Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Laksamana Malahayati dan kiprahnya.
Memimpin ribuan inong balee dengan kapal perangnya.
“GARA-GARA kematian Cornelis de Houtman, bangsa-bangsa lain jadi mikir-mikir,” ujar Adli Abdullah, sejarawan Universitas Syiah Kuala, Aceh. Kematian penjelajah Belanda di tangan Malahayati itu menjadi salah satu bukti kekuatan Kerajaan Aceh pada abad ke-16 dan ke-17. Setelah itu, bangsa-bangsa lain mencari jalan pendekatan yang lebih lunak untuk berhubungan dengan kerajaan tersebut. Buktinya, Kerajaan Inggris mencoba berkawan. Raja James mengirim surat resmi kepada sultan untuk berdagang di Pariaman. “Mereka juga membawa hadiah-hadiah,” Adli melanjutkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bangsa-bangsa lain mencari strategi untuk tidak bertindak frontal terhadap Aceh. Sebuah catatan menyebutkan Sir James Lancaster (1558-1603) memimpin kapal dagang pertama dari Inggris ke Aceh. Berangkat dari Inggris pada 22 April 1602, Lancaster tiba di Aceh pada pertengahan 1602. Dia berstatus utusan khusus Ratu Elizabeth I. Lancaster berhasil menjalin kerja sama perdagangan dengan Aceh dan dipertemukan oleh Laksamana Keumalahayati atau Malahayati dengan Sultan Saidil Mukammil (1585-1604).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Lancaster menjadi orang pertama yang diberi kendali atas kapal EIC yang bernama Red Dragon. Armada Lancaster kembali ke Inggris pada 20 Februari 1603,” ucap Adli. Selain itu, laksamana Prancis, Augustin de Beaulieu, datang pada 1621 dengan tiga kapal perang di masa Sultan Iskandar Muda melalui pendekatan soft power.
Cornelis de Houtman. Wikipedia
Cornelis de Houtman bersama adiknya, Frederick de Houtman, diketahui menjelajah ke wilayah Asia. Mereka mengunjungi beberapa wilayah untuk melacak jalur rempah. Di tanah Nusantara, ia bersama rombongannya singgah di Banten, Jawa, dan Bali, kemudian di Aceh. Saat di Aceh itulah ia menemui ajal saat berjumpa dengan pasukan inong balee di Kerajaan Aceh. Mereka pun menggalang kekuatan untuk mendapatkan rempah, mendukung pihak yang berkhianat di kerajaan.
Cornelis tewas di tangan Malahayati di kapalnya, sementara adiknya, Frederick, menjadi tawanan kerajaan. Peristiwa tewasnya Cornelis de Houtman menjadikan Malahayati tokoh yang hebat, mengawal kejayaan Kerajaan Aceh.
•••
MEMBINCANGKAN Keumalahayati, kata Adli Abdullah, tidak bisa setengah-setengah. Ada sejarah panjang menyangkut geopolitik dan geoekonomi dunia pada abad ke-15 dan ke-16. Adli menyatakan hal ini tidak lepas dari motif ekonomi, terutama untuk mengamankan sumber-sumber rempah di tanah Nusantara. Portugis berlayar ke timur melalui Malaka. Menurut dia, kedatangan Portugis juga memicu kemunculan Kerajaan Aceh, tokoh-tokoh Melayu berkumpul di Aceh.
Orang-orang Eropa sebelumnya melakukan penjelajahan. Misalnya Alfonso de Albuquerque, tentara dan penjelajah dari Portugis. Lalu Christopher Columbus, penjelajah dari Spanyol. Catatan perjalanan itu kemudian dibaca ulang oleh para pedagang Portugis, Belanda, Spanyol, dan Turki untuk menemukan jalur rempah. Portugis sangat bersemangat menguasai dan menaklukkan Kerajaan Aceh.
Turki juga mengincar komoditas rempah. Sejumlah catatan Kerajaan Aceh dan Turki (era Ottoman) yang dipelajarinya menyebutkan hubungan kedua kerajaan terjalin sejak dulu. Kerajaan Aceh menjadi semacam sekutu, poros, atau satelit bagi Turki untuk rempah. Adapun Turki berperan dalam perjalanan haji bagi umat Islam.
Sebuah peristiwa menguatkan hubungan Aceh dengan Turki. Pada 1530, tak kurang dari 310 anggota jemaah calon haji dibunuh dan kapalnya ditenggelamkan oleh Portugis. Hal ini membangkitkan solidaritas Turki terhadap Aceh dan jemaah calon haji. “Karena itu, kemudian Turki memberikan backup kepada Kerajaan Aceh,” ujar Adli. Bantuan dari Turki berupa armada pasukan Turki Laut Merah yang berbasis di Oman. Sementara itu, armada pasukan Turki lain berada di Eropa Timur, Yugoslavia.
