Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Unjuk karya dua seniman residensi.
Mengeksplorasi gunungan sampah dan kehidupan masyarakat di sekitar TPST Bantargebang.
SORE hingga senja itu angin cukup bersahabat, tak terlalu meneror dengan bau sisa gas metana dari sebuah gunungan sampah besar sejauh mata memandang. Masyarakat setempat menyebut gunungan sampah itu Gunung Bulok. Sisa bau air lindi dan gas sepintas masih menguar dihantarkan angin. Lalat-lalat masih menempel di daun-daun pohon jambu di dekat masjid. Sementara itu, di lapangan Masjid Al Muhajirin, Desa Ciketing Udik, Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, sekelompok seniman sedang bersiap-siap sejak sore.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak jauh dari lapangan, di sebuah gudang, dua lelaki tengah mengangkat karung-karung berisi sampah pilahan. Di kejauhan, lengan-lengan backhoe bergerak ke kiri dan kanan. Tubuh-tubuh kecil terlihat bergerak di sekitarnya. Tampak truk-truk berwarna oranye merayapi punggung gunungan sampah antre memuntahkan isi mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di "panggung" di jalan semen lebar sekitar 1 meter menuju Masjid Al Muhajirin dengan latar selembar terpal polos terpasang di tembok, beberapa laki-laki serta seorang anak dan seorang perempuan bergerak. Mereka berjalan membungkuk. Dalam posisi melingkar, mereka seperti berebut mencangkul-cangkul dan mengorek-ngorek sampah, lalu mundur selangkah dan berhenti sejenak. Mereka kemudian mengulang gerakan itu. Mereka membungkuk lalu melontarkan sesuatu ke belakang punggung. Mereka melakukan gerakan berulang itu sebentar, hanya sekitar sepuluh menit menjelang azan magrib.
Sore hingga malam, Ahad, 10 September lalu, selemparan batu dari gunungan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, dua seniman residensi, Bunga Mutia (Yogyakarta) dan Avant Garde Dewa Gugat (Padang Panjang, Sumatera Barat), tengah berunjuk karya. Mereka mempresentasikan hasil residensi dengan hidup di tengah masyarakat pemulung sampah di kawasan Bantargebang selama tiga pekan. Mereka berkolaborasi dengan anak-anak setempat dan pemain teater dari komunitas seniman Bekasi. Mereka memamerkan karya dan menampilkan pertunjukan teatrikal bertajuk Tales from Gunung Emas-Jurnal Visual Residensi Laku dalam Ruang.
Bunga mengeksplorasi visual gunungan sampah dan kehidupan masyarakat. Dia memvideokan dan memotret antrean serta perjalanan truk-truk yang mengangkut ribuan ton sampah dari Jakarta menuju TPST Bantargebang. Setelah itu, dia mencetak beberapa frame dalam format hitam-putih, yang direspons anak-anak dengan lukisan krayon.
Ditampilkan pula karya-karya lain dari anak-anak setempat. Salah satunya karya Rudi yang memperlihatkan lukisan berjudul Monster Berkepala Tangan, sebuah lukisan dengan tiga cap tangan di atas dominasi coretan krayon berwarna merah, oranye, dan biru. Ia merespons foto hitam-putih Bunga dengan obyek tumpukan karung dan sebuah ban di tas gunungan sampah berselimut plastik. Di kejauhan, sesosok tubuh berdiri membungkuk di gunungan sampah.
Kemudian ada Rifana, Saidah, dan Erni yang menampilkan lukisan yang berjudul Kemarau. Ketiganya berharap hujan segera turun menyirami bumi. Ini diwujudkan dengan warna oranye pada langit dan tanah yang dihiasi beberapa bunga, dedaunan, serta titik-titik warna biru. Lukisan krayon lain memperlihatkan sesosok makhluk berwarna hijau dengan mata pasrah dan warna pelangi serta langit biru di belakangnya. Di bawah monster hijau itu tampak selembar baju kuning tergantung. Lukisan itu dibuat di cetakan foto satu unit backhoe yang tengah memindahkan sampah.
Sementara itu, Risky dan Alfad menggambar dua lanskap gunung yang berbeda dalam satu kertas. Dua anak ini berharap melihat gunung yang hijau asri, alih-alih menyaksikan tumpukan gunung sampah yang mereka daki sehari-hari. Ya, gunungan sampah berbau busuk itu harus mereka daki ketika mengantar makan siang untuk ayah mereka.
Alif dan Desata merespons cetakan foto tumpukan karung sampah yang diberi mata serta digambari gunungan berwarna biru dan pohon-pohon hijau. Tak lupa mereka menempelkan stiker seorang gadis bertopi dan seekor kupu-kupu merah. Ada Amel dan Anisa yang melukis pemandangan di Gunung Balok serta Amel dan Fatimah yang berimajinasi sedang piknik ke taman langit, bermain sesuka hati tanpa merasakan bau sampah yang mereka hirup sehari-hari. Karya-karya mereka dibingkai dan diletakkan di tumpukan ban atau keranjang sampah untuk tempat orang tua mereka memulung sampah.
Tales From Gunung Emas di Ciketing Udik, Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, 10 September 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Selepas magrib, segelintir penonton melahap hidangan makan malam berlauk ikan dan sayur asam. Pertunjukan dimulai lagi. Kali ini musik besutan Avant Garde Dewa Gugat meneror telinga, seperti bunyi serbuan ribuan lalat, lalu berganti dengan raungan bunyi mesin backhoe dan truk yang merayapi punggung Gunung Bulok. Gelap di kejauhan, tampak kerlip-kerlip seperti kunang-kunang. Itulah lampu-lampu backhoe yang lengannya masih menggaruk sampah. Narasi ini "indah", tapi sejatinya adalah sebuah bom waktu, bencana laku manusia.
Di panggung diagonal itu mereka membentuk formasi kelompok kecil melingkar, sedikit membungkuk, memulai gerakan mengais-ngais di atas terpal yang penuh taburan cacahan ember plastik. Ember plastik itu berwarna merah dan putih. Diiringi bunyi musik elektronik ciptaan Avant Garde Dewa Gugat, para pemain teater dari komunitas seniman Bekasi bergerak kompak. Tiba-tiba salah satu dari mereka berteriak, “Beko datang... bekooo.” Lingkaran manusia kemudian tegak berdiri sedikit menjauh, lalu mengais-ngais. Salah satu dari tangan-tangan mereka seperti melontarkan sesuatu ke arah punggung.
Bunga mengaku mengalami kesulitan beradaptasi, terutama dengan bau yang menyengat selama beberapa hari tinggal di sana. Tapi Dewa hanya butuh empat hari beradaptasi. Bunga mendapat banyak cerita yang berkelindan dari gunungan sampah, para pemulung, dan hidup mereka. “Seperti dongeng saja, ada di sebuah tempat. Bagi kita mungkin itu sampah, tapi bagi mereka itu emas,” ujar Bunga. Adapun Dewa mendapatkan sesuatu di luar harapannya setelah hidup tiga pekan di sana.
“Saya mendapatkan bebunyian yang awalnya meneror selama 24 jam, tapi lama-lama akhirnya menjadi terbiasa,” tuturnya. Teror itu adalah deru truk yang datang silih berganti, backhoe yang bekerja tanpa henti 24 jam, dengungan ribuan lalat yang mengerubungi Gunung Bulok, serta daun-daun atau benda apa pun. "Teror" bunyi itulah yang ia garap sebagai musik elektronik yang mengiringi gerak para pemain teater malam itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dongeng dan Teror dari Gunung Bulok"