kesiapan Pertamina mengambil oper pengelolaan CPP tahun 2001 mendatang. Untuk proyek besar ini, kata Priyambodo, Pertamina bahkan sudah menyiapkan dana investasi US$ 3 miliar dalam jangka 20 tahun ke depan.
Pernyataan Priyambodo ini dibenarkan Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto. Keputusan pemerintah menunjuk Pertamina sebagai pengelola tunggal CPP bukan tanpa alasan. "Siapa yang tak ingin Pertamina maju?" kata Kuntoro, "Lagi pula, jika tak dikelola Pertamina, siapa lagi?"
Tampaknya, jelas sudah. Pernyataan kedua pejabat itu kemudian menggelinding dan menjadi bisik-bisik ramai di kalangan industri minyak. Pertarungan memperebutkan CPP, yang memanas sejak dua tahun lalu, menjadi makin seru. Perubahan sikap pemerintah ini juga bukan yang pertama kali. Sejak awal, terlihat ada benturan dua kepentingan. Ada yang ngotot membawa kembali Caltex, tapi ada juga yang berjuang agar CPP murni sepenuhnya jatuh ke tangan Pertamina.
Sejak Agustus lalu, sebenarnya mulai ada titik temu. Kedua petarung itu akan membentuk perkongsian, usaha bersama. Rencana itu cuma bertahan sebulan, lalu padam. Tapi ide membentuk perusahaan patungan ini muncul lagi bulan lalu, setelah DPR menyerahkan CPP kepada kedua perusahaan minyak itu. Tapi, sebelum jelas bagaimana sosoknya, rencana perkongsian itu kini kembali kandas.
Sikap Direktur Utama Pertamina, Martiono Hadianto, masih tak jelas. Di satu sisi ia membantah kabar bahwa pemerintah plinplan dalam soal CPP, tapi di sisi lain ia seperti mengharapkan CPP jatuh ke tangan Pertamina. Melalui Direktur Muda Eksplorasi dan Produksi, F.X. Suyanto, Martiono mengatakan, "Tak benar itu. Kita masih diminta membentuk perusahaan patungan dengan mayoritas saham di tangan Pertamina."
Tapi ia mengakui Pertamina sangat berkepentingan dengan ladang subur dengan kapasitas produksi 78 ribu barel per hari ini. Martiono menghitung, Pertamina bisa bersaing di pasar internasional jika produksinya di atas 250 ribu barel per hari. Saat ini produksi Pertamina cuma 190 ribu barel per hari. Dengan tambahan dari CPP, target produksi optimal itu bisa diraih. Ladang lain tampaknya sulit diharapkan untuk menaikkan produksi minyak mentah Pertamina.
Lagi pula cadangan CPP tergolong ekstrabesar. Setelah 2001, cadangan minyak CPP yang bisa disedot dapat mencapai 331 juta barel. Memang, untuk mencapai angka itu, diperlukan teknologi tersier?enhanced oil recovery (EOR)?yang membutuhkan biaya produksi empat kali lebih mahal ketimbang pemanenan minyak di masa awal (produksi primer). Tanpa EOR, CPP cuma menghasilkan 233 juta barel. Martiono yakin Pertamina mampu memanfaatkan EOR?meskipun banyak kalangan yang meragukannya.
Tampaknya, yang merisaukan Pertamina bukan cuma soal teknologi dan investasi yang lumayan besar, melainkan sikap Caltex yang seperti ogah-ogahan berkongsi. Martiono meragukan kesediaan Caltex berbagi fasilitas di kawasan yang sama. "Saya khawatir," katanya terus terang, "sikap Caltex akan menyulitkan pada tahun-tahun awal, meskipun ia sudah mengeruk keuntungan yang cukup besar selama 30 tahun."
Caltex sendiri agaknya memilih bungkam. Tak ada pernyataan secuil pun keluar dari para petinggi Caltex, perusahaan patungan Chevron dengan Texaco itu. "Biar keadaan tenang dulu," kata seorang pejabat Caltex.
M. Taufiqurohman dan Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini