Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang perempuan berselendang merah muda menari bersama lima pria yang mengelilinginya. Sesekali kepala mereka bergerak saling mendekat sehingga seperti sepasang manusia hendak beradu kasih. Gerakan atraktif itu disambut teriakan riuh penonton, yang tetap bertahan hingga menjelang subuh. "Tariannya enggak monoton. Ada kolaborasi antara musik, gerak, dan lagu," kata I Kadek Yudiana, 26 tahun, pengunjung asal Singaraja, Bali. Ia mengaku baru kali itu melihat kesenian Using.
Gebyar Paju Gandrung itu menjadi penutup Festival Kemiren, yang telah berlangsung tiga hari. Kegiatan itu menampilkan lebih dari sepuluh kesenian dan adat-tradisi khas masyarakat Using Kemiren, Banyuwangi. Menurut juru bicara panitia, Haidi bin Slamet, festival itu bertujuan melestarikan adat dan kesenian Using.
Kesenian Using memang sedang di ambang kepunahan. Menurut Purwadi, tokoh Using asal Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, pergeseran akibat pengaruh budaya pop menjadi ancaman serius terhadap kelestarian budaya ini. Bentuk rumah tradisional dari kayu (tikel balung, baresan, dan cerocogan), nyaris tak bersisa, digantikan bentuk spanyolan atau minimalis.
Perubahan budaya yang ditampilkan generasi tua dan muda pun terlihat saat festival. Pakaian kebaya hanya melekat pada tubuh perempuan di atas 45 tahun. Dalam lomba memakan sirih alias nginang, semua peserta yang berjumlah 60 orang berusia di atas 50 tahun.
Using merupakan etnis asli Banyuwangi yang persebarannya kini tersisa di 11 dari 24 kecamatan di Bumi Blambangan ini. Menurut Purwadi, suku Using bermula dari berakhirnya kejayaan Kerajaan Majapahit pada 1400-an Masehi karena perang saudara dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Orang-orang Majapahit mengungsi ke lereng Gunung Bromo (Tengger), Blambangan (Banyuwangi-Using), dan Bali.
Inilah yang membuat kemiripan corak budaya suku Using dengan suku Tengger dan masyarakat Bali. Perbedaannya, kebanyakan masyarakat Using beragama Islam. Menurut Purwadi, meski menetap di Jawa, orang Using memiliki budaya sendiri, seperti bahasa, arsitektur rumah, dan kesenian. Namun orang Using tidak hidup tertutup seperti suku Baduy atau Tengger. "Orang Using lebih terbuka terhadap budaya lain," katanya.
Kesenian Using hanya muncul saat upacara adat tolak bala, yang digelar setiap awal bulan Zulhijah. Penutur bahasa Using pun kian jarang. Keprihatinan ini yang mendorong masyarakat Desa Kemiren, yang berjarak lima kilometer dari Kota Banyuwangi, menggelar festival.
Kemiren telah menjadi desa wisata adat Using sejak 1989. Menurut Purwadi, pemilihan Kemiren ini karena desa tersebut menjadi satu-satunya tempat yang sebagian besar budaya Usingnya masih terjaga.
Selain adat yang masih terjaga, Haidi mencatat sedikitnya ada 11 kesenian tradisional yang hidup di desanya. Di antaranya gandrung, mocoan lontar, barong, angklung, kuntulan, dan burdah. Kesenian-kesenian ini ditanggap warga saat menggelar hajatan pernikahan ataupun sunatan. Namun, yaitu tadi, tradisi ini hanya menjadi pajangan.
Haidi mengakui anak-anak muda jarang yang mau terjun ke kesenian tradisional. Selain dianggap sudah ketinggalan zaman, kesenian Using tidak menghasilkan banyak pemasukan. Penari gandrung, misalnya, hanya mendapat honor Rp 50 ribu sekali tampil dengan durasi enam jam. Itu pun belum tentu ada tawaran sebulan sekali.
Berbagai upaya regenerasi telah dilakukan, sebagian membuahkan hasil. Haidi menyebutkan ada beberapa grup barong cilik yang terbentuk. Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Setyo Puguh mengatakan, sejak 2003, pemerintah memasukkan pengajaran bahasa Using sebagai muatan lokal di tingkat SD dan SMP. Dalam hal kesenian Using, pemerintah menganggarkan Rp 500 juta untuk menggelar pertunjukan terbuka di Taman Blambangan saban Sabtu malam.
Selain itu, identitas Using diangkat dalam Festival Banyuwangi, yang dimulai September hingga Desember tahun ini, di antaranya Banyuwangi Ethno Carnival, Festival Batik, Festival 1000 Gandrung, dan Pawai Kuwung.
Peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta, Dwi Ratna Nurhajarini, mengatakan penyelenggaraan berbagai festival belum menjawab persoalan pelestarian adat dan kesenian tradisional Using.
Penyebabnya, kata dia, adalah rendahnya kesejahteraan seniman tradisional karena masuknya budaya baru yang berakibat sepinya tanggapan. Seni tradisi memang kerap diagungkan, tapi kehidupan seniman tradisinya memprihatinkan.
Istiqomatul, Ika Ningtyas
Bertahan demi Gandrung
Suara unik Temu Misti plus lekuk tubuhnya yang gemulai mengantarnya ke dapur rekaman untuk melafalkan lagu-lagu gandrung pada 1970-an di Banyuwangi. Pada 1980, suara itu memukau Philip Yampolsky, pemilik Smithsonian Folkways, di Amerika Serikat. Ia merekam sebelas lagu gandrung dalam satu album bertajuk Songs Before Dawn.
Bagi masyarakat Banyuwangi, tari dan lagu gandrung adalah Temu Misti. Pada usianya yang kini 58 tahun, ia tetap menari bersama grup Sopo Ngiro, yang ia dirikan pada 1980. Ia memilih gandrung sebagai jalan hidup sejak usia 15 tahun. Dia hidup dari tanggapan ke tanggapan mulai malam hingga subuh. Sekali mentas, Sopo Ngiro memperoleh Rp 2 juta. Setelah dibagi-bagi dengan lima penabuh dan seorang tukang rias, ia kebagian Rp 250 ribu.
Temu juga menerima panggilan nyinden dengan honor Rp 1-1,5 juta. "Sebulan ada tiga kali tanggapan saja sudah bagus," kata penerima Kartini 2.0 Award 2013 dari PT Telkom ini.
Meski telah banyak mentas di panggung nasional, seperti Jakarta, kehidupan Temu amat sederhana. Rumahnya di Kemiren, Banyuwangi, hanya berukuran 6 x 7 meter, dan terlihat lusuh. Ia mengaku akan terus menari dan menyanyi. "Kalau sudah ada gantinya, saya baru istirahat," katanya.
Ika Ningtyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo