Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas teater Laksamana Malahayati.
Menghadirkan sosok Malahayati yang tangguh di panggung megah.
DI bawah bulan bundar di langit yang cerah, Cornelis de Houtman berpesta pora bersama adiknya, Frederick de Houtman, dan petinggi lain. Mereka tak menyadari pasukan inong balee merayap masuk ke kapal besar berlayar dan bermoncong lancip itu. Di hadapan penonton, dinding lambung kapal seperti dibelah memperlihatkan pertarungan Malahayati memburu Cornelis dan para inong balee memerangi anak buahnya. Di bawah bulan, rencong Malahayati menembus tubuh penjelajah Belanda itu. “Siapa kau sesungguhnya?” kata Cornelis. Perempuan tersebut menjawab, “Akulah Laksamana Hayati.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan yang heroik dan naratif itu memuncaki pentas teater Jalasena berjudul Laksamana Malahayati di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8-9 September lalu. Pentas garapan sutradara Iswadi Pratama dan penata artistik Jay Subyakto ini mendulang sukses. Marcella Zalianty menjadi produser sekaligus berakting sebagai Malahayati, panglima laut Kesultanan Aceh pada abad ke-16. Pada 2017, pemerintah menetapkan Malahayati sebagai Pahlawan Nasional karena kehebatannya. Pentas ini dihelat oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laksamana Keumalahayati alias Malahayati berhasil menundukkan kapal Belanda yang hendak menguasai Aceh pada 1599 tersebut. Malahayati sosok perempuan tangguh yang memimpin ribuan inong balee. Mereka adalah para janda yang ditinggal mati suami yang berperang melawan Portugeh—begitu mereka menyebut Portugis. Malahayati dan para inong balee dengan kapal mereka bergerak dari Benteng Lamreh untuk menggempur di Laut Haru hingga Malaka.
Pementaskan teatrikal Laksamana Malahayati di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8 September 2023. Antara/Indrianto Eko Suwarso
Di Malaka, Malahayati menenggelamkan kapal Portugis. Dua haluan kapal besar ditampilkan di panggung: satu buritan berbentuk agak papak, itulah kapal Portugis; sementara yang lain agak bulat dengan moncong melancip—kapal Malahayati. Di atas kapal dengan tiang layar dan tali-tali, para inong balee menyerbu kapal Portugis. Mereka melompat dari satu kapal ke kapal lain. Percik api, letusan, dan asap mengepul dari lubang bagian tengah kapal Malahayati yang menghantam kapal Portugis, lalu tampaklah api berkobar. Bayangan kapal menghilang ditelan si jago merah. Lampu menyorot pada buritan kapal Malahayati. Penonton bersorak dan bertepuk tangan dengan adanya adegan itu.
Begitulah Jay Subyakto mengantarkan adegan pertempuran Malahayati dengan menampilkan visual kapal dua pasukan yang spektakuler. Dua buritan kapal yang merujuk pada dua kapal yang tengah bertempur hebat ditampilkan sebagai properti panggung. Kapal itu setinggi hampir 4 meter yang ia susun dari rangka besi seperti besi baja konstruksi dan dinding kapal yang dibuat dari styrofoam di pinggir panggung.
“Properti sebesar ini mentok di panggung. Padahal ada banyak pergerakan orang, pemain,” ujar Jay kepada Tempo seusai pertunjukan, Sabtu, 9 September lalu. Ia mewujudkan kapal-kapal dalam kisah kiprah Laksamana Malahayati ini. “Yang jelas, harus tahu beda kapal Belanda, Portugis, dan kapalnya Malahayati.”
Pementaskan teatrikal Laksamana Malahayati di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8 September 2023. Antara/Indrianto Eko Suwarso
Jay juga mengeset visual sebuah tebing yang lancip setinggi kurang-lebih 4 meter yang di bawahnya terdapat kontur tanah yang agak naik. Itu tempat Malahayati pertama kali ditampilkan dalam kedukaan yang dalam seusai kematian ayah dan suaminya di pertempuran melawan Portugis. Malahayati kecil bahkan mengenal ombak lautan selagi belum fasih bercakap.