Turki juga mengirim sejumlah tenaga ahli pendidikan militer angkatan laut. Sebanyak 500 tenaga ahli dan teknisi melatih serta membuat perangkat logistik militer, seperti amunisi dan kapal. Amunisi yang ada sudah memiliki sumbu minyak.
Ke-500 orang ini menjadi bagian pendidikan kemiliteran yang juga diikuti oleh Malahayati. Adapun pembuatan kapal, kata Adli, dikerjakan oleh orang-orang dari Malabar, India. Karena itu, model kapal perang Aceh sangat mirip dengan kapal perang Kerajaan Turki. Sebagai bagian dari poros Turki, Kerajaan Aceh diperbolehkan menggunakan bendera Kerajaan Turki.
Kekuatan armada era Malahayati diteruskan pada generasi setelahnya. Adli menyebutkan, dari catatan peneliti Prancis, Denys Lombard, diketahui kapal perang Aceh (meskipun kapal ini berbeda era, setelah zaman Malahayati) merupakan kapal yang besar. Satu kapal minimal bisa mengangkut 500 orang serta dilengkapi sejumlah amunisi dan meriam. Gambaran kapal perang Aceh yang sangat mirip dengan kapal Ottoman, dia menambahkan, bisa ditemukan dalam replika kapal perang yang berada di samping Masjid Sultan Ahmed, Turki.
Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah menyerahkan lukisan Laksamana Hayati kepada ahli warisnya, Teuku Cut Putro Safiatuddin Cahaya Alam, di Banda Aceh, Agustus 2017. Dok. Humas Provinsi Aceh
Kejayaan Kerajaan Aceh, menurut Adli, tak bisa dipisahkan dari Kerajaan Turki. Pada saat memiliki kekuatan, Kerajaan Turki membantu kerajaan-kerajaan porosnya. Ketika kekuatan Turki melemah saat memasuki abad ke-19, hal ini berdampak pada kekuatan Kerajaan Aceh.
Malahayati, Adli menyebutkan, muncul pada saat yang tepat ketika Kerajaan Aceh dalam masa kejayaan. Kerajaan Aceh mempunyai kolaborasi kerja sama yang kuat dengan Kerajaan Turki. Malahayati mendapatkan pendidikan kemiliteran angkatan laut yang kuat di Mahad Baitul Maqdis. Dia digembleng dengan didikan yang bagus. Usaha penaklukan Aceh oleh Portugis mendorong Kerajaan Aceh berjuang.
“Jadi sebenarnya Malahayati tidak berdiri sendiri. Konteks ekonomi dan politik saat itu yang melatarbelakanginya,” ujar Adli.
Ilustrasi berjudul "Kisah Reyse yang Dilakukan Kapal Belanda di Hindia Timur", menujukkan kapal yang digunakan Cornelis de Houtman untuk ekspedisi menuju Hindia Timur (1595-1597). Dok. RVD
Adli terlibat dalam riset yang dilakukan tim Keana. Tim mengumpulkan sejumlah bahan berupa buku-buku catatan perjalanan Cornelis de Houtman serta perjalanan Portugis pada abad ke-16 dan ke-17. Sejumlah catatan itu menyebutkan seseorang yang disegani. Saat itu diperoleh data bahwa Portugis berusaha menaklukkan Kerajaan Aceh dan Malahayati memerangi Portugis.
Ada juga catatan pada era setelahnya ketika Malahayati mendidik Sultan Iskandar Muda remaja. Malahayati melatih Iskandar Muda mempunyai semangat yang sama untuk melawan mereka yang ingin menguasai Aceh. Iskandar Muda mengikuti semangat Malahayati. Dia kemudian turut menaklukkan Portugis di Malaka.
•••
MASYARAKAT Aceh mengenal Malahayati dari tradisi lisan, bahkan sebagian orang menganggapnya mitos. Namun sejumlah akademikus mencoba membuktikan keberadaannya. Informasi dari tradisi lisan itu kemudian mereka cocokkan dengan sejumlah data dan dokumen. Dalam catatan ekspedisi atau dokumen dari Turki, Inggris, dan Belanda, nama Laksamana Malahayati tidak secara spesifik muncul. Hanya disebutkan seorang laksamana perempuan yang kuat dan memimpin armada laut serta ribuan perempuan.
Situs peninggalan era Malahayati tidak banyak tersisa setelah lebih dari enam abad berlalu. Husaini Abdullah, arkeolog Universitas Syiah Kuala, menjelaskan, makam Malahayati berada di atas bukit Lamreh di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Sebuah makam bernisan putih di bawah bangunan kayu bertiang diyakini sebagai makam Laksamana Keumalahayati atau Malahayati. Selain itu, tersisa sepotong benteng tak jauh dari makam, yakni Benteng Malahayati atau sering disebut Benteng Inong Balee. Di sana, konon, Malahayati mendidik para inong balee menjadi prajurit tangguh. Benteng ini menjadi pusat pelatihan pertahanan pasukan janda awak kapal Malahayati itu.