“Dengan perahu kecil, Ayah melarungku ke luas samudra. Agar mengarus darah bahari di diriku, agar tak jeri menahan garang gelombang lautan. Aku tak pernah dipersiapkan menerima kematian ini,” ujarnya di puncak tebing yang membentuk seperti buritan kapal. Malahayati adalah keturunan dan bersuamikan panglima laut. Mereka yang menghadapi ganas ombak gugur saat menghadapi Portugis. Tekad Malahayati berkobar untuk menuntut balas kematian orang-orang tercintanya. “Bila laut yang mendatangkan mereka ke Nanggroe ini, maka laut pula yang akan kujadikan kuburan mereka,” ucapnya lantang disambut teriakan para inong balee.
Duka yang dalam seperti menyesap kekuatan Malahayati hingga Sultan Alaudin (Arswendy Beningswara Nasution) menegurnya saat menghadapi situasi. Sejak kecil, dia sudah ditempa di Mahad Baitul Maqdis yang seharusnya membuat ia kuat. Malahayati berkilah, dia sangat paham apa yang dijalaninya, tapi ia memikirkan nasib para inong balee dan anak-anak yang tumbuh menjadi yatim. “Kamu sedang berduka, tak usah banyak cakap, dengar kata hatimu,” ujar Sultan Alaudin. Seperti mendapat bisikan, ia harus menguatkan dan merengkuh para perempuan itu.
Situasi kerajaan yang diombang-ambingkan oleh kehadiran Portugis membuat Sultan hilang kepercayaan kepada para lelaki, karena mereka banyak menjadi pengkhianat; bahkan putranya sendiri. Karena itu, Sultan mempercayai Malahayati, dari memintanya menjadi kepala mata-mata kerajaan, kepala protokoler istana, hingga panglima laut. Malahayati menjadi panglima yang memimpin ribuan inong balee dengan markas di Benteng Lamreh.
Iswadi Pratama membesut Malahayati bukan hanya sebagai perempuan tangguh dan perkasa. Dia juga menampilkan sisi personalnya sebagai ibu, perempuan, anak, dan istri yang bisa menjadi rapuh karena kehilangan orang tercinta. “Pahlawan kan juga manusia. Ada sisi-sisi saat dia terpuruk, rapuh, lemah. Itu muncul dalam pengadegan,” kata Iswadi kepada Tempo. Dari cerita Malahayati ini, Iswadi juga memperlihatkan situasi tata negara, muslihat, siasat dan politik dagang rempah, hingga pengkhianatan.
Sisi itu muncul tatkala Malahayati berduka ketika kehilangan ayah dan suami, juga saat dia kehilangan buah hatinya. Terlebih saat ia dikhianati para petinggi kerajaan yang menjebloskannya ke penjara. Dalam setting yang minimalis tapi liris, dalam panggung yang cenderung gelap berhias seberkas cahaya dan sejurus sorot lampu.
Kisah epik dengan properti gigantik ini tentu membuat penonton terpukau, meski ada pula set yang melunturkan imajinasi. Misalnya istana panggung bertingkat dan rumah panggung yang dihasilkan dari sorot pada layar ganda dan panggung besi. Untuk mengimbangi set panggung, pergerakan para pemain juga diintensifkan dengan gerak tari yang intens mengeksplorasi panggung, salto, dan bela diri dengan penata tari Hartati.
Iswadi Pratama dan Jay Subyakto mengembangkan cerita dan set panggung dari riset yang dilakukan ketua tim Riset dan Pengembangan Cerita Keana Films, Habibie Yukezain. Ia meriset gaya pakaian hingga bentuk kapal. “Risetnya sendiri pada 2016-2017 karena awalnya ini dikerjakan untuk membuat film,” ujarnya.
Hal ini diiyakan oleh Marcella Zalianty, yang semula tinggal mematangkan naskah setelah melakukan riset selama tiga tahun tapi terhenti oleh pandemi. “Saya meriset sebelum (Malahayati) ditetapkan jadi pahlawan dan mendukung pemberian gelar itu. Bertemu langsung juga dengan sejarawan Aceh, (almarhum) Rusdi Sufi dan Dr Adli,” tutur Marcella. Selain meriset di Aceh, tim mereka mencari sejumlah kepustakaan dan jurnal hingga ke Leiden di Belanda, Turki, dan Inggris. “Sejumlah data yang kami dapati tidak menyebut langsung nama Malahayati. Kami juga meriset sejumlah hal yang sezaman,” ucap Habibie.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Malahayati di Panggung Gigantik"