Wanita Aceh berbusana adat berziarah ke makam Laksamana Malahayati saat peringantan hari pahlawan di Desa Lamreh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, November 2020. Antara/Ampelsa
“Hanya tinggal sepotong mungkin, kira-kira 60 x 40 meter, setinggi dua setengah meteran,” ujar Husaini, yang juga ketua tim cagar budaya di Provinsi Aceh.
Husaini menjadi sekretaris tim pengusulan nama Malahayati untuk masuk daftar Pahlawan Nasional pada 2017. Tim ini mengumpulkan sejumlah data, yakni dokumen yang memuat informasi tentang Malahayati. Seorang perempuan perkasa, keturunan Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya, Laksamana Muhammad Said Syah, putra Sultan Salahuddin yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam pada 1530-1539.
Tim juga mengumpulkan sejumlah catatan hasil riset, yaitu buku-buku yang menyebutkan kiprah laksamana atau panglima laut yang gemilang di Kerajaan Aceh pada abad ke-16. Mereka berhasil meyakinkan pemerintah untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Malahayati.
Marcella Zalianty, produser dan pemeran Malahayati dalam pentas teater Laksamana Malahayati. Dok. Keana Films
Husaini menuturkan, sejumlah bukti kejayaan armada Malahayati memang belum ditemukan lebih rinci. Tapi bukti armada laut banyak ditemukan di perairan di sekitar Aceh. Pada 1980-2000-an, para penyelam liar menemukan banyak potongan kapal serta meriam dan pelurunya. “Banyak itu ditemukan di sekitar perairan di Aceh, sampai Sabang juga,” ucapnya.
Sayangnya, temuan ini belum mendapat perlindungan pemerintah. Husaini mengatakan hingga kini belum ada upaya pencarian artefak di darat dan di laut yang lebih detail. Padahal banyak ditemukan bekas potongan kapal serta meriam dan pelurunya. Sebuah meriam yang dikenal sebagai meriam Lada Situpak pemberian Kerajaan Turki dirampas Belanda. Meriam itu salah satu bukti bantuan Turki untuk armada pasukan Kerajaan Aceh melawan Portugis.
Husaini menyatakan, sebelum mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan, nama Malahayati sudah dikenal di kalangan masyarakat Aceh. Tradisi lisan turun-temurun menyebutkan seorang perempuan hebat memimpin ribuan inong balee berperang di Laut Malaka. Sosoknya digambarkan sebagai perempuan yang disegani karena kemampuannya.
Dari tradisi lisan, sosok dan kiprah Malahayati ditulis dalam buku dan jurnal. Ia disebut menduduki jabatan penting sebagai kepala mata-mata istana, protokoler istana, perwira, dan panglima perang. Nama Malahayati pun sudah disematkan sebagai nama tempat, seperti pelabuhan, rumah sakit, dan universitas. Ketokohan Malahayati memudahkan tim untuk mengusulkan namanya.
Serah terima KRI Malahayati-362 kepada TNI AL usai dimodernisasi oleh PT PAL Indonesia Persero, Oktober 2020. tnial.mil.id
Nama Malahayati baru dikenal lebih luas oleh masyarakat Indonesia setelah pemerintah menetapkan dia sebagai Pahlawan Nasional. Masyarakat sebelumnya hanya mengenal Cut Nyak Dhien, pahlawan lain dari Aceh yang melawan Belanda pada zaman berbeda (abad ke-19). Nama Malahayati juga disematkan sebagai nama rumah sakit apung dan kapal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Menurut situs tni.mil.id, KRI Malahayati-362 adalah unsur kapal perang Komando Armada Republik Indonesia III yang tergabung dalam Satuan Tugas Operasi Bandayuda Jaya-23 di bawah kendali operasi Gugus Tempur Laut Komando Armada III. KRI Malahayati-362 dan KRI Fatahillah-361 memperkuat Komando Armada III yang bermarkas di Sorong, Papua Barat Daya. Terinspirasi semangat Malahayati, TNI Angkatan Laut membentuk Korps Wanita Angkatan Laut pada 1963.
Upaya mengenalkan kiprah Malahayati dilakukan oleh TNI Angkatan Laut dengan menggandeng Keana Films melalui cerita Jalasena, Laksamana Malahayati. Keana Films, yang didirikan oleh Marcella Zalianty, berinisiatif mengangkat kiprah Malahayati dalam berbagai platform. Sebelumnya, mereka menggarap sosok Malahayati untuk film. “Saya menyiapkan prosesnya sejak 2017,” ujar Marcella. Namun kemudian pandemi Covid-19 melanda. Kini mereka sedang menyiapkan proses selanjutnya untuk mengangkat Malahayati ke layar lebar. Mereka sudah menerbitkan komik Malahayati episode pertama. Tim Keana, yang diketuai oleh Habibie Yukezain, meriset sejumlah dokumen secara daring dan luring. Mereka mendatangi beberapa negara, seperti Belanda, Turki, dan Inggris.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Malahayati, Panglima Laut di Pusaran Jalur Rempah"